05

55 12 0
                                    

Sebelum pulang, aku harus menemui wali kelas terlebih dulu menyerahkan surat penyesalan karena tidur di dalam kelas. Jangan salahkan aku, aku belum terbiasa untuk bangun pagi, jadi yaah... begitu, deh. Surat pernyataan menyesalnya sudah kutulis, tapi apa benar begini saja sudah cukup? Kalau soal kerjaan sih, aku masih sanggup menulis sebanyak apa pun.

Namun, baru saja kuingin mengetuk pintu kantor, Ice keluar dengan sebuah buku dan megejutkanku. "Oh ... Gadis 100 yen. Gadis dengan nilai 4."

"Tolong diingatnya jangan pakai cara itu!" Jujur, perkataannya sangat menyinggung.

"Maaf, itu karena aku tidak ingat namamu."

"Walau kau pintar?" tanyaku dengan sarkasme.

"Menurutku, itu berbeda persoalan."

"Namaku (Name). (Full Name)," ujarku singkat.

"(Full Name) ... Baik, sudah kuingat. Namaku Ice ... Oh iya, kenapa kamu bisa tahu namaku? Karena sewaktu makan siang di kantin tadi, aku serasa dipanggil."

"Kemarin kita sudah saling memperkenalkan diri. Dan tadi pagi juga dikenalkan lagi pas pelajaran."

"Hanya dari kejadian itu? Walau kamu bodoh?" tanya pemuda tersebut tanpa rasa bersalah.

"Woi! Kelewatan banget! Kau terlalu blakblakan mengatakan isi pikiranmu!"

"Maaf." Ice membungkuk pelan. "Aku tidak akan mengatakan isi pikiranku lagi."

"Bukan begitu juga ..." Aku mengurut alis sebentar. "Ngomong-ngomong, ada perlu apa kau ke ruang guru? Oh, jangan-jangan kau dipanggil karena bikin masalah juga, ya?"

"Kamu serius berpikiran begitu?"

"Maaf, aku cuma bercanda," ucapku cepat. Dia ini apa bisanya berperasangka buruk terus kepada orang lain, rasanya menyakitkan.

Dengan tangan yang sibuk merapikan tasnya, dia menyambung ucapannya. "Aku ke sini untuk mengambil pin perak. Lalu, karena ada salah satu soal ujian yang tidak kumengerti, jadi aku menanyakannya."

"Wah, rajin banget, ya," ejekku padanya.

"Apa aku ini pemuda rajin yang membosankan?" tanya Ice tiba-tiba. Entah kenapa atmosfer di sekitar kami jadi sedikit dingin, ditambah dengan Ice menatapku lurus.

"Tidak juga, kok. Aku betulan kagum waktu dengar kau ini peringkat satu di sekolah. Maaf, kalau kau tersinggung," ucapku tulus diiringi sebuah senyuman teduh.

"Tidak apa-apa, aku juga minta maaf."

"O-oh iya, kenapa bahasamu terkesan formal padaku, ya?"

Soalnya, aku bisa jantungan kalau dia blakblakan menganggapku dewasa. Apalagi, tadi saat di kantin dia bilang begitu, sih.

"Tidak juga. Jangan dipikirkan, karena aku selalu bersikap begini kepada siapapun."

"Be-begitu, ya."

"Apa sikapku itu terlalu menjaga jarak?"

"Eh?"

"Dari dulu, banyak orang yang bilang seperti itu. Terlebih, umurku sudah hampir dewasa, tapi belum punya satu pun teman. Menurutku, cara hidup seperti itu bukanlah suatu masalah. Tapi, dunia ini dipenuhi hal yang berbeda dari pandanganku." Netra aquamarine-nya sedikit meredup dan tampak sendu. "Walau sudah berniat untuk berubah, tapi aku sama sekali tidak mengerti apa yang harus kulakukan. Apa kamu bisa memberiku contoh? Atau mungkin, aku ini tipe yang terlalu menjaga jarak?"

"Jujur saja, iya." Dapat kulihat Ice langsung tertohok dengan pengakuanku. "Tapi, aku juga menganggapmu cukup seru kalau diajak mengobrol. Bagaimana kalau kau lebih sering tersenyum lagi?"

Chance to MeetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang