Sebuah Status

161 5 3
                                    

'Tiga tahun sudah aku menunggumu. Tiga tahun sudah aku menjaga rasa ini untukmu. Tunggu aku, aku pasti datang.'

Sebuah status dari facebook dengan user name Rendy Irawan kubaca dengan perlahan. Ada perasaan aneh yang berkecamuk dalam hatiku.

Perasaan apa ini? Cemburu kah? Aku tak tahu apa namanya, yang aku tahu hatiku terasa sakit saat membaca deretan kalimat itu.

Mataku terasa panas, tapi tak mungkin aku menangis disini. Sekarang aku sedang berada di lab kejuruan di sekolahku.

Saat ini sedang istirahat, dan seperti biasa jika sudah ada di lab dan sambungan internetnya connect, bisa dipastikan semua komputer sedang menjelajah dunia maya. Seperti yang kulakukan saat ini.

"Hei!" Kurasakan tepukan pelan di pundakku, menyadarkanku untuk kembali ke dunia nyata.

"Cie... Siapa tuh? Serius amat ngeliatinnya?" tanya Kania, sahabatku. Aku langsung memindahkan kursor ke profil facebookku.

"Bukan siapa-siapa kok," elakku.

Kania menaikan alisnya sebelah, tapi tak bertanya lebih lanjut seolah mengerti aku enggan membahasnya.

"Tugas dari Bu Pratiwi udah selesai belum?" Kania mengganti topik pembicaraan.

"Udah, tuh lagi di print sama Wina."

"Aku sekalian ya, please..." Kania memasang wajah memelasnya.

"Bilang sama Wina gih sana."

"Makasih... Alia emang paling baik deh. Win aku sekalian ya!" teriak Kania lalu langsung menghampiri Wina yang sedang ngeprint di komputer depan, karena disini printernya terbatas.

'Serpihan hatiku terjatuh lagi, berserakkan tak berbentuk, terbawa angin ke langit biru.'

Kutulis sebuah status di dinding facebookku lalu segera sign out.

***

Saat aku sedang rebahan di kasur, sebuah pesan masuk ke ponselku. Dengan malas-malasan aku membuka pesan itu, yang kukira dari operator.

Hatiku berdesir membaca nama pengirim pesan itu. Dari Rendy! Dia mengirimiku 1 tiket kejujuran, entah apa maksudnya.

Kupikirkan beberapa pertanyaan yang selama ini memporak-porandakan hatiku. Kukirimkan pertanyaan yang mewakili isi hatiku dan mungkin tidak terlalu to the point menurutku. Hatiku gelisah menanti balasannya.

"Rahasia terbesarku?
Emm, aku menyukai seseorang," balasnya.

Hatiku mencelos, siapa?

"Siapa? Apa aku mengenalnya?"

"Ya, kamu mengenalnya," jawabnya.

Aku mengenalnya?

"Lalu, apa rahasia terbesarmu?" Dia balik bertanya.

"Aku juga menyukai seseorang," balasku.

"Siapa? Aku?"

Iya kamu! jerit hatiku.

"Bukan," dusta tanganku padanya.

"Benarkah? Berarti informasi yang kuterima salah dong?" katanya.

"Maksudmu?"

"Aku pernah dengar dari seseorang kalau kamu menyukaiku. Apa itu benar?"

Hah? Siapa yang memberitahunya? Sepertinya aku tak pernah memberitahu siapapun tentang hal ini.

"Siapa yang bilang? Dia pasti ngarang."

"Oh begitu, aku kira kamu benar-benar suka padaku."

Jantungku berdegup sangat cepat saat membaca kalimat itu. Tapi kan dia menyukai orang lain, bisik hatiku.

"Kamu jangan ke-pedean dong, aku nggak mungkin suka sama kamu," dustaku lagi.

"Ok, aku ngerti kok."

***

Sejak saat itu dia tak pernah menghubungiku lagi. Berkali-kali aku mengetik pesan untuknya tapi tak pernah berhasil kukirimkan, karena selalu kuurungkan niatku itu pada detik-detik terakhir. Terlalu pengecut? Mungkin.

Hingga sekarang aku hanya bisa mengetahui kabarnya dari akun facebooknya. Dan dari status-statusnya sepertinya dia sedang jatuh cinta.

Ah bodoh sekali aku! kan dia memang sedang jatuh cinta! Sejak awal pun sudah seperti itu!

Tapi meskipun aku sudah tahu kenyataan itu dari beberapa waktu lalu tetap saja aku merasa hatiku luruh setiap membaca status-statusnya itu.

"Lia, ke perpustakaan daerah yuk," ajak Kania. Padahal siang ini matahari seolah ingin membakar hidup-hidup semua yang terkena cahayanya saking panasnya.

"Perpustakaan? Mau ngapain?" tanya Wina yang duduk di kursi belakang kami.

"Ya pinjem buku lah, masa mau sepedaan," jawab Kania agak sebal dengan pertanyaan Wina.

"Sekarang?" tanyaku.

"Nggak, tahun depan!" Kania makin dongkol.

"Ya iyalah sekarang Lia... Kok kamu malah ikut-ikutan si Wina sih?"

Aku tersenyum melihat sahabatku yang satu ini mulai ngambek. "Iya-iya, sorry. Kebetulan aku juga lagi nggak ada bacaan."

"Aku ikut ya," ucap Wina bersemangat.

"Nggak ada yang ngajakin kamu!"

"Ih Kania jahat. Lia boleh ikut kan?" tatapan memelasnya keluar.

Aku mengangguk. "Ih Lia kok gitu sih?!" protes Kania.

"Udah nggak pa-pa, kan biar tambah ramai," kataku mengakhiri perdebatan mereka.

Untungnya aku mempunyai dua sahabatku ini, yang selalu membuat hari-hariku lebih berwana, tak selalu kelabu.

Meskipun mereka lebih sering bertengkar daripada akur, tapi mereka membuatku nyaman. Paling tidak aku bisa melupakan bayangan Rendy walau hanya sesaat.

***

SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang