Jika kalian bertanya, apakah aku menyimpan nomor Hanafi? jawabannya adalah iya. Jika kalian bertanya lagi, apakah aku memikirkannya dalam dua minggu terakhir? apakah aku ingin tahu rumahnya? apakah aku ingin bertemu dengannya? apakah aku bertanya-tanya kenapa dia tidak pernah datang sejak saat itu? jawabannya iya. tapi, jika kalian bertanya, ada apa denganku? Aku sendiri tidak tahu. aku merasa seperti, ini bukan diriku. ini bukan aku. aku merasa aneh dengan diriku sendiri, hanya karena Hanafi.
Sudah dua minggu terakhir, aku selalu ke pantai saat malam hari. Walau bukan waktu jobku, aku tetap datang. Aku hanya berharap untuk bertemunya sekali lagi. Aku merasakan seperti merindukannya, tapi aku tidak mungkin begitu kan? Secara teknis aku laki-laki, dia juga. kami tidak saling mengenal. aku bahkan hanya tau nomor teleponnya, namanya, bentuk wajahnya, dan jenis kelaminnya tentu saja. jangan berharap aku meneleponnya. Gengsi selalu tetap ada. bagaimana jika aku dianggap homo? gay? tidak!
tapi benar, aku benar-benar memikirkannya. Aku beberapa kali mencoba menonton blue film straighy milik Jo, dan aku tetap terangsang. aku bukan gay. tapi kenapa ada hanafi di setiap sudut pikiranku?
karena aku khawatir dan bingung berkepanjangan, akhirnya aku menemui Tio. ingat kan? Si Tio adalah pasangan gay terharmonis yang pernah kukenal dan dikenal semua orang. Aku memesan minuman dan meminta waktu Tio untuk selalu berada di depanku atau sekitarnya. agar memudahkan aku bercerita soal masalahku.
"Hahahaahaha..." Tio malah tertawa pelan setelah aku selesai bercerita.
"Kok lo ketawa sih, yo?" tanyaku kesal sendiri.
"aneh aja, Mas. Mas Hari ini terkenal banget pendiem dan misteriusnya. dan tiba-tiba, BOOM! cuma gara-gara cowok manis, kamu cerita panjang lebar ke aku minta saran." kekehnya lagi.
"Aku nggak minta saran, aku cuma minta kamu simpulin, aku gay bukan?" tanyaku.
"Bukan." jawabnya enteng.
"Ha?"
"Bukan. Karena kamu cuma tertarik sama , aduh siapa namanya?"
"Hanafi."
"Nah iya, kamu cuma tertarik sama Hanafi." Jelasnya.
Aku mengernyit dan mendengus lalu meneguk minuman di gelas kecilku, "Tapi Hanafi itu laki-laki, yo."
"Trus masalahnya ada dimana?"
Aku terdiam. Tidak menjawab dan kembali meneguk minumanku sampai habis. Aku bangun dari tempat duduk dan mengeluarkan dompet, "mana billnya, yo?"
"Oh, nggak usah deh Mas. Saya traktir untuk mengobati galaunya Mas Hari." Tio terkikik pelan dan aku hanya mendengus.
"Yaudah, makasih ya." Dibalas dengan anggukan dari Tio.
Aku keluar dari bar dan langsung menaiki motor sportku. Ketika aku memakai helm, aku berjengit kaget karena getaran di kantung celanaku. aku keluarkan ponselku dan terpampang nama serta foto selfie Selma, tertulis 'Selma calling...".
"Halo."
"Halo! Ri, dimana? Nggak ada job, kan?" terdengar suara Selma di seberang, diikuti suara-suara berisik orang terkikik.
"Baru aja keluar dari bar yang di pinggir pantai tempat gue kerja. Nggak ada, kenapa?"
"Bagus! Lo sekarang ke rumah Bara ya? Ada party nih."
"Nggak, ah. Lo aja." jawabku sekenanya.
"Ayo dong! Sekalian nanti gue pulangnya sama lo."
"Jangan bilang kalo lo kesana naik taksi dan nggak tau pulangnya gimana?" tanyaku mulai khawatir.
"Yoi! Abis nyokap bokap berantem lagi. buruan ya Ri! baaaaaaaay!" Kata Selma dari seberang dengan sedikit teriak dan langsung menutup telefonnya.
Aku menatap layar ponsel sekali lagi dan menghela nafas, menghidupkan mesin motor dan langsung melesat pergi meninggalkan lahan parkir bar.
Bara adalah teman baikku dan Selma selama SMA. Anak tunggal dari pemilik Reonorus Corp. Rumahnya sekitar 20 menit dari sini, jadi aku melajukan motorku dengan kecepatan sedang. Jalanan malam tidak terlalu rapat menyebabkan motorku dengan lincah menyalip kendaraan-kendaraan di depan.
Sesampainya di rumah Bara, tanpa ba bi bu aku langsung masuk ke dalam. di rumah sebesar ini, adalah suatu kesalahan tidak punya satpam. apalagi di dalamnya hanya ada Bara dan pembantu saja. Setelah memarkirkan motorku diantara mobil-mobil yang kuyakini adalah mobil teman-teman Bara, aku langsung masuk ke rumah lewat pintu utama. Suara berisik terdengar, tapi bukan dari ruang tamu depan yang cukup luas dan biasa tempat diadakan pesta. aku melangkah menelusuri rumah bara yang kuhapal dengan jelas letaknya dan mengikuti arah suara berisik. Sampai aku ke kolam belakang rumah Bara dan menemukan banyak anak dengan bikini dan pakaian renang. oh, mereka pesta bikini ternyata.
Aku melepas jaketku dan meninggalkan kaos berkerah bewarna merah. Dari jauh aku bisa melihat Selma sedang tertawa sambil minum bersama Bara dan beberapa temannya. Aku berjalan ke arah mereka dan disambut oleh high five dari Bara. Ada Pandu, Romi dan Fatia juga disana.
"Wuidih! DJ kita dateng!" Sambutnya sambil bersuara keras. Masih aja Bara yang norak seperti dulu, "Minum, Bro."
"Ah, Nggak. Tadi gue udah minum." Tolakku halus.
"Gimana kerjaan lo? Asik?" Tanya Bara.
"Yah, lumayan lah." jawabku sekenanya.
Bara mengeluarkan ponselnya yang berdering. Aku melanjutkan mengobrol dengan beberapa temanku tadi.
"Gue tinggal sebentar ya, ada sepupu gue di depan." Pamit Bara yang diangguki semuanya. sekarang tinggal ada aku, Selma, Pandu, Romi dan Fatia.
Selma merapatkan badannya ke arahku dan berbisik, "Gimana? Udah tanya sama Tio?"
Selma memang tau masalahku karena aku menceritakannya seminggu yang lalu. Dan dia pula yang memberikan saran supaya aku bertanya ke Tio yang notabenenya memang homo.
"Katanya, gue nggak gay." jawabku balik berbisik.
"Lho?! Trus apa dong?!"
"Katanya karena gue tetep terangsang kalo nonton bokep straight dan gue mikirin hanafi doang, itu namanya gue gay untuk hanafi doang."
Selma mengerutkan hidungnya dan meneguk minumannya, "Emang ada yang kaya begitu?"
"Ya nggak tau gue. Gue juga makin bingung."
"Lo telfon aja si Hanafi, kan udah dikasih kode tuh suruh telfon." Saran Selma.
"Nggak lah, malu lah gue. gimana kalo ntar gue dianggep gay bene-"
Perdebatan kecilku dengan Selma berhenti tiba-tiba ketika Bara sudah berada diantara kami. Yang membuatku berhenti berbicara bukan karena Bara datang, tapi karena orang yang dibawa Bara ke arah kami. Hanafi. aku melihatnya sekali lagi. Dia yang melihatku langsung membolakan matanya dan menundukkan kepala.
"Ini adik sepupu gue, namanya Hana." Kata bara sambil mengacak-acak rambut Hanafi.
"Namanya imut banget, kaya orangnya." Sambut Pandu, "Gue Pandu."
Hanafi menyambut tangan demi tangan teman-temanku. Aku mengikuti setiap gerakannya, setiap rambubtnya yang bergerak mengikuti angin malam, senyum kecilnya yang diberikan saat berjabat tangan, dan wajah malu-malunya yang selalu dia sembunyikan. Sampai pada saatnya berkenalan denganku, aku langsung tersadar.
"Hari."
"Hana."
Dan kami berjabat tangan. Tangan yang malam itu kusesali tidak kujabat, akhirnya tersentuh juga. kulitnya yang putih, sangat halus. aku bahkan seakan bisa mencium bau tubuhnya dari jarak kami yang hanya setengah meter.
Setelahnya, Bara dan teman-temanku asik mengobrol satu sama lain. Hanafi sesekali terkikik dan tersenyum malu sambil menundukkan kepalanya. Sesekali juga aku memergokinya melirik ke arahku. Karena apa? Karena aku tidak pernah bisa lepas memandanginya. Aku terus memperhatikannya sampai akhirnya aku melihat Hanafi membisikkan sesuatu ke telinga Bara dan diangguki oleh Bara. Kulihat, Hanafi berjalan ke arahku dan melewatiku sambil berujar pelan.
"Ikut aku."
dan aku seperti robot, langsung berpamitan kepada Bara dan Selma serta yang lainnya untuk pergi ke toilet. sebetulnya, aku hanya ingin mengikuti Hanafi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Butir pasir
Teen FictionTidak menyediakan sinopsis. Baca saja~ Gay story-yaoi-homo-dsb~