03

232 36 8
                                    

Apa-apaan ini?

Paman menyuruhku untuk pergi ke ruang VIP, mau-tak mau aku mendatangi orang yang katanya ingin bertemu denganku. Ruangan VIP kedap suara, hingga kebisingan dari lobi tak dapat mengganggu keheningan ini. Mungkin, jantungku pengecualian.

"A-anda...."

Aku tidak bisa berkata-kata, sungguh. Pria tampan bersurai putih dengan kacamata hitam, lalu baju itu ... tidak salah lagi!

Ckrek!

Ckrek!

Ckrek!

"Sungguh mahakarya yang indah!"

Kutatap layar ponsel, di foto dari sudut manapun ketampanannya seperti tidak akan pernah pudar. Gawat, semoga hidungku tidak berdarah-darah karena ini.

"... [Y/N]-san, kau baik-baik saja?"

Akhirnya dia berbicara. Uh, apakah aku malu-maluin? Semoga tidak. Obsesiku pada si dukun ini sangat sulit untuk dihilangkan. Namun tidak terlalu akut karena aku bisa menahannya sejenak di waktu tertentu. Tapi jika sudah bertemu seperti ini, urat malu ku putus seketika. Aku jadi tidak perlu repot fangirl-in dia sekarang.

Tidak tahu jika setelah ini.

Kuubah posisi dudukku menjadi sopan dan formal. Tak lupa handphone kumasukkan kedalam saku hoodie, lalu tersenyum semanis-manisnya.

"Jadi, apa yang ingin Anda lakukan terhadap saya- maksudnya, paman bilang ada sesuatu yang ingin Anda bicarakan dengan saya?"

Dia tersenyum. Begitu menggoda. Tenanglah, wahai diriku. Bagaimana jika dia menginginkan sesuatu yang tidak kuinginkan seperti si om pirang itu? Benar. Ku ubah wajahku yang begitu cerah menjadi wajah normal. Seharusnya aku mengendalikan kebahagiaan ini agar tak terjebak pada kesalahan yang sama.

Melihat perubahan raut wajahku yang tiba-tiba, dahinya mengernyit. Dia menyadari sesuatu?

"Sepertinya kau mulai mencurigaiku. Tenanglah, [Y/N]-san. Aku datang bukan untuk menjahatimu. Sebelumnya perkenalkan, namaku Gojou Satoru," ucapnya sambil melepas kacamata hitam yang ia kenakan. Netra birunya yang berkilau tampak seperti berlian, membuatku terpana dan menganga untuk sesaat. Lalu melanjutkan, "Kau tidak perlu memperkenalkan diri, karena aku sudah tahu siapa dirimu."

Dia menyeringai, membuat wajahku menjadi datar. Kulipat tangan dan mengangkat sebelah kaki, lalu duduk dengan tegak sambil menatapnya sinis.

"Meskipun kau mengetahui sesuatu yang tidak kuketahui, itu bukan berarti kau mengenal diriku sepenuhnya."

Senyumnya semakin melebar saja. Entah mengapa rasanya ada sesuatu yang hilang. Tunggu ... kemana perginya rasa antusiasme yang tadi membuatku hilang kendali? Dia dihadapanku sekarang, mengapa sikapku seperti ini?

"Apa kau mengenali seorang pria berambut pirang yang ada di lobi?"

Aku terdiam sejenak. Apakah sesuatu yang ingin dibicarakan tidak jauh dari orang itu?

"Iya. Tapi aku tidak tahu siapa namanya, kami hanya saling bertukar senyum disini,"—jeda sejenak, aku berfikir apa yang harus kukatakan agar tak membocorkan sesuatu yang seharusnya tidak kukatakan dalam sepersekian detik—"tidak lebih."

Kami saling bertatapan. Aku tahu, dia pasti berusaha untuk menemukan kebohongan itu dari mataku. Tak sulit untuk mempertahankan ketenangan dan ekspresi. Jika berhasil, maka kebohongan tidak akan gagal. Namun kali ini aku curiga. Ketika aku gagal berbohong pasal kentut yang membuat ricuh satu kelas, temanku yang suka menonton film komedi romantis berhasil membuatku mengaku dan disoraki teman sekelas. Dia bilang mudah saja, "mata tidak bisa berbohong". Dan sejak saat itu, aku tidak berani untuk membohongi temanku lagi.

Si dukun tampan itu menghela nafas, lalu bersandar pada sofa. Matanya masih menatapku.

"Dia adalah Nanami Kento. Salah satu rekanku yang diam-diam bergerak dibelakangku."

"... Apa urusannya denganku?"

"Aku yakin ada. Dia pasti menawarkan 'sesuatu' yang jelas membahayakanmu, bukan?"

Sudah kuduga. Pasti ada hubungannya dengan permintaan itu. Nanami Kento ... aku baru mengetahui namanya, tidak dari mulut orangnya sendiri. Menghela nafas berat, lebih baik aku menyerah untuk terus berbohong lebih lanjut. Sepertinya ini karma karena aku adalah seorang ahli berbohong, dulunya. Dan sepertinya kemampuanku yang satu ini sudah mulai memudar.

Sudahlah, tak ada lagi yang harus ku sembunyikan karena semuanya saling terhubung. Lebih baik terus terang saja padanya, mungkin dia bisa membantuku dari jeratan permintaan itu dan memberikanku uang setiap bulannya. Kuharap begitu.

"Kau tahu banyak hal. Apa kau juga tahu kalau aku diam-diam menguntitmu di sosmed?"

"Tentu."

"Sejak kapan?"

"Baru saja."

Astaga, dasar mulut. Kau membuatku malu setengah mati! Semoga wajah ini tidak memerah dan masih terlihat sangar seperti beberapa waktu yang lalu. Kumohon, jangan memerah. Menggelikan tahu!

"Se-sepertinya sudah tidak ada lagi yang harus dibicarakan. Kalau begitu aku pergi, ada urusan penting."

Segera aku berdiri, namun pria itu menggebrak meja membuatku kaget dan tak mampu melangkah. Dia terlihat dingin, dan hendak mengatakan sesuatu. Namun sesuatu yang berasal dari perutku membuatnya terdiam. Entah bagaimana wajahku saat ini, terlalu banyak hal-hal memalukan yang terjadi. Ah, hari sialku.

Senyuman kembali terulas di bibirnya. Aku tidak yakin semua ini merupakan pertanda baik....

"Mari kita pergi bersama dan membeli makanan kesukaanmu."[]

──── ◉ ────

Suamiku—maksudnya suami kita yang menjadi Aku—sudah mulai nampak guys(ノ≧∇≦)ノ ミ ┻━┻ monmaap Nanamin kamu jadi jahad disini :'D hayoo tebak, apa permintaan Nanamin ke [Y/N] ya?🤔 Jangan-jangan ...

Jangan lupa vote ya-! (๑♡⌓♡๑)

The StalkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang