Di sebuah ruang tamu megah, seorang anak lelaki tengah 'disidang' oleh kedua orang tuanya. Sang ayah berdiri dengan kemarahan yang menggebu-gebu, dan sang ibu sama saja namun dalam posisi duduk di samping anak lelakinya.
"Ini adalah masalah paling parah yang pernah kamu buat!" Sang ayah sebut saja Pak Ridwan itu membuka persidangan to the point.
Sang ibu, Irawati, diam namun memasang wajah kecewa.
Si terdakwa, si anak lelaki, si Arzan Malik Ravindra menampilkan wajah tampan seperti biasanya saja, tak menunjukkan ekspresi menyesal sama sekali, padahal yang dia perbuat baru-baru lebih dari pantas untuk disebut perbuatan kriminal.
"Bisa-bisanya kamu bahkan terlibat dengan bandar narkoba?!" Suara Pak Ridwan meninggi.
"Yang penting nggak make." Jawab Arzan santai.
"Arzan!" Bu Irawati akhirnya mengeluarkan suara pertamanya di 'persidangan' hari itu.
"Ya udah si pindah lagi aja kaya biasanya ah, ribet." Setelah berkata seperti itu, Arzan berlalu begitu saja dari hadapan kedua orang tuanya. Arzan masuk ke kamarnya dengan menutup pintu keras-keras.
Bu Irawati menangis, napas Pak Ridwan tersengal menahan amarahnya. Kaki Pak Ridwan mendadak lemas dan ia duduk di samping istrinya.
"Sebenarnya apa yang salah dari didikan kita, Bu?" Celetuk Pak Ridwan setelah berhasil sedikit menenangkan diri.
"Kita sudah gagal menjadi orang tua" Ucap Bu Irawati di tengah isakan tangisnya.
"Pilihan terakhir kita tinggal Neneknya Arzan, Ibuku. Kita pindahkan Arzan di rumah Ibuku sekaligus mendaftarkan dia (lagi) di SMA yang ada di dekat situ. Ini benar-benar pilihan terakhir kita, aku tidak tahu lagi kalau setelah ini dia membuat masalah lagi." Jelas Pak Ridwan.
"Kamu urus saja semuanya, Pa. Aku sudah di ambang keputusasaan." Bu Irawati masih menangis.
"Sabar sedikit lagi ya, Ma. Aku juga akan berusaha bersabar sedikit lagi. Besok aku hubungi Ibuku dan urus berkas-berkas pendaftaran sekolah Arzan." Pak Ridwan menenangkan istrinya.
Hening sejenak.
"Ah aku baru ingat. Mungkin ini bisa menenangkan mu sedikit, tapi tepat di depan rumah ibuku, ada sebuah pondok pesantren. Aku harap ini adalah kabar baik." Tutur Pak Ridwan sambil tersenyum menenangkan.
"Benarkah? Apa kita masukkan Arzan ke pondok itu saja?" Bu Irawati sudah mulai meredakan tangisnya.
"Terakhir yang aku tahu pondok pesantren itu khusus perempuan, tidak tahu jika sekarang sudah berubah." Jelas Pak Ridwan.
Bu Irawati kembali lesu setelah sebelumnya matanya sedikit berbinar.
"Lusa kita akan pindahkan Arzan ke sana, kita bisa sekalian mencari tahu tentang pondok pesantren itu saat di sana." Pak Ridwan menenangkan.
Bu Irawati hanya diam.
***
"Bisa berhenti bentar, nggak?" Celetuk Arzan di dalam mobil yang sedang membawanya menuju rumah neneknya.
"Kenapa, nak?" Tanya Bu Irawati.
"Cepet cepet berhenti!" Desak Arzan sembari menutup mulutnya.
Ternyata Arzan sedang mual.
Pak Ridwan yang sedang menyetir segera menepikan mobilnya. Lalu Arzan buru-buru keluar dari mobil dan memuntahkan semua isi perutnya ke rerumputan di pinggir jalan. Kemudian Bu Irawati dan Pak Ridwan menyusul keberadaan Arzan.
"Shit! Akal-akalan siapa nih bikin jalan belak-belok nggak jelas dari tadi?!" Racau Arzan di tengah kemualannya.
"Arzan mulutnya dijaga!" Tegas Bu Irawati sambil menepuk-nepuk punggung Arzan.
Arzan tak memedulikannya dan melanjutkan aktivitas muntahnya itu.
***
Arzan, Pak Ridwan, dan Bu Irawati akhirnya sampai di sebuah halaman rumah yang terlihat masih sangat kuno, alias rumahnya Nenek Arzan yang bernama Azizah.
Pak Ridwan mulai mengetuk pintu utama rumah itu.
"Assalamualaikum, Bu." Seru Pak Ridwan.
"Udah berapa tahun ya Pa kita nggak ke sini?" Celetuk Bu Irawati di tengah penantian mereka menunggu pintu terbuka.
Arzan mengamati rumah itu dengan seksama, wajahnya menunjukkan ekspresi heran.
"Plakkk!" Itu adalah bunyi tangan kanan Arzan yang barusan memukul lengan kirinya sendiri, lebih tepatnya memukul nyamuk yang hinggap di lengan kirinya. "Sial! Rumah zaman penjajahan apa nih? Udah lah kaya mau roboh, banyak nyamuk lagi!" Ucap Arzan setelahnya.
Tepat setelah ujaran Arzan itu, pintu rumah tiba-tiba terbuka, menunjukkan wajah Nenek Azizah yang datar nyaris seperti orang jengkel.
Keadaan hening sejenak.
"Wa'alaikumussalam," Nenek Azizah akhirnya membuka suara, lanjut membuka pintu lebih lebar tanda mempersilahkan rombongan tamu untuk masuk ke rumah.
Dengan wajah canggung, 'rombongan tamu' itu pun masuk.
"Duduk," ucap Nenek Azizah setelah mereka semua sampai di ruang tamu yang diisi dengan kursi dan meja kayu itu.
Nenek Azizah pun hendak pergi ke dapur untuk menyiapkan suguhan, namun dicegah oleh sebuah suara.
"Eh, Bu, mau bikin minum? Biar saya saja, hehe," itu adalah suara Bu Irawati.
"Yakin? Tahu letak barang-barangnya? Atau bahkan dapurnya?" tanya Nenek Azizah dengan nada datar dan agak menyindir, menyindir karena keluarga itu memang hampir tidak pernah berkunjung.
"Eh? Em... nanti saya bisa cari tahu hehe, Ibu duduk saja," jawab Bu Irawati canggung.
Nenek Azizah mempersilahkannya. Lalu Bu Irawati berjalan ke belakang, mencari ruang yang bernama dapur, dilanjutkan dengan Nenek Azizah yang duduk di kursi ruang tamu itu.
"Masih ingat jalan ke sini kamu?" tanya Nenek Azizah dingin kepada Pak Ridwan.
"Bu jangan gitu lah, namanya juga sibuk cari uang, jadi nggak sempat mau berkunjung," jawab Pak Ridwan.
"Nggak masuk akal kalau setahun sekali pun kamu nggak bisa berkunjung, sudah 5 tahun sejak terakhir kamu ke sini. Oh ya mungkin kamu memang nggak pernah dikasih libur sama bos kamu, oh kalau dikasih libur pun ibu nggak sepenting itu sampai kamu harus membuang waktu liburmu buat mengunjungi ibu," itu adalah kalimat terpanjang yang dikeluarkan Nenek Azizah semenjak pertemuan itu.
"Nggak gitu juga Bu, tolong lah, saya datang ke sini bukan untuk berantem sama Ibu," ujar Pak Ridwan.
"Dan kamu ke sini pasti juga bukan karena ingin mengunjungi Ibu," ucap Nenek Azizah sembari memalingkan wajah ke arah jendela yang sedang terbuka, menampakkan pemandangan halaman rumah yang dipenuhi berbagai tanaman bahkan pohon.
Pak Ridwan menghela napas panjang. Tiba-tiba Arzan juga ikut menghela napas. Setelah itu Arzan meninggalkan ruang tamu dan berjalan menuju ke luar rumah seakan memberi isyarat bahwa ia tidak mau mendengar perkelahian ibu dan anak itu. Pak Ridwan dan Nenek Azizah hanya bisa memandangi kepergian Arzan.
Sembari berjalan menuju pintu keluar, Arzan mengeluarkan sebatang rokok dengan koreknya dari kantong celananya. Dinyalakannya rokok itu, lalu dihisapnya, dan tepat saat ia sudah membuka pintu, ia menyemburkan asap rokok dari mulutnya ke sebuah wajah seorang gadis yang tiba-tiba saja sudah ada di balik pintu itu dengan posisi tangan terangkat mengepal seperti hendak mengetuk pintu.
Batuk-batuklah dia.
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Istana di Seberang Rumah
Teen FictionArzan Malik Ravindra, kombinasi dari lelaki berandal, nakal, pembangkang, dan tidak bisa diatur. Lelaki yang biasa dipanggil Arzan itu tahun 2022 ini akan menginjak kelas 2 SMA. Bersamaan dengan itu, orang tua Arzan lagi-lagi akan memindahkannya ke...