1

1K 23 6
                                    

Cerita ini mengandung unsur gay, homo, yaoi dan shounen ai. Saya harap yang homophobic bisa langsung tutub tab. Makasih.
*
*

Pekerjaan di siang hari begitu membuatku muak, tapi bekerja di malam hari lebih menjijikkan. Aku bekerja mulai pukul 10 malam hingga jam 2 pagi. Pekerjaan yang selalu dianggap keren oleh kaum hawa diluar sana. Aku adalah seorang DJ di salah satu klub yang berada di pinggir pantai. Diantara seluruh teman satu profesiku, bisa dibilang akulah yang menjadi primadonanya. Banyak yang bilang bahwa aku tampan, kharismatik, dan misterius. Padahal aku hanya malas bicara dan mengeluarkan ekspresi menjijikkan seperti tersenyum dan tertawa. Orang jaman sekarang memang suka melebih lebihkan.

Malam ini adalah jadwalku manggung. Dalam seminggu, aku hanya dijadwalkan setiap malam jum'at dan malam minggu. Tepat dimana klub sedang dalam masa ramai-ramainya. Aku menaiki panggung tempat dimana alat-alatku ditempatkan. Dua buah ipad sudah terhubung sempurna dan musik siap dimainkan.

Aku sesekali menari dan berteriak sambil memainkan musikku. Sesekali juga aku mengubah ritme dan irama musikku membuat para pelanggan berteriak dan menari dengan brutal di bawah sana. Sesekali mereka terlibat perkelahian dan aku hanya tertawa. Musikku saja bisa membuat kalian gila, bagaimana jika prinsipkku yang 'tidak pernah tidur dengan pelanggan' sudah aku hilangkan?

Setelah selesai dengan showku, aku turun dari panggung dan langsung berusaha keluar lewat pintu belakang. Musikku tetap diputar, hanya saja aku sudah tidak memainkannya secara langsung. Mengeluarkan bungkus rokok dari saku celanaku dan membukanya.

"Mau ke pantai lagi, Ri?" Tanya suara wanita itu. Suara yang sangat aku kenali. Sahabatku, Selma.

"Ya. Gue suka pantai malam-malam. Kenapa lo bisa disini?" Tanyaku sambil menyalakan rokokku yang kuapit di dua belah bibirku.

"Oh itu, diajak sama Rendy. Cowoknya disini kerja jadi bartender." Jawab Selma sekenanya.

"Oh, si Tio ya?" Tanyaku yang dijawab dengan anggukan oleh Selma. Aku tentu tau soal pasangan gay terharmonis se klub itu, siapa juga yang tidak tau?

Aku melanjutkan jalanku di jalan setapak menuju pantai. "Jangan ikutin gue." Ingatku pada selma yang dibalas dengan tawa, "gue tau lo nggak mau diganggu kalo udah pacaran sama laut."

Selma sangat tau jika aku menyukai laut. Suasana laut saat malam adalah yang terbaik. Jadi aku seringkali tidur danmenginap di pantai hanya untuk tidur di atas pasir pasirnya yang indah.

Sesampainya di bibir pantai, aku segera mematikan rokokku dengan menginjaknya. Menengokkan kepala ke arah langit yang sedang cerah dan penuh bintang.

Indah.

Sangat indah sehingga tanpa sadar aku sudah menyunggingkan sebuah senyum yang sangat jarang sekali aku keluarkan. Kupindahkan arah pandangku ke laut luas, bintang membuat air laut berpendar pendar memantulkan cahayanya.

Tiba-tiba kudengar langkah kaki di pasir belakangku. Aku menoleh dan mendapati seseorang laki-laki berjalan mendekat ke arahku. Dia memakai celana boxer dan sweater biru muda yang manis. Bagian depan rambutnya dikat di depan membuatnya seperti air mancur. Wajahnya seperti perempuan saking manisnya, membuatku melupakan segalanya dan berpusat pada wajah cantiknya.

"Excuse me, sir." Ucapnya mengagetkanku, "what are you doing here?" Tanyanya kemudian.

Aku hanya diam dan kembali menatap laut. "Your hair, em... Where are you from?"

Aku meraba rambutku yang bewarna perak. Oh, dia menyangkaku turis asing.

"Im indonesian. Ngapain lo kesini? Ini udah malem." Tanyaku menoleh ke arahnya.

"Oh sorry." Dia nyengir lebar ke arahku, "Saya suka laut. Tapi saya juga suka bintang." Ucapnya sambil memposisikan dirinya disampingku.

Alasannya sama denganku.

Aku menoleh ke arahnya dan langsung disuguhi wajahnya yang disinari bintang-bintang. Manis sekali.

Aku menggeleng pelan. Dia ini laki-laki. bisa bisanya aku berfikir bahwa dia manis. Aku duduk pasir dan dia masih berdiri.

"Kadang saya ingin jadi pasir saja. Butir butir kecil halus itu membuat pantai jadi lebih indah. Apalagi saat malam, dia memantulkan sinar dan membuat semuanya terlihat sempurna." Katanya dan menoleh ke arahku dengan senyum.

Aku melongo, aku seperti dejavu. Aku sampai lupa bernafas saat dia selesai mengucapkan kalimat itu. Aku... Aku pernah mengatakan hal yang sama pada Selma sekitar 4 tahun lalu saat pertama kalinya kami liburan bersama di pantai kuta.

Ditengah keterkejutanku, aku disadarkan dengan sebuah tangan yang mampir di depan wajahku.

"Namaku Hanafi, namamu?"

Aku tidak membalas uluran tangannya dan malah merebahkan badanku di pasir. Tapi tidak melepaskan pandanganku dari bayangan laki-laki di depanku.

"Gue Hari." Jawabku sambil memandang langit.

Tangannya ditarik dan dia menaruh bokongnya di sampingku. Dia duduk disana, disampingku. Sambil memeluk lututnya yang tidak terbungkus. Pasti dingin sekali. Rasa-rasanya aku ingin merengkuhnya dan menghangatkan tubuhnya. Aku menggelengkan kepala lagi ketika pikiran konyol itu mampir di otakku.

Sudah hampir setengah jam dia tidak bicara dan akupun begitu.

"Kenapa lo nggak pergi?" Tanyaku padanya yang sedang menuliskan sesuatu di pasir.

"Kamu juga kenapa nggak pergi?" Tanyanya balik tanpa menoleh ke arahku.

Aku bangun dari tidurku dan duduk di sebelahnya. Memperhatikan wajah seriusnya yang sedang membuat tulisan di pasir. Wajahnya benar-benar manis. Membuatku lupa jika dia adalah manusia dengan jenis kelamin sama sepertiku.

Aku terlalu fokus pada fikiranku sehingga tidak menyadari jika hanafi memandangiku balik. Dia tersenyum, ya tuhan!

"Aku harus kembali." Ucapnya lalu bangkit berdiri dan berjalan meninggalkanku yang masih duduk di atas pasir.

Pasir? Kulihat tempatnya menulis sesuatu tadi.

0822...... Dia menulis nomornya disana?! Yatuhan!

Butir pasirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang