Bagian pertama, sekaligus akhir.

20 2 0
                                    

Aku kembali menemukanmu meringkuk di bawah gugusan manik nabastala, di tempat di mana aku pertama kali menatap suraimu yang terbelai anila

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku kembali menemukanmu meringkuk di bawah gugusan manik nabastala, di tempat di mana aku pertama kali menatap suraimu yang terbelai anila.

Melihat bagaimana rintik-rintik itu memenuhi sudut pipimu, bagaimana kesiur angin membelai surai panjangmu, pula dengan dingin yang menghujani kulit bersihmu, aku ingin menjelma hangat melalui dekap.

Lalu dengan begitu saja, dua tungkai yang tadinya sempat membeku, kini bergerak menujumu. Pula dengan begitu saja, aku menyodorkan segelas latte panas yang kebetulan baru kubeli di cafe bawah.

"Terimakasih." ujarmu getar, setelah menerima segelas kopi yang menghangatkan telapakmu. Tentu saja dengan bumbu lengkung palsu yang terlukis pada durja nirmala itu.

Kala atensimu berpindah padaku seutuhnya—meski sejenak—, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana rona merah hampir menguasai sudut-sudut netramu.

"Kamu... nggak papa?" ah, itu pertanyaan paling bodoh yang keluar dari ranumku begitu saja. Padahal, hatimu jelas sedang hancur.

Aku semakin menyesali pertanyaanku kala tangismu kembali dan semakin terdengar pilu. Seperti hujan badai yang berteman gemuruh, ia deras dan begitu menyakitkan.

Setelahnya, kau meringkuk, bersandar pada pundakku yang semula melemah sebab isakmu.
Atap gedung, remang nabastala, candra serta gugusan kartika, jua kesiur angin yang semakin  dingin akan menjadi saksi, bahwa aku kembali memberanikan diri untuk menjelma hangat melalui dekap, jua mengusap surai legam itu.

"Terimakasih," kata itu kembali muncul dan menggantung. Perihal apa?
Masih dalam dekapku, kau melanjutkan, "kamu baik banget, Candra." aku diam. Namun jauh di dalam sana, aku bertanya-tanya, siapa yang lebih baik antara aku dan dia yang membuatmu menangis di atas sini?

Rupanya, nabastala ingin menjadi menyaksikan dekap kita melalui manik-maniknya yang begitu indah. Rupanya, anila begitu senang mendengar percakapan kita melalui kesiurnya yang semakin tak sabaran.

"Terimakasih," lagi.

Kali ini, aku bersuara sebab terimakasihmu selalu menggantung begitu saja. "Kali ini, buat apa?"

Kau berdiri dan menatap jalan raya di bawah sana yang menjelma pernak-pernik dikara. Dan entah bagaimana, aku mengikutimu, bersandar pada pagar kaca yang dingin.

"Untuk semuanya," ucapmu yang lagi-lagi menggantung. "Untuk  kamu yang selalu bisa bikin aku senyum lagi, untuk pelukmu yang selalu hangat, untuk kata-kata baikmu yang selalu bisa bikin aku berdiri lagi." sejenak, kau mengalihkan  atensimu untukku, dan kembali menatap jalan raya, "Terimakasih juga untuk kamu yang selalu bisa jadi sahabat yang baik, baik banget. Aku yakin, siapapun perempuan yang akhirnya menggenggam tanganmu dengan penuh cinta, dia perempuan yang paling beruntung. Sebab dia punya kamu." Kurva lengkung yang begitu indah menemani penutup kalimatmu.

Aku tersenyum sebagai tanggapan, pula sebagai selaksa harapan. Harap-harap, kata 'sahabat' berganti kasih. Harap-harap, perempuan itu ialah kamu, dan jika bukan, aku harap dia menjagamu sebaik-baiknya. Harap-harap, kau tak pernah hirap dari pandangku.

Untukmu, aku juga berterimakasih. Terimakasih untuk membuatku mengerti bahwa cinta bukan hanya tentang menerima, tapi juga rela.

-Daun-








Haloo terimakasih banyak berkenan membaca! Maaf masih banyak kurangnya :<

Aku kemarin iseng-iseng lagi bikin cerita habis dengerin Good Person. Lagunya bagusss banget, suara Haechan juga aksjaksllaksjakhsajslak aku langsung meleleh. Candu bangett!

Sampai jumpa~~

Tiga Kata TerimakasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang