Part01

4 3 3
                                    

Part 01
Ayam

"Tamat SMP, aku bakal pergi ke pondok," ucap Renjana pada sosok sahabat yang paling ia sayangi ketika mereka sedang berada di kantin sekolah SMP Wicaksana pada jam istirahat.

Savana, sahabatnya, selalu mendengarkan celotehan unfaedah yang dilontarkan seorang Renjana Laksmita Dewi. Dengan senyum haru, Savana menjawab, "Jana, Vana ikut seneng, tapi Vana gak bisa ikut mondok kaya kamu. Soalnya mama Vana heum—" Savana

menggantungkan pembicaraannya.
"Emangnya kenapa dengan mama kamu, Vana?" Renjana bertanya dengan nada bingung.
"Mama aku keadaannya semakin memburuk, jadi Vana gak bisa ikut mondok, mau jagain Mama," ucap Savana sembari menundukkan kepalanya.

"Gak apa-apa, Van. Kita, kan, sahabat! Eh, iya, kamu mau lanjut sekolah di mana? Siapa tau aja satu sekolah sama aku," ujar Renjana.
"Insyaa Allah Vana mau sekolah di SMK Tirta Jaya." Savana menjawab penuh semangat.

"Masa iya? Kan, Jana juga mau sekolah di sana, Van. Kok, gak bilang-bilang, sih, kalo Vana mau sekolah di SMK Tirta Jaya?"
"Ih, kan, kamu gak nanya, he–he–he," jawab Savana sembari terkekeh ringan.

Renjana pun cemberut, tanda tak terima bahwa Savana kurang terbuka kepadanya.

"Maafin Vana, ya!" Savana menundukkan kepalanya.
"Vana kenapa? Kok, jadi lesu, sih! Kan, Jana cuman becanda aja sama Vana," ujar Renjana dengan nada kebingungan.

"Vana sebenernya udah lelah banget," keluh Savana kepada Renjana. Padahal gadis seperti Savana jarang sekali mengeluh.
"Van, kok, ngeluh, sih! Ayok, dong, semangat!"

Savana malah heran melihat sahabatnya yang seperti tidak punya beban sama sekali.
"Jan, kok, kamu masih bisa senyum, sih? Padahal kamu, kan, lagi banyak masalah," selidik Savana.

"Bawa have fun aja kali, Van. Gak usah dibawa pusing segala."
"Iya juga, sih," ucap Savana membenarkan. "Eh, mending kita ke masjid aja, yuk! Kita nenangin diri di sana sambil curhat sama Sang Pencipta gitu, he–he, sambil nunggu waktu bel berbunyi," ajak Savana yang diangguki oleh Renjana, tanda setuju.

Setelah bel masuk, mereka masih santai berada di masjid SMP Wicaksana karena mereka sudah terbiasa telat di mata pelajaran ketiga. Mereka selalu menyempatkan diri untuk melakukan salat Duha di masjid dulu.

"Eh, Van, hayu!" ajak Renjana pada Savana yang masih menengadahkan tangannya sembari berdoa.
"Aamiin," ucap Savana yang diamini juga oleh Renjana. "Maaf, ya, lama." Permohonan maaf yang setiap hari diucapkan oleh Savana pada jam yang sama.

"Bosen lama-lama! Jana nguping permintaan maaf Vana udah terlalu sering," celoteh Renjana yang ditanggapi lucu oleh Savana.

"Yuk, masuk!" ajak Savana.
"Nah, gitu, dong, dari tadi. Sekarang pelajaran guru favorit kita, tuh, nanti telat. Yuk, lari!" Renjana yang begitu over semangat karena sekarang pelajaran Bahasa Inggris yang diajar oleh Bu Intan, seorang guru yang diutus dari Jawa Timur untuk mengajar di SMP Wicaksana.

"Assalamualaikum," ucap Renjana yang dibarengi oleh Savana.
"Waalaikumsalam." Serempak teman-teman sekelas Renjana menjawab.
"Excuse me, Mam, may I get in the class?" tanya Renjana kepada Bu Intan.

"Of course," jawab Bu Intan sambil mempersilakan kedua murid yang telat, karena semua orang juga sudah tahu kelakuan mereka berdua ketika jam istirahat.

***

Sepulang sekolah, Renjana dan Savana berpisah di gerbang. Arah rumah keduanya berlawanan. Savana dijemput ayahnya dan Renjana berjalan bersama teman-teman  yang lainnya.

Sesampainya di rumah, Renjana tak tampak satu orang pun.
"Assalamualaikum. Ayah, Bunda?" teriak Renjana karena terbiasa berteriak ketika pulang dari mana pun.
"Ternyata Ayah sama Bunda belum pulang, ya?" Renjana bertanya pada dirinya sendiri.

Tak berselang lama, Renjana mendengar ada keributan dari arah kandang ternak milik ayahnya.
"Petok, petok, petok, ppopetoook." Begitulah kira-kira suara ayam yang sedang dimangsa oleh seekor musang.
Dengan sigap Renjana mengambil sebuah ranting pohon kayu yang agak besar besar.

"Woi, berani-beraninya, ya, lu mau nerkam ternak ayah Jana! Gak berperikeayaman banget, tuh, musang!" Dengan barbarnya Renjana mengejar musang yang telah berhasil menerkam satu ayam milik ayahnya.
"Astagfirullah, ini ayam masih hidup lagi." Renjana bingung dengan begitu banyaknya luka ayam yang masih hidup itu.

"Aaayaaah, tolongin! Kasian ini ayam masih hidup!" Renjana berteriak sekencang-kencangnya, membuat para domba langsung bersuara.

"Ouh, iya, ya, Jana lupa. Ayah sama bBunda belum pulang. Terus ini ayam harus digimanain? Udah sekarat juga, mubazir kalo gak ditangani." Renjana bergumam lalu memutuskan sesuatu. Ia akan menyembelih ayam itu. Segera Renjana mengambil sebilah pisau dari dapur.

"Bismillahiromanirohim–" Ucapan Renjana menggantung, ia baru inggat bahwa dirinya adalah seorang perempuan. "Huh, lupa! Aku, kan, cewek. Tapi kata guru ngaji, kalo bener-bener darurat, kan, bisa.

Sekarang bener-bener gak ada orang. Yaudah, bismillah." Renjana langsung menyembelih ayam yang ukurannya pun masih tergolong muda.

Namun sayang, ayam yang disembelih Renjana tak kunjung mati.
"Kenapa masih hidup, tuh, ayam?" Renjana mulai panik. "Oh, tidak! Ini harus gimana?" teriak Renjana yang mulai menangis.

"Ayah, Bunda, kapan pulangm? Jana takut! Jana gak punya rasa perikeayaman lagi." Renjana meringis, terduduk di tanah sambil menundukkan kepalanya, seraya melihat ayam yang sekarat tadi.
"Ada apa, Renjana?" tanya seorang pria yang bernada bingung karena melihat ayam yang sekarat dan Renjana yang memegang sebilah pisau.
"Paman?" Renjana tampak begitu excited melihat tetangganya ada yang datang.

"Tolongin Jana. Ini tadi ayamnya diterkam musang. Jana gagal nyembelih ayamnya."
Tetangganya mengangguk.

"Bismillah," ucap tetangga yang biasa dipanggil Paman Barka.
"Yee ... alhamdulillah," ucap Renjana sambil berjingkrak kegirangan. "Makasih banyak, Paman."
"Iya, sama-sama, lain kali kalo ada apa-apa, bilang aja ke Paman. Nanti kalo bisa, dibantu, kok," jawab Paman Barka.

"Siap, Paman. Nanti kalo Jana butuh bantuan lagi, ya."
Ucapan Renjana disambut senyum hangat oleh tetangganya tersebut.
"Ayah, Bunda."

Tak lama berselang, Kania dan Agra pulang ke rumah. Melihat anaknya yang bertingkah aneh, Arga langsung bertanya, "Kenapa kamu, Jana?"
"Maafkan Jana, Yah. Tadi Jana nyembelih ayam Ayah," ucap Renjana jujur.
"Kenapa?" tanya Arga dengan nada bingung .

"tadi ayam Ayah diterkam musang galak, terus masih idup tapi udah sekarat. Maafin Renjana, ya, Ayah." Renjana berusaha jujur.
"Tidak apa-apa, Jana. Itu itung-itung buat pengalaman aja, ya, Nak," ujar Arga kepada anaknya.

----

Eits para reader jangan lupa Chek out, Novel Dari Bunga Untuk Daun di shopee, ya! Biar kalian bisa peluk novelnya.

https://shopee.co.id/product/7501611/16412237072?smtt=0.374991578-1646861522.9

Terima kasih banyak!

Jangan lupa Vote ogheh!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 09, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dari Bunga Untuk Daun Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang