Saat pertama kali aku melihatnya, senyumanku tersungging karena majah imut nan menggemaskan milik anak itu. Pipi chubby dengan mata yang bulat besar membuatnya sangat imut ketika mencium punggung tanganku dengan gemas.
Aku terpikat, dan perlahan timbul rasa iri dan ingin juga memiliki adik seperti itu. Anak perempuan berambut keriting tersebut bernama Amel, nama yang sangat cocok untuk anak imut sepertinya. Amel merupakan adik perempuan dari teman sepermainanku, bernama Fadly. Anak yang pertama kali mengajakku bermain ketika aku dan keluargaku baru saja pindah ke komplek perumahan itu.
Fadly anak yang asik dan tidak sombong, makanya aku suka berteman dengannya. Dia memiliki banyak teman. Namun, dari sekian banyaknya teman, ku rasa hanya aku satu satunya teman yang selalu menempel kemana mana. Tak jarang aku menginap di rumah Fadly karena jarak rumah kami sangat dekat. Keluargaku dan keluarga Fadly pun cukup dekat sehingga mempercayakanku pada orang tua Fadly.
Oh ya. Hampir saja lupa, namaku Geovano. Teman teman biasanya memanggilku Geo. Aku anak tunggal dari seorang tentara yang harus pindah pindah rumah dikarenakan dinas. Jujur saja, sebenarnya aku sedikit kesulitas dalam pembelajaranku jika ayah terus terusan pindah. Mulai dari adaptasi, teman, dan lain lain membuatku tak nyaman. Namun, dari sekian tempat yang pernah aku singgahi, aku paling nyaman berada di komplek gang melati ini.
Selain tetangga yang ramah, anak anak di sini juga tak seperti mereka mereka yang cenderung menjauh saat bertemu anak baru. Kini sudah 2 tahunan aku berada di komplek ini dan aku kini sudah menginjak kelas 5 SD yang sebentar lagi akan melaksanakan UKK. Aku bukan anak yang pintar, bukan pula anak yang bodoh. Aku anak yang biasa biasa saja. Aku dan Fadly sering berkunjung ke perpustakaan kota untuk belajar bersama dan sedikit sedikit menambah wawasan dan isi kepala. Saking seringnya bersama, sampai sampai ada yang mengira kami anak kembar. Ada ada saja.
"Yuk Ge. Berangkat!" Ucapan Fadly membuatku tersadar akan lamunanku. aku mengangguk kemudian kami salim dan berpamitan kepada ibu Fadly dan tak lupa Amel, si kecil yang menggemaskan.
"Kakak jangan malam malam ya pulangnya," ujar lembut sang ibu.
"Iya bu." Sahut Fadly kemudian berjongkok di depan adiknya, "kakak berangkat dulu ya sayang..."
Fadly mencium gemas pipi adiknya sebelum akhirnya meninggalkan pekarangan rumah denganku. Kami menuju ke perpustakaan menggunakan sepeda dan mengayuh beriringan.
"Adek kamu usianya berapa?" Tanyaku pada Fadly.
"Baru 3 tahun Ge. Lagi gemes gemesnya," jawabnya semangat.
"Kalau punya adek tuh gimana sih rasanya?"
"Seru! Rumah ga mungkin sepi soalnya dia doyan banget ngoceh. Ya kaya yang kamu liat kalau ke rumah aku itu. Amel tu super duper bawel,"
Aku mengangguk anggukkan kepalaku. Rasanya ingin sekali memiliki seorang adik yang menggemaskan seperti yang dimiliki Fadly. Mungkin setelah punya adik, aku tak akan merasa kesepian lagi jika mama atau papa pergi bekerja. Atau mungkin malah mama akan berhenti bekerja seperti mamanya Fadly dan fokus mengurus anak.
Belum apa apa saja, aku sudah tersenyum membayangkan betapa senangnya aku jika memiliki seorang adik.
***
Senja menyapa, aku mengayuh sepedaku sendirian setelah melewati depan rumah Fadly, ingin cepat cepat sampai di rumah. Begitu sampai, benar saja dugaanku. Mama belum pulang dan rumah masih kosong. Aku segera membereskan rumah dan mandi setelah itu membuat makan malam ala ala sembari menunggu mama pulang.
Aku membuat shusi roll karena hanya bisa memasak itu. Sembari menunggu mama pulang, aku membuatkan teh Jasmine kesukaan mama lalu menonton televisi. Selang beberapa menit, aku mendengar seseorang menekan password lalu masuk rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri tidur
General FictionSang pujangga yang tak terlupa Menulis syair dengan kata kata Tertawa tanpa kata Dan tertidur dengan cantiknya