Bab 1 : Sekretaris Pengganti

316 26 14
                                    

Juna

Setelah berdebat mengenai kandidat sekretaris untukku dengan HRD dan Erik Raharja, si tukang ikut campur, akhirnya aku mencoret ketiga nama yang tertulis di memo kecil karena masing-masing divisi menolak salah satu anaknya diambil dan harus mengajari dari awal lagi, walaupun sesungguhnya aku bisa saja bersikeras menuruti keinginanku tetapi bila dampak dari keputusan yang diambil memberi pengaruh buruk bagi percepatan pekerjaan di kantor, tentu saja menjadi pertimbangan juga.

Entah hanya sebuah ide konyol Erik yang menginginkan menambah karyawan baru atau benar-benar aspirasi dari para pegawai, tetapi aku tidak meninjaunya lebih jauh. Aku membuka map yang sudah berada di meja sejak tiba di dalam ruang kerja dan sebuah memo kecil dari Alea, HRD perusahaan, bertuliskan 'Fresh Candidate'. Aku menaruh clutch bag di sebelah map lalu membuka isi map berwarna hitam itu.

Aku membulatkan mata melihat foto yang terpampang dalam curriculum vitae, yang dibuat begitu apik dan berharap seorang gadis yang berada di foto itu hanya mirip. Kemudian, aku beralih membaca data pribadi si calon pelamar, ternyata benar-benar gadis itu. Aku menjauhkan map itu dan bersandar, "Bagaimana dia bisa melamar di sini?" gumamku. Setelah melihat fotonya, suasana hatiku mendadak buruk, padahal sekarang masih pukul sepuluh pagi.

Kutarik gagang telepon dan menekan line 15.

"Pagi, Mas," jawab suara yang terdengar merdu.

"Lea, apa tidak ada kandidat lain?" todongku.

"Sudah disaring dari interview pertama dan gadis itu yang paling meyakinkan, Mas," ujar Alea,

salah satu orang yang dipercaya oleh ayahku karena kami masih ada hubungan persaudaraan.

"Erik juga setuju?" tanyaku.

"Setuju, Mas. Waktu itu Mas Erik ikut mewawancara gadis itu," jawab gadis itu penuh keyakinan.

Aku berdecak kesal. "Setelah lolos tahap satu, dia bertemu dulu denganku, kan?" 

"Tentu saja, Mas. Sedikit saran, dia yang paling cocok karena sudah memiliki pengalaman bekerja di perusahaan, setidaknya akan lebih mudah beradaptasi nantinya," jelas Alea terkekeh. "Aku tahu Mas Juna butuh cepat untuk pengganti sekretaris. Dia orangnya," sambungnya terkekeh lagi.

"Sebenarnya kamu ini HRD perusahaan atau manager gadis ini sih?! Dari tadi promosi terus," gurauku dengan amarah yang menyurut.

Alea tertawa renyah.

Terdengar suara ketukan pintu dan Erik menyembul dari balik pintu. "Oke, Alea, nanti kita bicara lagi." Aku menaruh gagang telepon.

"Bagaimana sudah lihat CV yang diberikan Alea?" Pria dalam balutan kemeja slim fit berwarna cream itu  duduk di sofa tamu.

"Sudah dan baru saja aku menelepon Alea." Aku beranjak dari kursi kerja dan berjalan menghampirinya.

"Cocok, kan?" Intonasi suaranya seakan menekankan jika gadis itu yang paling cocok menjadi sekretarisku.

"Jangan bilang kau naksir padanya?" tebakku.

"Kau terlalu klasik, Jun. Visual juga penting, paling tidak setiap datang ke kantor jadi fresh lihat yang manis, apalagi cantik," ceracau Erik.

"Apa harus dia?" 

"Kau interview dulu saja, nanti, kan, bisa menilai sendiri. Kalau aku dan Alea merasa cocok dengannya." Erik tampak semringah.

Sahabatku yang satu ini memang selalu memaksakan keinginannya tetapi dengan cara halus. Aku juga tak menggubris ranah pribadinya yang selalu dikelilingi gadis-gadis dan selalu menjadi pusat perhatian di mana saja, karena bila perusahaan ada sedikit masalah, ia mampu menyelesaikannya dalam waktu cepat serta rapi. Aku memang mengajaknya bekerja sama di perusahaan yang didirikan oleh ayahku dan para investor, setelah ayah jatuh sakit akibat mengalami stress berat akibat beberapa investor menarik saham di perusahaan, ketika mengetahui dirinya terbaring di rumah sakit.

