Entah kenapa ketika perempuan itu menanyakan pertanyaan itu kamu terasa dilempar kembali ke kejadian beberapa tahun lampau.

"Kalau kamu tidak—"

"Tebakanku salah hari itu," potongmu. Matamu memandang lurus ke arah jendela kamar. Cuaca di luar tampak mendung.

"Aku akan sampai di rumah dengan kondisi basah kuyup. Begitu ucapku dalam hati sesaat lonceng pulang sekolah dibunyikan. Aku masih duduk di bangku SMA pada waktu itu, tahun terakhirku, masih segar dalam ingatanku hari itu setelah lonceng berbunyi aku segera membersihkan laci meja dan mendukung tas ranselku."

Kamu memberi jeda sejenak. Tanpa berusaha mengingat, kejadian pada hari itu seperti putaran film hitam-putih yang datang mengganggumu dengan tampilan gabasnya. Ingin sekali kamu merusak dan menghapusnya, tapi semakin kamu berusaha semakin jelas memori itu terputar. Peristiwa-peristiwa akan bisa terlewati tetapi memorinya akan selalu dapat dikenang, itulah cendera mata terbaik dalam hidup, bukan?  

"Hari itu terasa seakan alam sedang tidak ingin berkawan denganku," kamu tertawa kecil. Sinis.

Perempuan itu menggeser maju kursi yang didudukinya. Siap mendengarkan ceritamu. Dia tahu dia telah berhasil memancingmu dan kamu membiarkan itu. Setidaknya dia orang yang tepat untuk mendengar itu semua, pikirmu.

"Mulai peristiwa pagi hari dimana aku tidak sengaja menginjak kaki seorang guru saat buru-buru berlari masuk mengikuti kelas pertama di pagi hari, lalu disusul dengan martabak favoritku yang terbang keluar dari kantong kreseknya saat aku sedang kelaparan di jam istirahat, dan ditambah lagi hujan yang sudah siap menyambutku."

Perempuan itu berusaha mendekatkan tangannya ke tubuhku, "Terkadang memang ada hari dimana seakan semesta marah dan ingin memberikan kita peringatan bahwa kita harus terus menghargai dan jangan melupakan bahwa kita tidak hidup sendirian di dalamnya."

Mungkin, pikirmu saat itu.

"Aku sudah terbiasa pulang sekolah dengan berjalan kaki ke rumah, selain karena jarak sekolahku dekat dengan rumah, aku juga suka mampir membeli roti bakar di warung yang letaknya di tengah-tengah jalan menuju rumah."

Kamu menelan ludah, tiba-tiba rasa manis, asin, dan gurih bersemayam di lidahmu. Kamu baru sadar bahwa kamu belum menyantap sarapan.

Seperti membaca pikiranmu, perempuan itu menawarkan, "Sepertinya di depan ada yang jualan roti bakar di warung pinggir jalan, nanti saya coba mampir. Apa kamu mau sekarang?"

"Tidak usah, nanti saja," jawabmu.

"Oke." Perempuan itu kembali menyimak.

"Setengah perjalanan menuju warung aku hanya dihadang dengan gerimis sehingga aku tidak harus mengeluarkan kemampuan berlariku. Aku memesan dua porsi, selalu dua porsi, tidak pernah kurang dan tidak pernah lebih. Satu porsi akan aku santap dalam setengah perjalananku menuju rumah dan satunya lagi akan disantap di rumah saat aku bersantai sembari nonton," kamu berusaha menjelaskan sedetail mungkin. 

 "Tepat setelah beberapa menit aku keluar dari warung hujan pun turun. Segera aku selundupkan roti bakar itu ke dalam ransel lalu aku berlari sekencang-kencangnya. Tetapi sepertinya memang semesta ingin memberiku pelajaran hari itu, hujan semakin deras sehingga aku terpaksa harus berteduh. Aku berhenti di depan sebuah rumah kecil, rumah petak. Dari deretan rumah petak itu sepertinya hanya rumah itulah yang berpenghuni, rumah yang lain tampak gelap dan kosong."

Pandanganmu masih tertuju ke jendela kamar yang dibiarkan terbuka. Lucu rasanya karena tiba-tiba diluar turun hujan seakan semesta saat itu juga sedang ikut mendengarkan ceritamu.

"Hujan semakin deras dan berlama-lama berdiri di sana membuatku merasa cemas. Tetapi jika dipaksakan seluruh pakaianku hingga isi ranselku akan basah. Sembari menunggu aku melihat sekeliling, jalanan kecil di situ tampak sepi, tidak ada kendaraan ataupun manusia yang berkeliaran. Aku menoleh ke arah belakang, ke arah dalam rumah, lampu ruang tengahnya menyala, TV-nya juga sedang diputar tontonan FTV, dan ada seorang pria yang sedang duduk di lantai sambil menonton. Pria itu bertelanjang dada dan ada tato bola api di lengan kirinya."

Angin bertiup cukup kencang sehingga air hujan mulai masuk ke dalam ruangan lewat jendela. Perempuan itu berdiri dari kursinya dan menutup jendela. Dia kembali tetapi kali ini dia duduk di samping kasur, mencoba melihat wajahmu dari depan.

"Lalu apa yang terjadi setelah itu?"

"Percikan air di jalanan semen mengalihkan perhatianku kembali ke depan. Aku mencari-cari sumbernya dan ternyata ada di rumah sebelah, rumah kosong yang pipa airnya sudah rusak sehingga air yang jatuh ke tanah menjadi tidak terkendali. Setelah itu muncul ide cemerlang untuk menyantap satu porsi roti bakar yang kubeli tadi. Lekas aku membuka resleting ransel, merogoh kantong kresek di dalamnya, tapi tiba-tiba aku dikagetkan dengan tangan  manusia yang mencengkeram lenganku dengan kuat. Sesaat aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku hanya diam memaku. Pelan-pelan aku menoleh ke samping, ternyata pria yang tadi berada di ruang tengah sedang berdiri di belakangku dengan matanya yang merah dan bau alkohol yang menyengat."

Perempuan itu tertegun memandang wajahmu yang sudah sedikit berkaca-kaca. Dia mencatat sesuatu di kertas yang dibawanya, "Apa yang terjadi?" tanyanya.

Tugasnya sebagai psikiater hari itu hampir selesai untuk mendapatkan sesuatu darimu, dari masa lalumu yang membentukmu menjadi kamu yang sekarang.

"Perutku sudah keroncongan, bolehkah aku menyantap sarapan yang tadi dijanjikan?"

"Ya, oke. Baik. Tunggu sebentar, nanti saya balik lagi."

Ekspresi perempuan itu tampak kecewa. Dia berdiri terlihat kebingungan seperti mencari-cari sesuatu di atas kasur lalu memutuskan untuk keluar, tetapi sebelum dia menutup pintu kamar kamu menyampaikan apa yang ingin dia dengar.

"Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya tetapi tidak bisa, tidak ada juga yang bisa mendengar teriakanku pada kondisi hujan deras seperti itu," terangmu.

Air matamu tercurah. Perempuan itu lekas masuk dan berusaha menenangkan. Tapi gejolak dalam dadamu tak sanggup dibendung lagi.

"Aku berusaha untuk meminta pertolongan tapi benar seperti yang tadi kau katakan sepertinya hari itu adalah hari di mana semesta tidak ingin mendengarkanku. Aku meronta-ronta tapi dia membekapku. Lalu dia membawaku ke dalam kamar, mendorong tubuhku ke atas kasur dan dia ...."

Lidahmu terkelu sesaat, berusaha menahan emosi dan tangismu.

"Dia ... dia melakukannya! Dia melakukan hal itu kepadaku! Dia melakukannya! Aku hanya bisa diam, tidak ada yang dapat mendengar teriakanku!"

Suasana menjadi histeris. Cuaca di luar membuatmu semakin teringat jelas dengan semua yang terjadi pada hari itu. Wajahmu basah karena air mata. Kamu tersengut-sengut sembari mengucap berulang-ulang kali, "Dia melakukannya ... dia melakukannya."

Perempuan itu memelukmu tapi kamu tidak bisa merasakan apa-apa, percuma, lukamu sudah kembali meradang dan rasa perihnya telah menutup semua rasa yang ada.

CandramawaWhere stories live. Discover now