***
Bel pertanda masuk kelas diniyah malam baru saja berdentang. Puluhan santri berseragam putih mulai beriringan menuju gedung madrasah. Suara gesekan alas kaki pun terdengar bersahutan. Teriakan dari beberapa santri, juga turut membuat suasana bakda Isya' semakin riuh.
"Zaaaa, ayo berangkat!" teriak Nia dari luar asrama.
"Iyaaa," jawabku tak kalah lantang dari kamar.
Usai memoleskan bedak tipis di wajah, aku bergegas mengenakan jilbab secara asal. Aku malas mengantri di depan cermin jika sekadar untuk mengenakan penutup kepala itu. Usai menyematkan jarum pentul di bawah dagu, segera kukantongi kartu ujian serta alat tulis kemudian beranjak untuk berangkat.
"Lama banget sih kamu ini, Za! Aku keburu pengen ketemu ustaz Abdullah ini, loh!" Nia menggerutu saat aku baru sampai di hadapannya.
Aku hanya menunjukkan cengiran mendengar cicitannya. Wajah gadis berwajah bulat itu semakin membulat saat cemberut. Dia masih saja menggerutu saat menggamit lenganku dan mulai berjalan menuju madrasah.
Aroma parfum dengan merk beragam menguar menusuk indera penciuman saat kami berjalan beriringan dengan para santri. Hal itu sudah tidak mengherankan. Terlebih beberapa santri justru berprinsip, yang penting wangi meskipun tidak mandi. Sungguh, sebuah prinsip yang konyol. Apakah aku termasuk dalam barisan itu? Jawabannya adalah min ba'dliha alias termasuk bagiannya.
Malam ini Ujian akhir permadin (persamaan Madrasah Diniyah) hari ke lima mata pelajaran Hadits. Pesantren Darus Saadah memang memisahkan kelas diniyah antara santri formal dengan santri salaf. Tetapi, itu berlaku untuk santri yang ada pada tingkat Tsanawiyah. Meskipun berbeda waktu, tetapi materi juga kitab yang diajarkan tetap sama.
Seperti malam-malam sebelumnya, kami akan dijaga oleh para ustaz muda yang mengabdi sebagai pengurus putra. Sudah barang tentu hal ini menjadi momen menyenangkan bagi para santri putri. Namun, tidak termasuk diriku.
"Alhamdulillah, Ustaz Abdullah jaga di sini," bisik Nia sambil berisik sendiri di sampingku kala sosok yang disebut namanya muncul di pintu. Aku hanya memutar bola mata malas merespon ucapannya.
Tak lama, ustaz yang sudah menempati meja guru itu membuka kelas dan memimpin doa bersama sebelum ujian dimulai. Setelahnya, lembar demi lembar soal mulai didistribusikan pada para peserta ujian.
Aku mulai membaca deretan pertanyaan Hadist pada kertas soal. Otakku mulai bekerja mencari jawaban. Saat barisan soal sudah di depan mata, selalu saja materi yang sudah dipelajari seakan berhamburan entah ke mana.
Ujian berlangsung dengan hening dan tenang selama 30 menit pertama. Namun, selanjutnya kelas mulai riuh saat 30 menit ke dua. Kami mulai mencari jawaban kesana kemari dengan memberi kode atau semacamnya. Saat aku sedang sibuk bertukar jawaban dengan teman bangku sebelahku, tiba-tiba ustaz Abdullah menghampiri. Nia yang awalnya ikut berisik langsung diam seketika. Aku sudah was-was dan takut jika lembar soal dan jawabanku bakal diambilnya dengan paksa.
"Izza."
Ustaz Abdullah berdiri tepat di samping meja sambil memegang kertas ujianku. Duh, mati aku!
"Sudah selesai?" tegurnya. Aku mengangguk kemudian menggeleng. Terlihat Ustaz Abdullah mengernyit, mungkin dia bingung dengan isyarat jawabanku. Akhirnya aku kembali mengangguk. Sejurus kemudian dia mengulum senyum, berbanding terbalik dengan yang ada dalam pikiranku.
