"Sha, cowo lo tuh anak fakultas olahraga itu bukan sih?"
"Hm? Bukaan. Cowo gue anak Teknik. Tapi dia emang kadang ikut nongkrong sama anak fakultas olahraga gitu sih. Kenapa?"
"Oalah anak Teknik, ya wajar aja doyan nyebat,"
"Hah?!"
"Iyaa Shaa. Soalnya gue pikir cowo lu atlet gituu, kayak gak mungkin banget kalo ngerokok. Eh sabtu kemaren kok gue liat dia di tongkrongan, nyebat,"
===
Percakapan tersebut terus terputar berulang-ulang di benakku. Berhasil membuat perasaanku memburuk hingga ujung hari.
Sugesti 'Kalino merokok' sejak malam itu, rupanya memang tidak benar-benar dapat menghilang dari pikiranku, kecuali aku langsung tau kebenarannya.
Tapi nyatanya, kini Kalino dihadapanku dengan aroma bubble gum yang kuat menguar dari tubuhnya.
Aneh, karena ini bukan aroma tubuh Kalino biasanya.
Curiga? Jelas.
"Kal kamu gak mau nyeritain sesuatu ke aku gitu?" ucapku tiba-tiba. Berusaha memancing Kalino.
"Nyeritain apaa sayaaang??" jawab Kalino. Nadanya ia buat selembut mungkin, "Kamu mau aku cerita apa?"
"Anything. Aku kangen dengerin kamu cerita, udah lama juga kan?" jawabku mengacu pada realita yang sedang terjadi, "Diluar itu juga, aku ngerasa kayak makin nggak kenal sama kamu. Ada yang harus dibenerin dari kita gak sih?"
"Masa sih?" "I don't think so," ungkap Kalino tak setuju.
"Oh ya?" kalau aku tidak salah ingat, itu tadi adalah pertama kalinya Kalino mengungkapkan pendapatnya yang berlawanan denganku secara gamblang, "Kenapa kamu mikir gitu?"
"Yaaa, simply karena aku ngerasa gak ada yang salah sama kita. Everything running so well dan gak perlu ada yang diapa-apain," katanya.
Aku terdiam setelah mendengar jawaban yang sangat berbanding terbalik dengan pendapatku itu. Entah kenapa, ucapan Kalino makin membuat semuanya jelas, bahwa memang 'ada yang salah dengan kita'.
"Kamu tuh aneh tau gak," tembakku.
"Oh ya? Aneh kenapa?" balasnya. Terdengar sarkas, hingga rasanya dapat mengubah atmosfer di ruangan ini.
"You won't fix us, itu udah aneh banget. Karena ya... kenapa enggak?"
"Apa yang harus dibenerin kalo gak ada yang salah, Shakira?"
"Yaa apa salahnya kalo kita ngebenerin hubungan kita ini? Ada yang salah ataupun enggak toh, juga gak ada salahnya kita heal ourself," kataku, membalik ucapannya.
"Sha, sumpah gue males berantem. Lo bisa stop ngomongin ini gak sih?" Mendengarnya, aku tertegun.
Bertanya-tanya dalam hati, kenapa Kalino menggunakan padanan 'lo-gue' daripada 'aku-kamu' seperti biasanya. Lalu berpikir, apakah aku harus menggunakan padanan kata yang sama atau tidak.
"Hei denger," ucapku, berusaha mendapat atensi Kalino sepenuhnya, "Kamu inget kan, waktu kita make out di apart aku sabtu kemaren?"
"Nggak tau kamu sadar atau atau enggak, aku nemuin puntung rokok di saku belakang jeans kamu. Aku beneran kaget pas itu, tapi sebisa mungkin aku nggak naruh curiga,"
"Terus nggak tau kenapa rasanya kayak kebetulan, hari ini sore tadi, temen sekelasku ada yang bilang, dia ngeliat kamu ngerokok di hari yang sama—sabtu. Dan aku mutusin buat nggak percaya apa yang dia bilang, Kal. Aku mau denger langsung dari kamu," jelasku.
"Gue nggak minta lo buat percaya sama gue. Lo mau curiga sama gue, mau percaya sama apa kata temen lo itu, silakan," demi tuhan, aku benci gaya bicara Kalino yang dingin seperti ini.
"Kenapa?"
"Kalo bener gimana? Lo mau apa?" jawaban Kalino membuatku terhenyak sekali lagi.
Sempat terdiam cukup lama, kemudian aku menjawab, "Kenapa kamu ngelakuin itu?"
"I just want to,"
"You betrayed the pacts. Mana yang katanya mau saling jagain Kesehatan? Mana yang katanya mau matahin stereotype kalo 'pacaran gak selalu bawa pengaruh buruk', mana?" ucapku—sedikit memekik.
"Yaudah lah Sha, nggak usah dicariin kemana. Toh udah ilang," kali ini jawabannya membuatku menangis.
Kalino yang lembut dan penuh afeksi hilang entah kemana. Pria yang sudah seperti menyita duniaku itu raib.
"I love you but this is not you,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Stage of Us - leeknow sakura
Short Storyhow Kalino & Shakira ended in three stages