Pada saat itu, aku baru bekerja sekitar enam bulan di sebuah kantor yang bergerak di bidang hukum lantas banting setir menggantikannya dan perlahan bisa bangkit kembali serta masih berjalan sampai hari ini karena kepercayaan para customer lama pada perusahaan ayah dan para investor yang masih setia padanya.

**

Malam hari di sebuah Lounge

Suara tawa dari Erik dan Alea yang saling bergurau, lewat begitu saja di telingaku. Sejak mengetahui gadis itu adalah kandidat paling dijuarai, benakku disesaki dengan pertanyaan apa yang pertama kali akan kukatakan padanya saat bertemu nanti? Haruskah aku meminta maaf atas kejadian di masa silam? Karena penyebab aku bersikap seperti itu bukan salahnya melainkan agar kami berdua saling membatasi diri. Semua salahku!

Sahabat semasa masih di kampus, Raka, sampai terheran-heran akan sikapku yang bisa dibilang, bukan seperti diriku. Apa sebaiknya aku bicara dengan Raka? Tiba-tiba gawai dalam saku celana bergetar. Kurogoh lantas melihat nama yang muncul di layar gawai 'Raka', aku terkekeh seraya tak percaya, "Baru terpikir, dia sudah menelepon duluan," gumamku.

"Sebentar, aku terima telepon dulu," ujarku pada dua rekan kerja yang masih seru bercerita. "Halo, Bos!" sapaku pada Raka.

"Bos ku, susah sekali diajak bertemu akhir-akhir ini," kicaunya lantang.

Aku tertawa. "Lagi kejar target," timpalku. "Gimana-gimana, Ka?" Aku memilih kursi luar yang kosong.

"Kudengar dari Acin, dia lolos interview dan besok akan ada interview lanjutan, ternyata di perusahaanmu, Jun?" 

Aku teringat kalau pernah bertukar cerita soal perusahaan ayah saat masa kritis padanya. Dia juga membantu mencarikan suntikan dana agar bisa terus memberikan hak pada para pegawai yang sudah lama mengabdi di perusahaan.

"Aku juga baru mengetahuinya tadi siang saat HRD mengirimkan curriculum vitae dia, sepertinya Jakarta semakin sempit saja." 

"Kau tidak akan memperlakukannya seperti dulu, kan? Dia gadis yang baik, Jun." Raka seakan memberiku sebuah ultimatum.

Aku terkekeh. "Tenang saja. Aku takkan bersikap seperti itu lagi dan saat bertemu nanti aku akan minta maaf juga." 

"Pastikan kau melakukannya besok, bos!" gurau Raka.

Aku kembali tertawa. "Kau sedang dimana sekarang?" 

"Sama sepertimu, sedang kejar target mungkin sekitar jam sembilan baru pulang dari kantor," ceritnya.

"Wah! Ngopi-ngopi bisa, lah, kalau begitu," gurauku.

"Nanti kita atur waktunya. Oke, Bos! Omong-omong, aku harus kembali bekerja. Jaga kesehatan dan jangan lupa kejar target nikah!" 

"Kau ini ada-ada saja. Ok, Thanks!" ucapku mengakhiri percakapan.

Kemudian, aku kembali melangkah ke dalam lounge dan tampak tatapan rasa penasaran dari keduanya. Mungkin mereka merasa aneh dengan sikapku yang tidak seperti biasanya, menerima panggilan masuk di hadapan keduanya, tetapi tadi justru memutuskan untuk memisahkan diri.

"Sepertinya dari calon kekasih?" tebak Alea.

Aku hanya geleng-geleng kepala.

"Bukan. Menurutku dari kekasih gelapnya," tebak Erik menyeringai.

"Lho, kan, Juna belum menikah dan belum punya kekasih juga masa punya kekasih gelap?" bantah Alea.

"Juna yang menjadi kekasih gelap dari seorang wanita." Erik tampak sedikit mabuk.

"Wah, benar juga!! Jangan bilang kalau wanita itu adalah nyonya pemilik produk susu?" Alea berderai tawa.

"Mau taruhan kalau sebenarnya wanita itu menaruh hati pada Juna?" tantang Erik menyeringai pada Alea.

"Apa yang akan kamu pertaruhkan?" timpal Alea.

"Hmm... menginap dua malam di mana pun yang kamu inginkan." Erik mengerling pada gadis yang menandaskan sisa minuman dalam gelasnya.

Cerita di balik gurauan mereka berdua tadi, disebabkan oleh seorang wanita berusia paruh baya yang mengajakku untuk makan malam berdua saat penandatanganan pembaharuan kontrak kerja, sebuah hal yang lumrah saja, tetapi justru menjadi bahan olok-olok kedua rekan kerjaku hingga malam ini.

"Kalian berdua sinting!" ucapku geleng-geleng kepala.

***


Terjerat CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang