“Hari ini Kakak akan pergi?”
Suara itu membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke arah ambang pintu yang baru saja dilewati oleh adik perempuanku, Ana. Aku tersenyum pada gadis yang akan segera berusia 16 itu.
“Begitulah,” kataku. Aku meraih gelas berisi teh tawar yang sedari tadi berada di hadapanku.
“Berapa lama Kak Ronan akan pergi?”
“Paling lama seminggu,” kataku. “Itu batas waktu yang disepakati bersama.”
“Kakak akan pergi dengan orang lain?” tanya Ana dengan alis tertekuk. “Apakah buruannya kali ini berbahaya?”
Aku terkekeh lalu berkata, “Mana ada buruan kerajaan yang tidak berbahaya?”
Saat melihat wajah Ana yang memucat, aku tersenyum padanya. Aku bangkit berdiri, berjalan menuju arahnya, lalu menyentuh pundaknya.
“Dengar,kau tidak usah khawatir, oke? Aku pasti akan kembali. Aku akan pulang dengan membawa emas. Sangat banyak emas. Setelah itu kita bisa membawa Mama ke tabib. Dia akan mendapatkan perawatan yang baik dan dia akan sembuh,” kataku.
“Kak... Kakak tidak lelah karena mengurus aku dan Mama terus-terusan?” tanya Ana dengan suara bergetar.
“Tidak. Tidak pernah,” kataku. “Jaga Mama baik-baik. Ingat, jangan membuat keributan.”
Ana mengangguk. Aku mengambil tas yang berisi berbagai persiapanku: obat-obatan, beberapa potong makanan kering yang tahan lama, air minum, serta sedikit pakaian ganti. Kupakai mantelku, lalu kusarungkan pedangku di balik mantel itu. Kupanggul tabung anak panah serta busurku.
“Aku pergi,” kataku.
“Hati-hati,” kata Ana.
Aku tersenyum padanya, lalu melangkah keluar dari rumah.
* * *
Butuh sehari penuh sebelum kelompok kami tiba di tepi Hutan Kelam, tempat tujuan kami. Yah, nama resminya adalah Hutan Richmond, dinamakan sesuai dengan nama raja pertama Kerajaan Terathia, tapi para penduduk lebih sering menyebutnya sebagai Hutan Kelam. Hutan itu memang terkenal karena pohon-pohonnya yang menjulang tinggi, berdaun lebat, serta jaraknya yang rapat-rapat. Formasi pepohonannya ini mengakbatkan sinar matahari sulit tembus ke dalam hutan. Semakin ke tengah, semakin gelap hutan itu. Bahkan kami akan membutuhkan bantuan cahaya api di siang hari kalau kami masuk sampai ke tengah hutan nanti.
“Kita istirahat di sini,” kata Eldrick, seorang pria berusia 40-an yang menjadi kepala kelompok kami. Dia telah menjalani pekerjaannya sebagai seorang pemburu selama 20 tahun lebih.
Pemburu, itulah pekerjaanku. Bukan binatang yang aku buru, tapi manusia. Tepatnya orang-orang yang kepalanya dihargai sejumlah emas oleh pihak kerajaan.
Aku turun dari kuda sewaanku dan mengikat hewan itu di salah satu pohon. Aku lalu memilih duduk di atas sekumpulan akar besar yang menyembul dari dalam tanah. Salah seorang pria mulai menumpuk kayu dan membuat api, sementara beberapa orang lainnya tampak duduk melingkar dan mulai bercerita. Kulihat Eldrick sedang bicara dengan seorang pria lainnya yang tampak seusia dengannya. Pria itulah alasan kelompok ini terbentuk. Namanya Glassgow dan dia adalah seorang penyihir.
“Hei, Ronan. Sudah lama tidak melihat batang hidungmu,” kata seorang pria yang menghampiriku, lalu duduk di sebelahku. “Kenapa kau memilih duduk di tempat seperti ini? Rasanya tidak nyaman.”
“Kalau begitu jangan duduk di situ, Gabe,” kataku sambil menutup mata.
Gabe tertawa, lalu berkata, “Masih tetap tidak suka beramah-tamah ternyata. Bagaimana kabar ibumu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Kerudung Merah dan Sang Pemburu
FantasySebuah cerita tentang seorang bounty hunter, kerudung merah, dan sebuah hutan kelam.