Tatapannya

0 0 0
                                    

Pagi yang cerah di hari minggu, aku bersama teman-temanku, bercanda ria di atas pondok dekat rumah. Ibu yang sedang mencuci baju di sumur, mengamati kami dengan senyuman manisnya, ah benar-benar membuatku candu.

Bukan aku tak mau membantu, tapi kata ibu aku tak boleh terlalu kelelahan, aku juga tak mengerti, mungkin karena aku sering sesak nafas. Ah, sial padahal aku kasihan pada ibu apalagi aku adalah anak tunggal, pekerjaanku hanya pergi sekolah, mencuci piring, itu saja. Berasa jadi beban keluarga saja aku ini.

Pantas saja kalau tetangga sering mencibirku sebagai anak yang malas, namun dengan begitu sabar ibu selalu membalasnya dengan senyuman.

Anak saudagar kaya yang berasal dari Jepang itu kembali melewati rumahku, entah mengapa ia selalu saja mengamatiku, tatapannya sulit ku pahami. Ku akui dia sangat tampan dengan badan yang gagah bak kesatria, namun sedikitpun rasa cinta itu tak ada di dalam hatiku. Temanku saja yang sering menuduh aku suka padanya.

"Wah dia liat kamu lagi Kemala," ujar Ayu, heboh.

Aku berdecih, jujur saja aku tak suka jika di dekat-dekat kan dengan orang yang bahkan berbicara saja belum denganku.

"Terserah dia dong, kan matanya dia. Nggak usah dikaitkan dengan saya, Yu."

"Tuan Akito kelihatannya suka kamu, Mala. Dia sering pandang kamu. Ingat waktu kita pulang sekolah di hari pertama ia di sini?"

Aku menggeleng, aku lupa bahkan tidak tau.

"Dia Mandang kamu dari atas sepeda, Mala. Bahkan dia menanyai nama kamu sama Haidar "

Terkejut, benarkah ia menanyai namaku? Dan apa tandanya ini? Jujur aku sedikit ke geeran, hanya saja gengsi menampakkan ekspresi senang di depan kedua temanku ini.

"Kamu beruntung, gadis-gadis di kampung kita katanya suka sama Tuan Akito," ucap Arum.

Aku terdiam, mencerna perkataan mereka berdua.

Ah, tidak mungkin, mana mau dia sama gadis kampung sepertiku, apalagi aku bukan berasal dari keluarga kaya raya sepertinya, aku hanya anak dari seorang petani kopi.

"Ngomong-ngomong dia bakalan lama di Indonesia?" tanyaku, mengalihkan pembicaraan.

"Tidak tau, sepertinya lama. Ayahnya, Tuan Kazuo sedang memperdagangkan kopi ke negaranya, otomatis ia membeli kopi dari para petani di sini, lagi pula kan istrinya tuan Kazuo orang Indonesia juga," jawab Ayu.

Aku mengangguk mengerti. Lagi-lagi aku membayangkan wajahnya yang sangat tampan itu, entah mengapa wajahnya sangat sulit untuk hilang dari mataku.
"Dia juga lagi belajar bahasa Indonesia."

"Ah iya benar yang dibilang Arum. Deketin dia dong, La."

Dahiku mengerut, aneh sekali Ayu ini, mana mungkin aku mau menjadi perempuan semurah itu. Kata Ayah perempuan itu menunggu, laki-laki yang menjemput.

"Ada-ada saja kamu. Belajar yang benar dulu sana, baru cinta-cintaan, masih umur tujuh belas tahun udah gitu-gituan."

"Cinta itu nggak mandang umur, La," cibir Ayu.

"Tapi umur mereka kejauhan, Yu jaraknya. Mala tujuh belas tahun, dan Tuan Akito dua puluh tiga tahun."

Ayu memutar matanya malas sembari mengeluarkan nafas jengah. Entahlah, nampaknya ia begitu mendukung aku dengan Tuan Akito.

"Umur cuma angka, Rum."

"Kok kalian tau banget ya tentang Tuan Akito dan keluarganya?" tanya ku terheran.

"Biasa pacarku Haidar yang memberi tahu. Dia kan kerja di rumahnya Tuan Kazuo," jawab Ayu angkuh.

"Sudah-sudah, jangan cerita itu lagi. Bosan aku," sosor Arum.

"Enaknya main apa ya?" tanya Arum.

"Belajar saja," jawabku spontan.

"Eh, kamu mah selalu belajar. Main dong sesekali."

Aku tercengir. Benarkan, dari pada tidak ada kerjaan lebih baik belajar? Hehe.
***
Sore telah menjelma menjadi malam. Matahari sudah digantikan oleh Bulan yang siap menerangi gelapnya malam. Ku tutup buku-buku yang tadi terbuka, sehabis bergelut mengerjakan soal-soal. Ya, aku sangat suka mengerjakan soal-soal dari buku cetak ataupun buku lainnya, selain hobi juga untuk mengasah otakku.

Tak peduli akan sepasang mata yang sudah mengantuk dan tubuh ini yang menjerit lelah, ingin istirahat.

Segera ku ambil selimut untuk menutupi badan hingga ke dada setelah berbaring di kasur. Juga kupasang alarm pada pukul lima agar tak telat shalat subuh, dan agar terhindar dari kemarahan Ibu.

Baru saja ku tutup mata, sayup-sayup kudengar suara langkah kaki dibalik gemercik air hujan, pasti ibu.

Benar saja, ibu sudah berdiri di pintu kamarku yang lupa ku kunci. Aku langsung bangkit dari baring ku, dan terduduk di kasur.

"Ada apa, Bu?"

"Ada tamu di luar, kamu buatkan kopi ya? Ibu mau menemani ayahmu untuk membujuk mereka membeli kopi kita."

"Emangnya mereka siapa, Bu?" tanyaku penasaran.

"Tuan dari Jepang yang dikatakan oleh Ayu itu."

Tersentak, jantungku berdetak tak karuan, pasti Tuan Kazuo. Ah, apakah anaknya yang tampan itu juga datang ke sini?

"Tuan Kazuo pergi dengan siapa, Bu?"

"Dengan anaknya, tampan banget, La." Ibu menyolek bahuku, seperti menggoda. Ya ampun mengapa seperti ini.

"Aish ibu, ya sudah Mala, buatkan kopinya." Ibu tergelak.

Aku melangkah dengan terpaksa, walaupun takut, tak tega juga rasanya menolak perintah ibu.

Aku melangkah dengan canggung menuju dapur, sedangkan ibu kembali ke ruang tamu menemani Ayah, mungkin untuk membantu ayah agar mereka yakin membeli kopi kami. Bak seorang perempuan yang grogi karena bertemu orang yang ia suka, seperti itulah diriku sekarang.

Seperti yang aku takuti, dia masih saja mengamatiku. Heran juga, apakah aku ini terlalu cantik? Hehe.

Di sini, di dapur yang biasanya aku lalui, panas mulai menyerang tubuhku. Aku bahkan tak fokus lagi membuat kopi, wajahnya terus terngiang di otakku. Sungguh membuat ku tersiksa.

Kopi sudah siap, aromanya menyeruak dalam hidung, nikmat sekali. Pantas saja banyak yang membeli kopi kami, kualitasnya benar-benar tak diragukan lagi.

Kutarik nafas dalam lalu membuangnya. Ku netralkan detak jantungku agar terlihat biasa saja di matanya.

"Nah ini, bubuk dari kopi kami, Tuan."

Di saat ayahnya fokus mendengarkan penjelasan dari ayahku, dia tetap saja, mengamatiku. Tuhan, mengapa ia begitu aneh.

"Bu, Mala ke kamar ya?"

Aku tersenyum kala ibu mengangguki  pertanyaanku. Namun baru saja aku hendak melangkah, suara bariton miliknya terdengar. Detak jantungku kembali memberontak.

"Anak ibu sekolah apa?"

Logatnya sangat lucu, maklumlah ia baru mempelajari bahasa Indonesia. Tapi itu benar-benar membuatku ingin tertawa.

"SMA, Tuan," jawab ibu tersenyum.

"Sudah punya pasangan?"

Ayah dan ibu saling pandang kala ia mengatakan itu, begitupun dengan Tuan Kazuo, sedikit terkejut mendengar perkataan anaknya.

"Belum, Tuan." Ayah bersuara.

Akito mengangguk, sambil tersenyum kepadaku. Oh tuhan, manis sekali, terasa memabukkan bagi aku seorang wanita.

Tergesa-gesa aku melangkah menuju kamar, aku memegang dada, wajahnya yang terlalu tampan, tak bagus untuk kesehatan jantung ku.

Dari dalam kamar aku memperhatikannya, ia terlihat canggung, mungkin karena telah menanyai tentangku tadi. Aku terus saja mengintipnya dan mendengar percakapan mereka.

Ya ampun, kenapa aku terlihat seakan-akan menyukainya? Tuhan, tolong sadarkan aku.



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 07, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kisah SingkatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang