Diandra menyapu seluruh pemandangan cafe, sepi. Ia bernapas lega sejenak, lalu mengambil tempat duduk di pojok ruangan tepat disebelah jendela besar yang menampakkan jalanan dan jauh dari pendingin ruangan. Ia bisa menghangatkan tubuhnya ketika hujan turun disini, seperti saat ini yang ia lakukan. Biasanya ketika pesanan favorit nya, segelas teh hangat datang, ia langsung menyesapnya sambil memandang keluar jendela.
Tapi, kali ini tidak. Perempuan itu hanya diam memperhatikan uap yang keatas dari teh hangatnya. Diandra gelisah, ia cemas, ia penasaran. Itu yang biasanya ia lakukan kalau sedang meresakan tiga perasaan itu. Diam. Untuk kesekian kalinya Diandra menghela napas, melirik ponselnya yang sama sekali tidak berdering dari tadi.
Ia memang tampak diam saja di luar. Tetapi, pikirannya kemana-mana, ia penasaran kenapa mantan pacarnya waktu SMA dulu mengajaknya untuk bertemu disini setelah beberapa tahun tidak pernah bertemu. Laki-laki itu Dimas, laki-laki yang sudah mematahkan hati Diandra, laki-laki yang pernah menjadi kakak kelasnya dulu.
Ia bertanya-tanya, apa yang membuat Dimas ingin menemuinya? apa cowok itu merindukannya? atau jangan-jangan cowok itu ingin memintanya kembali lagi kepelukannya? Diandra menggeleng pelan, pikirannya mulai kacau. Hujan kembali deras, membuat Diandra tertarik mengalihkan pandangannya ke arah jendela, memperhatikan air hujan yang turun berhamburan ke tanah. Ia suka memperhatikan hujan, membuatnya lebih tenang. Tanpa ia sadari, perasaan gelisahnya berkurang sedikit.
"Hai," suara seorang laki-laki membuat Diandra mendongak, ia tahu betul siapa pemilik suara itu. Dimas. Dimas berdiri di samping meja, dengan air hujan yang menetes dari rambutnya, kemejanya juga tampak terkena air hujan sedikit. Ia masihlah Dimas yang dulu, selalu lupa membawa payung kemana pun ia pergi.
Diandra hanya mengangguk kecil dan mempersilahkan Dimas duduk di depannya. Dimas mulai membolak-balikkan buku menu "Em, gue minum aja deh"
"Jus alpukat, 'kan? udah gue pesenin tadi." tanya Diandra
"Ya, masih inget aja lo."
Diandra menahan napasnya. Ia masih dan selalu mengingat semua tentang Dimas. Jujur, ia masih belum bisa pindah darinya. Entah apa yang membuat Diandra sulit melupakan Dimas, tapi pada kenyataannya ia sampai sekarang tidak pernah bisa melupakannya.
Pesanan Dimas datang, setelah berterimakasih kepada pelayan, ia menatap lawan bicaranya yang berada tepat didepannya. Gadis yang berbeda satu tahun lebih muda darinya itu menatap balik Dimas, tetapi ia selalu menghindari kontak mata dengannya. Itu yang membuat Dimas bertanya-tanya dalam hatinya.
Ia tampak teringat sesuatu yang dititipkan ibunya "Ini, ada oleh-oleh dari nyokap habis dari Bali. Begitu gue bilang mau ketemu sama lo, dia langsung nyuruh gue bawa pie susu ini. Mungkin dia ingat kalau lo suka pie susu." Dimas terkekeh sendiri mengingat perilaku ibunya.
Diandra menerima kotak itu dengan canggung. "Makasih. Sampaikan salam gue buat Tante Sarah"
Dimas mengangguk kecil "Gimana kabar lo?"
"As you see, I'm good. You?"
"Yah, gak terlalu baik."
Diandra yang mendengar jawaban itu hanya manggut-manggut tanpa mau repot-repot menanyakan kenapa, berbeda dengan dulu. Waktu sudah berjalan jauh membuat perubahan. Diandra menyesap teh hangatnya berharap dengan cara meminum tehnya dapat menyembunyikan kegelisahannya.
"Gimana kuliah?" tanya Dimas lagi
"Baik-baik aja. Tinggal skripsi aja. Lo sendiri?"
"Gue gantiin bokap sementara ini di kantornya selama dia masih di rumah sakit,"
"Oom Rendi kenapa?"
"Kecapekan, ya gitu lah,"
"Maaf ya, gue baru tau. Kapan-kapan gue nengok dia, boleh?"
Dimas mengangguk lalu meminum jus alpukat kesukaannya. Maksud sebenarnya mengajak Diandra disini bukanlah hanya untuk meminum minuman mereka sambil mengobrol kecil tentang masa lalu mereka. Tidak. Ini lebih menyakitkan daripada mengingat masa lalu indah mereka berdua. Dimas melalukan kesalahan yang membuat Diandra meninggalkannya, sampai sekarang ia menyesali atas kebodohannya itu.
Ia masih menyayangi Diandra.
Sampai sekarang.
"Kenapa lo ngajak gue ketemuan disini?" Diandra bersuara.
Dimas menghela napas, ia gugup. Ini akan menyakitkan untuknya. Untuk mereka berdua. Tapi, ini keinginannya. "Gue .. gue mau ngomong sama lo."
Diandra mulai bergerak-gerak tak nyaman. Apakah Dimas akan menembaknya, sekarang? ah, perempuan itu benar-benar belum siap. Ia memberi kode untuk Dimas supaya melanjutkan omongannya.
"Gue mau kasih ini," Dimas menyondorkan sebuah surat dan meletakkannya di meja "Nyokap gue mau kasih ini. Dia mau lo dateng ke acara pernikahan gue."
Dunia seakan hancur berkeping-keping. Ia merasa malu karena berpikir kalau Dimas akan menembaknya. Padahal jelas sekali kalau laki-laki itu sama sekali tidak menyukai Diandra, dia hanya membuat Diandra sebagai bahan taruhan dengan temannya saja. Perempuan itu ingin sekali langsung menangis. Air mata mengumpul di pelupuk ketika melihat surat undangan pernikahan dengan nama Dimas Adrian dan Putri Jasmine tertera disana.
Diandra mengenal Putri Jasmine, ia adalah sahabatnya dulu yang diam-diam menyukai Dimas juga, sahabatnya yang berkhianat. Air mata Diandra pun jatuh, ia langsung menghapusnya. "Ya, gue pasti dateng ke pernikahan lo sama Putri." Dimas menginginkan Diandra untuk menghadiri pernikahannya, oh ralat. Ibunya yang meminta Diandra untuk datang.
Cewek itu tersenyum kecut sambil menyeka air matanya. Dimas tau. Ia tau kalau Diandra menangis dan ia tau alasan dibalik kenapa ia menangis. Ia ingin sekali kembali lagi merengkuh tubuh Diandra dan menghapus air matanya sambil berbicara kata-kata yang bisa menenangkannya. Itu yang selalu ia lakukan dulu. Tapi, ia hanya diam bergeming.
"Itu aja yang mau lo sampaikan?" suara Diandra bergetar. Dimas tau itu. "Kalau udah, gue mau pulang. I have a lot stuff to do." perempuan itu berdiri diikuti Dimas di depannya.
"Ya, gue juga harus balik. Terimakasih atas waktunya, Diandra." Dimas berbalik jalan perlahan meninggalkan Diandra. Sedangkan perempuan itu hanya diam ketika Dimas menyebut namanya. Bahunya mulai bergetar, ia terisak ketika Dimas sudah tidak terlihat lagi.
Perempuan itu kembali duduk dan menangis. Dadanya sangat sesak ketika mendapatkan surat tadi. Ia bodoh. Ia membenci fakta kalau Dimas dulu hanya menjadikannya bahan taruhan. Tapi, ia lebih membenci dirinya sendiri karena terlalu mempercayai Dimas dan terlalu jatuh untuk Dimas. Ia terisak sambil menyembunyikan wajahnya di atas meja. Ia tidak peduli, pengunjung atau staf cafe yang memperhatikannya sedari tadi. Ia hanya ingin menangis saat ini.
Dimas yang sudah berada di dalam mobilnya berhenti tepat tak jauh dari jendela tempat Diandra duduk tadi. Ia memukul keras stir mobilnya dan mengacak rambutnya frustasi. Cairan bening keluar dari matanya. Ia juga merasakan sakit yang sama dengan Diandra.
Ia dijodohkan oleh Putri. Menikah dengan Putri bukanlah suatu kemauan Dimas. Tapi, kemauan orang tua Dimas. Dan sebenarnya Dimas yang menginginkan Diandra untuk datang ke pernikahannya. Bukan ibunya.
Dimas masih mencintai Diandra, begitu pula sebaliknya. Tetapi mereka berdua terlalu bingung untuk menyatakannya, terlalu pengecut untuk bertemu kenyataan, dan terlalu takut untuk menantang takdir.
"I did the searching and remembering, she did the disappearing and the forgetting."
Dan itulah cerita tentang seseorang yang tidak pernah bisa melupakan suatu kenangan bersama seseorang. Tentang seseorang yang masih bingung akan perasaan yang sebenarnya. Tentang dua orang yang sama-sama ragu dan takut untuk menyatakan perasaannya. Tentang dua orang yang sama-sama mencintai tetapi tidak bisa mengakuinya.
"It is important that we forgive ourselves for making mistakes. We need to learn from our errors and move on."― Steve Maraboli, Life, the Truth, and Being Free.
-End.
KAMU SEDANG MEMBACA
Move On
Short StoryTentang seseorang yang tidak pernah bisa melupakan suatu kenangan bersama seseorang. Tentang seseorang yang masih bingung akan perasaan yang sebenarnya. Tentang dua orang yang sama-sama ragu dan takut untuk menyatakan perasaannya. Tentang dua orang...