Gadis kecil berbaring terlentang. Dia tak merasa silau, meskipun cahaya matahari menyiramnya tepat di muka.
Sebuah tiang bendera setinggi lima belas meter berdiri di depan kepalanya. Alih-alih bendera merah putih, yang berkibar di ujung tiang itu adalah sepasang sepatu hitam.
"Huft," gadis itu mengeluh, lantas bangun dari tidurnya. Hidungnya mencium aroma benda terbakar.
Dia menghadap ke lapangan rumput seluas delapan puluh meter persegi. Kobaran api terlihat di tengah-tengah lapangan.
Api menyambar rerumputan di sekelilingnya, entah apa yang dipikirkan oleh lima anak laki-laki dan empat anak perempuanyang tengah berdiri mengelilingi kobaran api. Mereka justru melompat-lompat kegirangan.
Tiba-tiba, gadis kecil yang sedang merenung di depan tiang bendera itu berlari dan menyambar kobaran api, tanpa merasa takut sedikit pun.
"Hentikan!"
Tangan kirinya membawa sebuah tas ransel bergambar karakter gadis bangsawan dalam film kartun. Gadis itu menepuk-nepuk api yang menggerogoti sedikit demi sedikit bagian dari tas ransel itu.
"Jangan nakal Huni! Apa Bang Inserzmu itu tidak mengajarimu untuk menjadi anak yang baik!" kata seseorang, sementara yang lainnya tertawa terbahak-bahak.
"Kalianlah yang nakal!" Huni balas berteriak.
"Akan kulaporkan kalian ke guru," batinnya.
Setibanya di ruang guru, salah satu guru di sana malah mengusirnya. Huni tak menghiraukannya dan tetap berjalan memasuki ruang guru. Dia menghampiri Bu Susi, guru IPS yang kebetulan sedang senggang.
"Bu, aku dibully lagi sama anak-anak."
"Ah, mereka itu hanya bercanda. Tidak usah dianggap serius. Lagian, salahmu juga, mereka jadi suka menggodamu," jawab Bu Susi.
Tanpa dia sadari, anak-anak yang di lapangan tadi sedang mengintipnya dari luar ruang guru.
"Dasar yatim. Bisanya cuman mengadu," bisik salah satu dari mereka.
"Bu Susi kan lagi sibuk. Mana mungkin dia menanggapi anak itu," balas yang perempuan.
Pukul 1 siang adalah waktunya pulang sekolah. Sesampainya di rumah, Huni bergegas ke kamar mandi untuk merendam tas ranselnya ke dalam seember air. Dia memastikan noda kehitaman di badan tas itu masuk seluruhnya ke dalam air.
Sambil menunggu, Huni pergi ke kamarnya. Belum pun Huni merebahkan diri di atas kasur, suara pintu terbuka terdengar olehnya.
"Huft," Huni mengeluh. Lantas, gadis itu berlari menuju ruang tamu yang kini ramai oleh anak-anak, ada yang seusia dengannya dan ada yang lebih muda. Merekalah saudara-saudara Huni.
Kid, anak laki-laki dengan perban yang terpasang di pipinya. Gorge, anak laki-laki yang penampilannya seperti bule. Titin dan Sisti, sepasang anak perempuan kembar, berjalan tertatih-tatih di belakang kedua anak laki-laki itu.
"Ta-tadi, se-sepatunya Ti-Titin di-dicelup ke a-air ko-kotor sa-sama a-nak a-nak," Sisti berkata sambil menahan tangis.
"Apa kalian tidak melaporkannya ke guru?! Kalau aku jadi kalian, anak-anak itu pasti sudah kulaporkan!" Kid memarahi mereka.
"Memangnya, Kid sendiri melaporkan orang-orang yang membullymu ke guru?" Gorge menanggapi.
Kid mengangguk. "Ya iyalah! Tapi, guru-guru malah gak ada yang peduli," sambungnya.
"Sama sepertiku," batin Huni.
Tiba-tiba pintu ruang tamu terbuka, memperlihatkan sosok laki-laki dewasa di sana. Rambut hitamnya berantakan hingga menutupi kedua mata. Melihat kedatangan laki-laki itu, seisi ruang tamu pun bersorak.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHAOS_BOW
AcciónBang Inserz menampung anak-anak miskin dan terlantar di rumahnya. Namun, nasib buruk harus menimpa mereka. Huni, salah satu dari mereka, dibully habis-habisan oleh teman-temannya di sekolah. Dia diejek sebagai, "yatim" dan "anak pungut."