Sesampainya di perpustakaan daerah kami langsung berpencar.
Aku menuju deretan novel, Kania di bagian resep-resep makanan sementara Wina langsung berlari ke bagian komik-komik kesukaannya di pojok ruangan.
Mataku memindai novel-novel dengan berbagai genre yang tersaji dihadapanku. Tatapanku lalu tertumbuk pada sebuah novel yang ada di deretan paling atas.
Ya, itu novel yang sudah lama aku cari tapi belum berhasil kubaca karena selalu dipinjam orang lain. Mungkin ada orang yang sengaja meletakkannya disana agar orang lain tidak mengambilnya.
Dengan postur tubuhku yang memang tak terlalu tinggi aku sedikit kesusahan menggapainya. Dengan berjinjit kucoba untuk meraihnya.
Saat aku akan berbalik dan memanggil Kania atau Wina yang tubuhnya lebih tinggi dariku, tiba-tiba saja sebuah tangan menarik novel itu dari tempatnya dan memberikannya padaku.
"Makasih ya," ucapku senang pada orang yang kukira Kania atau Wina. Tapi saat aku mendongak menatapnya kurasakan darahku berdesir. Aku mundur selangkah saat menyadari kami sangat dekat saat ini.
"Ren... Rendy?!" Mataku melebar karena terkejut.
"Hai!" Dia menyapaku.
"Ha... Hai," kataku tergagap, belum bisa mengatasi keadaan ini.
"Kamu ngapain disini?" tanyanya.
Aku hanya mengangkat novel yang berada digenggamanku.
"Lia, novelnya sudah ketemu belum?" tanya Kania dengan beberapa buku resep ditangannya.
Matanya tak tertuju padaku, melainkan terus memandangi gambar-gambar masakan lezat yang terpampang di halaman buku yang dipegangnya.
"Lia?" Kania baru mengangkat kepalanya karena aku tak juga menjawab pertanyaannya.
Dia terdiam sesaat, dengan matanya dia seolah bertanya siapa orang yang ada dihadapanku.
Nanti aku ceritain, balasku dengan pandangan mata, yang anehnya Kania seperti mengerti arti tatapanku barusan.
Dia langsung berbalik dan menghampiri Wina, "Win, udah selesai belum?"
"Itu tadi temen kamu?" tanya Rendy memecah keheningan.
Aku mengangguk, lalu kuberanikan diri bertanya. "Kamu kapan datang?"
"Dua hari yang lalu," jawabnya.
Dua hari yang lalu tapi kamu nggak kerumahku atau sekadar mengirim pesan padaku? hatiku bertanya.
Emang kamu siapa sampai dia harus laporan sama kamu? tanya sisi hatiku yang lain.
"Emm sorry, aku belum sempat kerumah kamu. Tante sama Om baik kan?" tanyanya seolah bisa membaca pikiranku.
"Iya nggak pa-pa, kamu pasti kan juga capek dan banyak kerjaan. Ayah sama Bunda baik kok."
Kamu nggak tanya kabarku? batinku bertanya lagi tapi tak sempat terjawab karena Kania dan Wina sudah menghampiriku.
"Lia, kamu masih mau disini atau ikut kita pulang?" tanya Kania.
"Aku ikut kalian, novelnya udah ketemu kok. Ren aku duluan ya," pamitku.
"Aku juga mau pulang, gimana kalau kita bareng? Kan rumah kita dekat," tawarnya.
Aku memberi kode lewat pandangan pada kedua sahabatku, dan untungnya mereka mengerti.
"Lia kita jadi kan bikin tugas kelompok di rumahnya Wina?" pertanyaan Kania menyelamatkanku untuk sesaat menghindari Rendy.
"Iya, Ibuku udah nyiapin cemilan yang enak-enak lho," Wina nenimpali, tumben tuh anak cepet nangkep maksudku.
"Iya, jadi. Ren, sorry ya aku pulang bareng mereka, mau bikin tugas," ujarku berbohong.
"Iya nggak pa-pa." Sorot mata apa itu? kecewa kah? lirih batinku.
***
"Oh jadi dia itu cinta pertama kamu, dan kamu nggak berani bilang kalau kamu sayang sama dia?" Kania menyimpulkan setelah kuceritakan semuanya pada mereka.
Aku hanya mengangguk mengiyakan.
"Pantesan aku kayak pernah lihat dia dimana gitu." ujarnya lagi.
"Memangnya kamu pernah ketemu dimana?" tanyaku penasaran.
"Di lab kejuruan pas kamu buka profilnya."
"Jadi waktu itu kamu lihat?"
"Cuma sekilas sih... he.. he.." Kania malah tertawa melihat wajahku yang memerah.
"Tapi kenapa kamu tadi malah pengen menghindar?" kali ini Wina yang bertanya.
"Dia suka sama orang lain."
"Siapa? Kamu tahu orangnya?"
"Kamu tahu darimana?" tanya Kania dan Wina bersamaan.
Aku menggeleng. "Dia bilang aku kenal tapi aku nggak tahu siapa dia. Dia sendiri yang bilang sama aku," kataku sedih.
"Kalau orang itu kamu gimana?" tanya Kania.
"Nggak mungkin lah," elakku.
"Kenapa nggak? Di dunia ini nggak ada yang nggak mungkin kan?" Wina menambahi.
Aku terdiam cukup lama, merenungi pertanyaan kedua sahabatku. Dalam diam kuputar kembali ingatan-ingatanku tentang gadis yang disukai Rendy.
Apa mungkin orang itu aku? Ah tapi kurasa tidak, memangnya apa yang membuatnya menyukaiku?
"Ya nggak mungkinlah dia suka sama aku, udah jelek, pendek, ceroboh... " kataku meneranggkan kekurangan-kekuranganku.
Kedua sahabatku itu terlihat jengah dengan kata-kataku barusan.
"Mulai lagi deh penyakit lamanya," ujar Kania.
"Iya, merendahkan diri sendiri," Wina menimpali.
Lho memangnya aku salah menilai diriku sendiri?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Salah
Teen Fiction(Repost Ternyata Aku Salah) Sebuah penantian tak akan pernah sia-sia.