"Malam terakhir ujian besok mau di jaga sama ustaz siapa?" tanyanya lagi. Bukan bertanya tepatnya menawarkan. Entah angin apa yang membuat ustaz muda yang terkenal konyol dan suka menggoda para santri dengan celetukannya itu tiba-tiba bertanya demikian.
Mungkin kalian bingung, kenapa Ustaz Abdullah terkesan begitu kenal denganku. Sebenarnya bukan hanya dia, tetapi hampir sebagian besar para asatiz juga asatizah mengenal Izzatun Nihayah sebagai santri yang suka molor di kelas. Entah kenapa mataku seringkali tak bisa diajak kompromi kala pelajaran berlangsung.
Ustaz Abdullah masih berdiri di samping meja. Dia terlihat sedang menunggu jawaban dariku. Dengan wajah linglung dan bingung aku menggeleng.
"Yakin gak pengen milih ustaznya?" Nada bicara Ustaz Abdullah terdengar tidak yakin.
"Temanmu yang lain sudah milih, kok, tadi. Ada yang mau dijaga Ustaz Hanan, Malik, dan ustaz lainnya," jelasnya.
Aku menggaruk kening bingung. Di samping itu, aku hampir tidak menghafal nama para asatiz baru. Sebenarnya aku malas menanggapi pertanyaan yang terdengar iseng dari Ustaz Abdullah ini. Mana ada guru jaga ujian bisa request, padahal jadwal sudah paten.
Kujawil lengan Nia yang duduk di samping kanan agar membantu, tetapi justru dia tak menghiraukan, pura-pura sibuk mengerjakan. Padahal, pasti dia sedang berusaha mengatur ritme kerja jantungnya yang tak beraturan karena sang idola berada di depan mata.
"Za, lama banget mikirnya?" tegur Ustaz Abdullah mengagetkan. Ya Salam, aku hampir saja lupa jika sosok ustaz berperawakan lumayan kecil itu masih menunggu jawabanku.
"Mmm ... ustaz siapa ya, Taz?"
Aku kembali beusaha mencari satu nama yang belum pernah masuk di kelas ini. Tiba-tiba ingatanku tertuju pada perbincangan para santri diniyah yang berkali-kali menyebut nama itu.
Entah seperti apa rupa seseorang yang digadang-gadang menjadi salah satu ustaz dengan wajah rupawan dan kepintaran yang melebihi teman seangkatannya. Ustaz baru dengan pesona baru. Itu ungkapan para santri diniyah yang kudengar. Terkesan sedikit lebay di telinga, tetapi sempat membuat hatiku ikut tergelitik dan penasaran.
"Ustaz Fahim boleh, Taz?" celetukku.
Ustaz Abdullah terlihat terkejut saat aku menyebut nama itu. Terlihat dari bola matanya yang membulat. Sejurus kemudian dia mengulas senyum dan memberiku sebuah anggukan.
"Oke. Request diterima. Nanti bakal kusampaikan padanya jika ada permintaan dari santri putri buat jaga ujian di kelasnya," ujarnya seraya berlalu dari meja.
Namun, Ustaz Abdullah tiba-tiba berbalik arah ke tempatku kembali. Aku yang baru bernapas lega terkejut.
"Titip salam buat dia, Nggak?"
Aku mengerjap bingung. Pertanyaan yang aneh.
"Ya udah nanti tak salamin saja buat dia dari Nduk Izza," putusnya tanpa menunggu jawabanku. Ustaz Abdullah kembali beranjak menuju mejanya.
Aku yakin itu hanya bahan bercandaan. Bukankah jadwal jaga ujian sudah tertulis? Bisa saja Ustaz Abdullah hanya ingin iseng saja. Namun, jika itu benar-benar disampaikan, bisa mati kutu aku!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Syukron Ustaz
RomanceSeorang Gadis yang jatuh cinta yang iseng menitip salam pada ustaz yang belum pernah dia kenal, tetapi akhirnya jatuh cinta.