"Bukan gitu. Maksudnya, kalo kita ngga pernah bisa kembali?"
Heeseung mengernyitkan keningnya, dia tak mengerti apa yang dibicarakan oleh lelaki yang satu tahun lebih muda darinya itu. "Maksudmu gimana sih? Jangan berbelit-belit dong."
Jay menatap Heeseung sejenak, lalu ketika melihat wajah jengkel kakaknya itu membuatnya terkekeh kecil. Dia menghembuskan napas panjang, dan kembali bersandar pada sofa di belakangnya.
"Hyung, manusia itu pasti mati, ya?"
Pertanyaan berikutnya yang membuat Heeseung jauh lebih bingung. Ini Jay yang terlalu berbelit-belit, atau Heeseung yang kurang cepat tangkap? Namun dia tak mau dibuat pusing, jadi dia ikuti alurnya saja.
"Iya." Jawabnya singkat.
"Kenapa kematian itu ada?"
"Kematian adalah perpisahan terbaik, karena rencana itu langsung dibuat oleh Tuhan. Semua orang bakalan mati, termasuk kamu atau aku." Heeseung menjelaskan sesuai apa yang dia pahami tentang semua itu, dengan terus terang, dan dengan sedikit rasa takut.
Kematian adalah cara berpisah yang paling terbaik, tapi juga menggores luka yang paling perih.
"Terus, gimana dengan mereka yang sudah seperti rumah bagi seseorang?"
"Orang itu bakalan kehilangan rumahnya."
Dibalik tatapan kosong Jay terbesit perasaan khawatir. Namun Heeseung tak pernah tau hal itu, karena sekarang dia terlalu fokus memikirkan tentang 'rumah' itu sendiri.
"Bukan rumah, tapi hanya sekedar tempat singgah. Ngga ada yang abadi di dunia ini, bahkan semesta sekalipun akan hancur jika waktunya udah dateng. Ya pada akhirnya, semuanya akan hilang kalo udah waktunya menghilang."
"Kalo Hyung yang dihadapkan sama kehilangan itu sendiri, gimana? Apa Hyung bisa ikhlas dan membiarkan siapapun pergi?" Kalimat yang berhasil membungkam Heeseung untuk beberapa saat.
"Aku bukan malaikat. Aku cuma manusia biasa yang lemah, tapi selalu mencoba untuk kuat. Kalo aku dihadapkan sama kehilangan itu sendiri, mungkin aku bisa ikhlas, tapi perlu waktu begitu lama buat itu."
"Apa Hyung bakalan marah?"
"Iya, jika semesta ngambil mereka secara tiba-tiba tanpa aba-aba." Kini Jay yang terdiam. Dia selalu menatap lurus ke depan, tepat kearah pintu yang kini tertutup rapat.
"Aku tau, kematian itu ngga ada yang tau. Itu hanya tentang Tuhan dan semesta. Tapi, tolong jangan lagi, jangan sekarang."
Heeseung mulai mengingat semua yang pernah terjadi di hidupnya. Semua orang yang dia sayangi pergi begitu saja, pertama ayahnya, kedua kakaknya, lalu.. ah tidak! Jangan lagi. Dia hanya ingin bahagia sekarang.
"Gimana kalo Hyung dihadapkan sama kehilangan itu, lagi?"
"Hancur. Hanya kata itu yang bisa aku rasain kalo seandainya itu tejadi. Semesta udah terlalu kejam sama orang lemah seperti aku."
"Semesta ngga kejam." Elak Jay, membuat Heeseung menoleh kepada laki-laki di sampingnya itu.
"Katanya kematian itu adalah rencana perpisahan terbaik, berati kehilangan itu juga sama. Itu takdir terbaik tuhan untuk mengambil kembali jiwa-jiwa yang pernah dia ciptakan." Heeseung kini bungkam. Perkataan Jay ada benarnya.
Jujur, Heeseung adalah penikmat keindahan semesta, anak senja dan sahabat hujan. Disatu sisi dia suka bagaimana cara semesta bekerja, tapi disisi lain dia tak suka bagaimana cara takdir diukir. Dia selalu menyalahkan semesta, tapi tanpa sadar dia juga bisa bahagia disana.
Walau hanya sekejap.
"Hyung, jaga diri." Dia dikagetkan dengan Jay yang tiba-tiba bangun dari duduknya. Berjalan damai menuju pintu utama. Setelah mengatakan sepenggal kalimat barusan dia langsung saja berjalan tanpa menoleh kebelakang sedikitpun.
![](https://img.wattpad.com/cover/295766086-288-k427806.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Alone
Подростковая литература"Aku yang salah. Kalian sebenarnya hanya singgah, tapi tanpa sadar aku menjadikan kalian rumah." Hidup dibayangi kenangan masalalu membuat Lee Heeseung menjadi putus asa. Ada rasa bersalah yang benar-benar melekat di hatinya, membuatnya semakin depr...