SATU

2.2K 170 28
                                    

Hai. Ketemu dengan Sofi Sugito lagi di karya baru ini :)
Saya tuh seneng banget, lho, kalau kalian kasih semangat dengan minimal tekan tombol bintang buat novel ini.
Bikin saya makin semangat nulis sampai tamat tentunya. Hehehe.
So, don't be a silent reader, ya, kakak-kakak baik^^

===

Aku lari tergopoh-gopoh menuju ke arah lift begitu masuk ke dalam gedung kantor pusat PranotoTex, perusahaan besar yang bergerak di bidang tekstil di Solo Baru ini. Berkali-kali kumaki diriku sendiri, karena terlambat bangun pagi akibat semalaman asyik menonton drakor secara maraton.

"Permisi!" Buru-buru kutahan pintu lift yang akan tertutup, sambil bertanya, "Apa saya masih bisa masuk?" Tentunya sambil terengah-engah setelah berlari dari parkiran ke sini.

Orang-orang di dalam mengangguk dan mempersilakanku masuk. Begitu lift tertutup dan bergerak menuju lantai atas, aku meminta tolong lelaki yang berada di dekat pintu untuk menekankan tombol angka 5, tempat di mana aku akan melakukan meeting bersama Tim PR¹ PranotoTex, membahas kerja sama mereka dengan NGO² tempatku bekerja, Kita Sehat.

Sudah hampir enam tahun aku bekerja di NGO yang bergerak di bidang sosial dan kesehatan tersebut. Awalnya selepas kuliah aku sempat bekerja di sebuah bank swasta, tetapi hanya bertahan setahun karena merasa lucu sekaligus tidak nyaman. Lulusan Ilmu Gizi malah bekerja di bank. Menggelikan, bukan?

Kemudian aku sempat menganggur selama tujuh bulan hingga akhirnya diterima sebagai CS³ Kita Sehat cabang Solo. Baru dua tahun lalu aku meninggalkan posisi CS untuk kemudian duduk di posisiku saat ini, yaitu Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan.

Sebagai NGO yang lebih mengutamakan kegiatan amal kepada masyarakat, Kita Sehat memberikan gaji yang bisa dikatakan cukup untuk kami para karyawannya. Bahkan, relawan kami pun juga diberi uang saku selepas membantu acara amal.

Beberapa kali Budhe Aning--ibu angkatku--memintaku resign saja dan melamar di rumah sakit atau lanjut sekolah S-2 agar bisa menjadi dosen. Namun, mau bagaimana lagi, 'kan, kalau aku sudah terlanjur nyaman dan cinta dengan pekerjaanku ini? Lagi pula, suasana kantor dan rekan-rekan kerjaku sangat menyenangkan. Serasa mereka adalah rumah keduaku saat aku membutuhkan bahu untuk bersandar, setelah yang pertama tentunya Budhe Aning, perempuan yang telah mengasuhku sejak aku berusia 18 tahun.

"Lantai lima, Mbak." Suara lelaki yang berada di dekat pintu itu membuatku segera menatapnya dan mengangguk. Begitu pintu terbuka, aku menganggukan kepala dan mengatakan terima kasih kepada orang-orang dalam lift, untuk kemudian segera berjalan menuju ruang rapat.

Sambil terus melangkahkan kaki, aku mengeluarkan ponsel dari saku celana kainku dan membuka lagi pesan dari Mas Egar. Dia adalah lelaki yang dua minggu lalu dikenalkan Budhe Aning padaku, dan ternyata adalah Ketua Tim PR PranotoTex yang akan bertemu denganku dalam meeting kali ini.

[Nia, kamu udah berangkat? Apa mau aku jemput?]

Pesan itu terkirim padaku hampir sejam lalu. Ketika aku hendak membalasnya, tiba-tiba ada telepon masuk dari Pak Mirza, Branch Manager Kita Sehat Surakarta, yang tak lain dan tak bukan adalah atasanku.

"Halo, Pak? Pripun?" sapaku buru-buru.

"Mbak Nia udah otewe ke sini belum? Ini udah ditunggu teman-teman Tim PR."

"Iya, iya, Pak." Aku mempercepat langkah. "Ini sekitar sepuluh langkah dari ruang rapat. Bapak udah di dalam?"

"Sempet-sempetnya dihitung. Hehe .... Iya, Mbak, saya udah di dalam. Segera masuk aja, ya."

Lalu, kami memutuskan sambungan telepon setelah aku mengatakan sudah berada di depan pintu ruang rapat. Kuhela napas dalam-dalam, lalu begitu sudah merasa tenang dan detak jantungku kembali normal setelah berlari tadi, aku segera membuka pintu dan menatap ke dalam ruang rapat yang luas itu dengan sedikit canggung.

Eventually [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang