- Di Keabadian

76 6 2
                                    

"Belum ya?"

Yang ditanyai tersenyum, kemudian menggeleng. Tangannya amat erat memeluk seorang pemuda yang kini masih terlelap, sebelah tangan lainnya ia gunakan untuk mengusapi lembut sang putra di pelukannya.

"Nyenyak banget, bangun dong," bisik sang ayah di sisi lain.

"Ssshhh biarin aja ih, kasian," tegur bunda.

Tetapi pemuda di pelukannya sudah terganggu dengan bisikan sang ayah. Ia melenguh pelan sebelum akhirnya membuka kedua kelopak matanya.

Ia mengernyit, belum sadar sepenuhnya seraya menatap bingung pada perempuan rupawan yang kini memeluknya.

"Bunda?" tanyanya.

"Iya, ini bunda sayang. Bunda di sini," jawabnya. "Bunda sama Angkasa."

Sang pemuda bernama Angkasa itu tersenyum. Kini memeluk erat bunda yang juga kembali memeluknya.

Tetapi sebuah tepukan di bahu, membuat Angkasa melonggarkan pelukannya. Ia menoleh ke arah belakang, lalu senyumannya semakin melebar. "Ayah!" serunya, kini berbalik memeluk sang ayah.

"Jagoan ayah!" balas sang ayah. "Gimana di sini?"

"Angkasa seneng, bisa ketemu ayah sama bunda!" ucapnya sumringah amat bahagia, tetapi tak lama ia mengernyit. "Tapi emang ini di mana?"

"Di mana coba tebak!" ucap bunda, membuat Angkasa berbalik kembali ke pelukan bunda.

"Rumah?" tebak Angkasa ragu.

Bunda terkekeh pelan mendengarnya. "Mau bunda ceritain dongeng nggak?" tanyanya.

"Mau!"

"Pada suatu hari, ada tiga manusia bersahabat. Dua perempuan, satu laki-laki. Lalu, salah satunya jatuh cinta sama yang laki-laki, akhirnya mereka menjadi sepasang yang kekal. Mereka menikah, lalu dikaruniai anugerah paling indah dari Tuhan," cerita bunda seraya menekan pelan dan singkat ujung hidung Angkasa. "Sebuah anugerah yang amat kuat! Sebuah anugerah yang diberikan anugerah lainnya oleh Tuhan. Hingga pada satu waktu, perlahan satu-persatu dari mereka sudah sampai pada batas waktunya. Tersisalah dua anugerah itu."

Bunda menunduk, tersenyum menatap wajah penasaran Angkasa.

"Lalu anugerah yang satu juga sudah sampai pada batas waktunya. Anugerah yang kuat itu akhirnya sampai di sini," lanjut bunda kemudian mengecup pucuk kepala Angkasa. "Dia damai bersama ayah bundanya."

Tetapi Angkasa mengernyit, masih bingung. "Jadi, sekarang Angkasa di mana?" tanyanya.

"Di keabadian!" jawab bunda.


"Sahmura mana? Kok nggak ada?"

Bunda tersenyum menatap pada Angkasa.





"Sahmura masih belum dipanggil."


Halo halo! Tadinya aku mau unpublish book ini tapi nggak jadi karena buat nuangin bayangan aku tentang ceritaku yang lainnya.

What if versi faystark_ ini teh guys

BeuibbieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang