3

582 71 22
                                        

Kampus.

Reyjin, Sandi, dan Kenzie berkumpul untuk pembagian kelompok karena mereka akan melaksanakan praktek kerja lapangan di rumah sakit yang sudah di tentukan. Pembagian kelompok dipilih secara acak dan kebetulan mereka bertiga satu kelompok bersama enam orang lainnya.
Mereka adalah, Tomi, Juna, Hengky, Jemmy, dan Yogi.

"Ya elah ... kenapa harus satu kelompok sama Reyjin, sih?" keluh Jemmy.

"Lah, emang kenapa kalau sekelompok sama gue? Nggak suka lo? Pulang sana!" tutur Reyjin dengan wajah merengut.

"Bukan gitu, Jin. Masalahnya lo itu anak bau. Kalau jaga bareng lo pasti pasien banyak. Hadeuh ... paling malas kalau dinas malam. Bisa nggak tidur tahu" bukan Jemmy, tapi Yogi yang menjawab.

"Tck, mana gue tahu kalau masalah itu. Pasiennya aja kali yang tahu kalau gue lagi jaga, makanya pada datang," sahut Reyjin sambil cengengesan.

"Ya udah lah, mending kita lihat tempatnya habis pulang kuliah. Gimana?" usul Namu.

"Boleh, tuh," Jawab  Hengky dan disetujui oleh yang lain.

****

Seperti rencana saat di kampus. Mereka langsung datang ke rumah sakit dimana akan melalukan PKL setelah pulang kuliah.

"Waaah besar juga ya rumah sakit-nya," kata Tomi yang disetujui oleh yang lain.

"Tapi agak serem anjir. Mencekam gitu nggak sih?" ujar Hengky.

"Kebanyakan nonton horor sih, lo. Jadi bawaannya mistis mulu," tegurn Juna.

Hengky hanya tertawa saja.

"Eh, kan di rumah sakit banyak yang meninggal tahu. Siapa tau nih tempat emang horor," Kata Reyjin membuat Sandi dan yang lain melihat ke arahnya.

"Kenapa? Emang gue salah ya?" tanyanya sambil melihat temen-temannya.

"Auk ah, Jin. Capek gue sama lo, capek ... banget. Ya Allah, ada orang lemot kayak gitu ya?" sahut Kenzie dan langsung pergi dari sana.

Reyjin mengernyit bingung, kemudian melihat Sandi.

"Emang gue salah ya, San?" tanya Reyjin dengan wajah polos, tapi terlihat sangat menyebalkan.

"Enggak kok, lo mah nggak salah. Rumah sakit-nya yang salah," jawab Sandi dan beranjak pergi.

"Namanya juga rumah sakit, pasti banyak yang meninggal, Reyjin. Hadeuh ... anak siapa sih lo?" lanjut Sandi sambil berjalan.

"Pertanyaan aneh. Udah jelas gue anak bokap sama nyokap gue, lah. Kayak gitu aja ditanya, San," gerutu Reyjin kepada temannya yang sudah pergi.

Juna terkekeh. "Yok pulang. Nggak usah kebanyakan mikir, kasihan otak-nya," ajaknya sambil merangkul bahu Reyjin.

"Lah, emang kenapa? Kok kasihan?" tanya Reyjin dengan serius menatap teman yang tengah merangkulnya.

"Ya ... kan, lo otak-nya sama kayak patrick," jawab Juna dan tertawa setelahnya.

"Anjir, patrick nggak tuh," kekeh Yogi yang juga ikut tertawa, begitupun dengan yang lain yang sudah tertawa. Apa lagi melihat Reyjin yang tampak berpikir.

"Kok bisa kayak patrick? Emang patrick kenapa sih? Bukannya patrick nggak punya otak ya?" tanya Reyjin membuat mereka saling melihat dengan malas.

"Terserah lo lah, Jin. Capek gue," kata Hengky dan mempercepat langkahnya.

Reyjin semakin bingung dengan sikap Hengky, kemudian melihat Yogi dan yang lain.

"A ... lo nggak salah kok, Hengky yang salah," kata Yogi sebelum temannya itu bertanya.

Mahasiswa Perawat Ganteng (Mapeteng)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang