Bagian 1

9 1 0
                                    

Irama air hujan lazimnya datang untuk dinikmati bagi penikmatnya. Terlebih di saat hujan itu turun di pagi hari, lengkap sudah dengan selimut tebal yang menghangatkan tubuh. Satu percik, dua percik bulir nya yang jatuh ke bumi bersamaan dengan iringan musik lazimnya terasa menenangkan.

Hei itu dirumah. Lihatlah sekarang, apa itu menenangkan? Jerit tawa terdengar dimana-mana dengan volume yang tinggi. Memekakkan telinga sampai tak jarang ruangan itu menjadi pusat perhatian bagi siswa yang melintas. Sesekali mereka menyembul di balik jendela, penasaran dengan sumber suara itu.

Tepat didepan sana, itulah sumber dari anak-anak semut yang bergerombol menyebabkan bising. Tepat di samping papan tulis putih terdapat kertas berukuran A4 yang bertengger kokoh pada sebuah dinding kelas menjadi perhatian utama mereka. Kertas dengan judul "Pengumuman" yang berisikan tentang kegiatan mereka di bulan Juni. Dengan topik utama kapan mereka akan berlibur, dan pembagian raport kenaikan kelas. Tak ayal satu kelas diisi kehebohan sebab masih banyak tugas mereka yang 'bersih'. Sudah terbayang bagaimana nasib raport mereka.

Dalam sepersekian detik, kelas yang semulanya seperti pasar seketika hening dengan mata mereka yang membola sebab terkejut. Pintu kelas yang memiliki dua sisi terbuka secara bersamaan dengan dorongan yang keras. Tenaga itu berasal dari salah satu kaki milik seorang anak laki-laki. Saat berhasil membuat seisi ruangan itu terdiam, salah satu sudut bibirnya terangkat tipis. Semakin lama dilihat semakin meyebalkan cengiran itu.

Sangat menyebalkan, anak itu berulah lagi. Itu sengaja. Satu kejahilan ter-parah yang pernah ia lakukan adalah mencabut lilin ulang tahun milik salah seorang guru killer yang saat itu sedikit lagi angin dari bibirnya memadamkan api dari lilin itu. Dengan bangga dirinya membawa lilin itu mengelilingi kelas lalu meniupnya.

"Ganti rugi kaca jendela belum puas ternyata. Soon pintu itu juga bakal diganti rugi sama dia." Bisik salah satu siswa sembari berkacak pinggang dan menggelengkan kepalanya. tak lama temannya menimbrung obrolan itu. "Gapapa, dia anak sultan. Nanti kalau pintu itu rusak juga dia bakal ganti. Mungkin pakai pintu emas, kayak jendela kemarin kan." Suara tertawa terdengar diantara keduanya.

Jikalau kelas lain orang akan menyebutnya dengan label kelas '10 IPA 1' tidak dengan kelas ini, mereka akan berkata lantang "kelas jendela emas". Itu emas asli, murni. Entahlah berapa nilainya, pusing mereka melihat digitnya yang terlalu banyak.

Tanpa terasa sudah 20 menit layar pipih persegi panjang itu ia abaikan. Es batu yang berendam didalam coffe latte sudah mencair. Hujan yang sedari awal menemani-nya menulis kata demi kata- sudah berhenti. Menyisakan aroma khas yang menyeruak di indra penciuman. Serta genangan air yang tertinggal mengakibatkan cipratan-cipratan kecil oleh pejalan kaki.

Sejatinya manusia memang seperti itu. Saat semuanya terasa melelahkan, melamun dan mengingat hal yang membuat hati tenang adalah obat. Hal itu sering kali dilkakukan oleh Zora saat sedang buntu dengan skripsinya. Dengan otaknya yang sudah limit, begitupun juga dengan waktu. Semuanya terasa seakan pecah dalam hitungan detik. Terkadang, disaat seperti ini ia butuh hiburan dari anak lelaki jahil yang mengganti kaca jendela kayu dengan emas.

Ayo zora semangat, semangat lulus tahun ini. Zora berkata dalam hati. Dengan cekatan, jari jemarinya kembali menari diatas huruf demi huruf yang ia tekan di keyboard laptop. Kata demi kata, terangkai menjadi kalimat, kian membanyak membentuk paragraph, hingga halaman baru terbuka menciptakan pembahasan yang lebih mendalam tentang topik skripsinya.

Sampai di halaman ke sekian, kelopak matanya menutup pelan menyebabkan kepalanya terhantuk laptop. Kembali tersadarkan, Zora melanjutkannya lagi, namun terjadi lagi. Tanpa memikirkan kata penyemangat yang baru saja ia serukan beberapa menit yang lalu. Ia merobohkan kepalanya diatas meja dengan berbantalkan sebuah tas yang memiliki banyak tumpukan buku didalamnya. Sangat cocok dijadikan bantal darurat.

Tuk

"Eh gila, sejak kapan gue bawa batu?" tanyanya dengan perasaan kesal, sesekali mengusap keningnya. Dengan rasa penasaran, Zora membuka resleting tas berwarna cream itu. tangannya menangkap sebuah benda persegi berukuran sedang yang berisikan sebuah sandwich didalamnya. Lambat laun kedua sudut bibirnya terangkat. Moment yang pas, dia memang tidak memasukkan secuil makanan pun ke dalam perutnya sejak kemarin sore.

Di sisi luar cafe, lelaki dengan setelan kemejanya terduduk mengamati dengan intens.  Adiknya itu terlihat sangat menggemaskan ketika sedang mengunyah, sebab menciptakn kedua pipinya yang tembam berkali-kali lipat. Setelah dua potong sandwich itu habis terlahap, barulah Zora menyadari hal itu. lantas dirinya bergegas merapikan seluruh barang-barangnya dan berlari menghampiri sang kakak- Elar namanya.

"Selamat sore nona." Zora tersenyum geli mendengar hal itu, bukan karena sang kakak yang memanggilnya dengan sebutan 'nona'- itu sudah biasa, melainkan raut wajahnya yang terlihat seperti mafia abal-abal. Tanpa banyak bicara, dirinya lantas menaiki motor itu dan menautkan kedua tangannya pada pinggang ramping milik kak Elar.

Di tengah jalanan yang merayap akibat kemacetan yang parah. Dan bisingnya suara klakson kendaraan. Zora mulai membuka suara, "Kak, makasih ya sandwich-nya, Zora suka." Elar tersenyum lebar mendengarnya, hanya mengangguk sebagai jawaban. 

"Besok mau dibawain lagi enggak?" Zora tampak berfikir, "kalo kakak enggak sibuk, Zora mau." "Siap nona!" Jalanan kembali sedikit lengang. Berjalan dibawah bayangan pohon yang rindang. Tampak 300 meter dari jejauhan, sebuah gang dengan jalan yang cukup luas dan disambut gapura khas daerah mereka, lampu sein yang menyala di sebelah kirinya, menandakan arah terakhir tujuan mereka.

Dari jarak 500 meter, rumah coklat dengan aksen kuno sudah terlihat. Dengan pintu pagarnya yang terbuka, menampilkan mobil asing yang terparkir dihalaman. Paham akan situasi dihadapannya, Elar lantas mengurungkan niatnya untuk kembali ke rumah. Agar tak membuat sang adik merasa bingung, ia membuat dalih kalau ada sesuatu yang tertinggal di tempat kerjanya. Zora hanya menurut tanpa banyak bertanya. 



Next...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 23, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Malam 6 JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang