Prolog

3 0 0
                                    

Diana Russel kini tengah berjalan santai menuju salah satu cafe. Ia ada janji temu dengan seseorang yang tadi malam menghubungi untuk membicarakan sesuatu. 

Suara lonceng dari pintu menggema di dalam cafe, menandakan bahwa ada pelanggan yang masuk. 

Gadis itu memilih untuk duduk di dekat jendela, spot favorit untuk menikmati senja juga jalanan luar yang menampilkan kondisi para pejalan kaki yang sedang berlalu lalang. 

Diana tak menunggu lama, cukup sepuluh menit sebelum seorang pria menarik kursi yang berada di depannya dan duduk tenang di sana.

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan, Ernest!" Diana masih menumpukan tatapan pada pandangan luar. Ia tak terlalu tertarik untuk menjatuhkan tatapannya pada sosok pria tersebut.

"Kau to the point sekali!" Pria yang memiliki paras rupawan tersebut tampak merengut lucu, namun cukup menjengkelkan bagi Diana. 

Gadis itu tak pernah ingin dekat dengan pria bernama Ernest tersebut, karna ia sangat mengenali bagaimana karakternya di balik wajah tampan yang tampak memikat.

"Aku tidak pernah suka basa-basi," sahut Diana lugas tanpa sekalipun mengalihkan mata. Pandangan luar lebih menarik daripada wajah menjengkelkan yang tak ingin ia jumpai saat ini.

Ernest sendiri tak tersinggung dengan sikap dingin Diana. Lagipula ia sendiri tahu bahwa gadis itu tak menyukainya untuk alasan lain. 

"Aku hanya ingin mengatakan untuk tak terlalu ikut campur dalam hubunganku dengan Devina," Ernest menyamankan duduknya sembari mengamati bagaimana raut Diana mulai mengeras. Kini atensi gadis itu sepenuhnya teralihkan pada Ernest. Bahkan gadis itu memberikan tatapan tajam yang mampu membuat siapapun bergidik.

"Keparat!" Diana tak sungkan untuk mengumpat. Ia mendesis marah melihat raut santai Ernest setelah mengatakan kalimat barusan. "Aku berhak untuk ikut campur karna Devina adalah kakakku. Dan aku tidak ingin kakakku terluka karna bajingan sepertimu!" Sentak Diana marah. 

Ya, Ernest salah satu pria yang menganggap seorang perempuan adalah mainan yang bisa mereka perlakukan semena-mena. Itu sebabnya gadis itu tak pernah suka dengan sosok Ernest karna pria itu memanfaatkan para gadis dan membuat mereka terluka setelah ia dapatkan. Dan kini, target Ernest adalah kakaknya, Devina. Tentu saja Diana tidak akan tinggal diam.

"Hm, padahal aku sudah menperingatimu beberapa kali untuk tak terlalu mengurusi masalahku. Tapi yeah, kau yang keras kepala, jadi jangan salahkan aku jika nanti terjadi sesuatu padamu, ataupun pada Devina." Ernest seakan menuangkan minyak pada kobaran api. Ia senang kali memancing amarah Diana, apalagi melihat bagaimana wajah cantik itu memerah. 

Ah, sayang sekali. Awalnya ia mengincar Diana, tapi gadis itu sulit untuk di dekati, bahkan beberapa kali mengumpatinya dengan makian, maka dari itu ia berganti target menjadi mengincar Devina, tapi sayang sekali, Diana ikut campur. 

"Bajingan!" Diana menggebrak meja. Ia tak memperdulikan pelanggan lain yang menatap penuh minat pada meja mereka.

"Jika kau berani menyentuh kakakku sedikit saja, aku tak akan pernah tinggal diam, Ernest! Akan ku pastikan kau menyesal!" 

Ernest hanya menjawab gadis itu dengan kekehan, yang membuat emosi Diana semakin meluap. "Kita lihat saja nanti, Diana. Siapa yang akan menyesal. Aku atau kau." Pria itu hanya menatap Diana penuh ejekan. Meremehkan gadis di depannya yang seperti ingin menghabisinya saat ini juga.

Ernest tak menunggu kalimat Diana lebih lanjut. Ia lebih memilih segera beranjak dari sana daripada harus membuang banyak waktu. 

Diana yang ditinggalkan begitu saja melampiaskan amarahnya dengan memukul keras meja. Ia mengumpat berkali-kali. Merasa sangat marah ketika Ernest mengancam akan menyakiti Devina.

Merasa tak ada keperluan lagi, Diana juga akhirnya meninggalkan kafe dengan luapan amarah yang belum mereda.

OOO

Diana memasuki rumah mewah bergaya Eropa tersebut dengan langkah pelan. Ia masih memikirkan ancaman Ernest di kafe barusan. Ia tahu seperti apa seorang Ernest. Ia akan melakukan apapun hanya untuk mencapai tujuan dan keinginannya, bahkan pria itu tak segan melakukan cara kotor. Diana sendiri tak bisa meremehkan Ernest begitu saja, karna sosoknya cukup berbahaya dan tak dapat di sentuh oleh hukum. Jadi, ia cukup khawatir ketika pria itu mengatakan akan melakukan sesuatu pada Devina.

"Diana." 

Panggilan bernada datar itu membuyarkan lamunan Diana. Ia menoleh pada sosok gadis yang tengah duduk tenang di sofa ruang tengah. Wajahnya tampak datar, tapi tatapannya menajam menuju Diana.

"Kak Devina,"panggil gadis itu sembari berjalan mendekati Devina. Baru saja ia akan duduk sebuah tamparan melayang pada pipi sebelah kanan Diana.

Rasa nyeri dan panas seketika menjalar ketika wajahnya tertoleh ke samping. Langsung menatap tak percaya Devina yang kini sangat emosi.

Belum sempat Diana menanyakan perlakuan sang kakak, Devina lebih dulu menyela. "Bisakah kau tidak ikut campur hubunganku dengan Ernest!" Pekik Devina garang. Ia tahu bahwa siang ini Diana sudah menemui Ernest. Devina juga tahu bahwa Diana menentang hubungan mereka, dan ia merasa marah karna adiknya terlalu turut campur. 

"Kak! Ernest itu pria brengsek! Bagaimana bisa kakak masih tetap bertahan! Apa kakak juga ingin terluka seperti mereka yang sudah terlebih dahulu berhubungan dengannya?"

"Aku tidak perduli! Aku mencintainya, Diana. Dan kau tidak berhak untuk melarangku bersamanya!" 

Diana hanya mampu menatap tak percaya pada Devina. Bagaimana kakaknya bisa begitu bodoh hingga memilih terjebak pada hubungan toxic dengan pria bajingan seperti Ernest. Ia hanya tak ingin Devina terluka, tapi justru kini kakaknya yang membuatnya terluka. 

"Berhenti untuk ikut campur Diana. Karna jika kau melakukannya, maka aku akan sangat membencimu!" Desisan bernada amarah tersebut sukses membuat Diana terpaku sejenak, sebelum ia tertawa hambar. 

Lihatlah! Setelah ia berusaha melindungi Devina dari pria brengsek seperti Ernest, begitu tanggapan Devina. Kakaknya bukan hanya tak menghargai usahanya untuk melindungi Devina, tapi gadis itu juga membuatnya merasa sangat tersakiti ketika kakaknya lebih memilih bersama sosok bajingan seperti Ernest. Sungguh, ia sangat kecewa pada Devina saat ini.

"Kau membuatku kecewa, kak." Lirihnya dengan suara serak.

Diana akhirnya memilih untuk pergi dari rumah. Tak memperdulikan lagi tentang kakaknya. Saat ini ia benar-benar kecewa. Setelah semua usahanya, Devina tak menghargainya sama sekali. Malah tetap memilih si bajingan itu bahkan setelah tahu seberapa brengseknya seorang Ernest. 

Setelah ini, ia akan lepas tangan. Terserah jika Devina nanti akan terluka, lagipula ia sudah memperingati kakaknya, dan tak direspon baik. Jadi biarkan saja. Ia tak akan ikut campur lagi.

Baru saja Diana ingin menyebrang, sebuah mobil dari arah berlawanan melaju kencang menuju dirinya. Gadis itu ingin segera menghindar, tapi body mobil tersebut sudah terlebih dahulu menyambar tubuhnya hingga terhempas keras menuju aspal dingin.

Pandangannya seketika memburam. Seluruh tubuhnya seakan remuk. Bahkan ia mencium bau anyir darah yang terasa mengalir disekujur lukanya. 

Rasa sakit ini benar-benar luar biasa, dan Diana tak sanggup untuk bertahan. Sebelum pandangannya benar-benar menggelap, ia mengatakan sesuatu.

"Aku selalu mengharapkan kebahagiaan untukmu, kak Devina. Selamat tinggal."

Come To Another WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang