Pertemuan

68 12 0
                                    

"Aku membenci Ibuku, sangat. Bahkan sejak pertama kali aku bisa menyebut namanya."

☘☘☘

Kata orang menunggu itu melelahkan tapi kata Bunda tidak apa-apa menunggu jika akan mendatangkan kebahagiaan. Namun lagi-lagi Jungkook dibuat tidak mengerti, hampir tujuh belas tahun menunggu sosok Ayah yang amat ia nantikan namun nyatanya hingga kini presensinya masih ia pertanyakan. Sayangnya Jungkook bukan remaja yang selalu merengek bila yang diinginkannya tidak dikabulkan, ia cukup menelan keinginan itu tanpa berniat untuk mengutarakan, baru jika sang Bunda bertanya maka pemuda itu akan berkata jujur tentang apa yang diinginkannya.


Jungkook sadar diri, ia tidak ingin banyak menuntut apa-apa, melihat gurat lelah sang Bunda tiap kali selepas dari bekerja saja membuatnya sering diliputi rasa bersalah. Tumbuh dengan orang tua yang tidak lengkap menjadikannya dewasa sebelum waktunya, maka menjadi anak penurut dan baik adalah pilihan tepat untuk setidaknya meringankan beban sang Bunda.

Namun hari ini adalah puncaknya, bermula dari dirinya yang tidak sengaja mendengar obrolan sang Bunda dengan seseorang di seberang telepon tengah malam tadi. Gelagat Bunda yang aneh membuat dirinya mengurungkan niat awalnya untuk mengambil segelas air putih di dapur. Mendengar nama dirinya yang disebut-sebut membuatnya mau tidak mau menguping pembicaraan sang Bunda malam itu.

"Sampai kapan pun, aku tidak akan mengizinkan anakku menemui mu, sialan!"

Jungkook terpaku sesaat, gelas yang ada di genggamannya ia remat begitu erat. Baru kali ini dirinya mendengar sang Bunda mengeluarkan nada bicara setinggi itu. Sosok Aeri dimata Jungkook adalah wanita yang lembut dan penuh kehati-hatian dalam bertutur kata, bukan seperti yang ada di hadapannya kini.

"Jangan hubungi aku lagi, tidak akan ada yang mengambil Jungkoo-kie ku, sekalipun kau ayahnya!!!"

Brakk

Jungkook terlonjak kaget setelah sang Bunda melempar gawai yang tadi bertengger ditelinganya. Dilihatnya wanita itu kini terisak dalam dengan tubuh gemetar. Suara tangisnya amat menyayat relung hatinya. Namun tubuhnya seolah enggan hanya untuk sekedar memberi pelukan dan membisikan kata-kata penenang untuk wanita yang menyandang status ibu kandungnya itu.

Jungkook menggeleng pelan, kilasan tentang semalam telah memukul telak hatinya yang paling dalam. Ayah yang selama ini ia inginkan kehadirannya ternyata mencarinya, namun faktanya Ibunya lah yang menjadi sumber penghalang pencarian yang tiada usai itu selama ini. Tangannya cekatan mengambil beberapa baju yang akan ia bawa, juga beberapa perlengkapan yang ia butuhkan. Tak lupa uang tabungan yang tidak sedikit itu ia masukan dalam dompet yang jarang sekali ia gunakan.

Matanya mengedar pada sekeliling kamarnya, kamar yang cukup luas ini akan ia rindukan dalam waktu yang ia pun sendiri tidak tahu akan kapan kembali. Namun hatinya sudah mantap, dirinya sudah menyiapkan hati untuk langkah yang akan ia ambil kini. Bahkan jika akhirnya hanya pahit yang ia terima, itu tidak apa-apa. Mungkin setelahnya ia akan hidup tenang tanpa lagi menunggu sesuatu yang selalu ia nantikan.

***

Langkahnya tidak tentu arah, segala yang ada di hadapannya kini begitu asing. Gedung-gedung pencakar langit dan juga jalanan yang dipenuhi dengan mobil-mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Gawai di genggamannya menjadi fokusnya sekarang, mencari penginapan yang sekiranya layak dan murah untuk ia huni beberapa hari ke depan. Anggaplah ia gila, tanpa petunjuk apapun pemuda berusia enam belas tahun itu nekat ke Seoul dengan menaiki kereta, jelas tujuannya untuk mencari keberadaan sang Ayah yang namanya saja ia tidak tahu dan wajahnya saja tidak pernah pemuda itu lihat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 10, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hi, MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang