1 year ago . . .
Gadis bermata bulat itu menatap pantulannya di cermin yang tersedia di balik panggung dengan sedikit gemetaran, sebelum jatuh terduduk disana sembari memegangi pipinya yang terasa panas. Ia ingat betul, bagaimana lelaki tinggi yang ia sukai beberapa menit lalu menepuk-nepuk bahunya memberi semangat, tepat sebelum penampilannya.
Ia memeluk dirinya sendiri, mengabaikan tatapan meremehkan dari beberapa pasang mata disana. Satu rangkulan yang lebih mirip dengan cekikan ia terima di leher jenjangnya, berikut bisikan kata-kata yang seketika mematikan harapan kecilnya.
“Kenapa muka lo kayak gitu? Jangan banyak mimpi. Sekalipun dia sakit, dia nggak akan ngelirik lo. Mana ada laki-laki yang doyan cewe miskin kaya lo. Get back to your senses, bitch. ”
Gadis dengan kaki jenjang dan senyum memuakkan yang bisa terlihat dengan jelas dari cermin setinggi 3 meter itu perlahan melepaskan rangkulannya. Meninggalkan si cantik dengan iris berwarna coklat gelap itu merenung.
Dering di ponselnya seketika mengagetkannya, menandakan adanya panggilan masuk dari sang ayah.
“Iya, pa?”“Gimana audisimu tadi, Via?”
Sudut bibir tipis gadis itu tertarik ke atas. Setidaknya, di dunia ini masih ada seseorang yang begitu menyayanginya.
“Lancar, pa. Aku diterima. Sekarang aku udah jadi anggota cheerleader, sama kayak mama dulu!”“Syukurlah! Ayo kita rayain, makan malem sama calon mama barumu. Dia nanti bawa anaknya juga. Kamu harus kenalan, apalagi kalian satu sekolah.”
“Papa lupa ya aku bahkan nggak punya temen disini?” sebuah kekehan yang terdengar miris lolos dari bibir Via, gadis mungil dengan pakaian khas cheerleader itu.
Ya, Trivia Radeva nama lengkap gadis itu, ia mengenakan rok pendek yang memamerkan kaki jenjangnya untuk audisinya tadi. Dengan kemampuan akrobat yang ia miliki, ia baru saja lulus audisi untuk menjadi anggota cheerleader resmi.
“Well . . . kamu bisa mulai berteman sama calon saudari tirimu kalo gitu.”
“Siapa namanya?”
“Ganatha Andaresta.”
‘Tut’
Panggilan diputus sepihak oleh Via yang kini bangkit berdiri dan melangkah pergi meninggalkan auditorium dengan gontai. Dunia pasti sedang bercanda dengannya . . .~••~
“Iya, ma. Aku pasti dateng, tenang aja,” Gana terlihat tersenyum sumringah sembari berbicara pada ponselnya. Elang yang duduk di sampingnya sembari mengulum es krim di dalam mulutnya hanya melirik sesekali dengan tak acuh.
“Yang bener! Mama bakal malu kalo kamu tiba-tiba nggak dateng. Kamu tuh selalu aja susah mentingin acara keluarga.”
“Astaga, aku serius ma. Aku bener-bener udah kosongin jadwalku.”
“Kalo kamu takut bosen, kamu boleh bawa pacarmu juga. Sekalian kenalin sini sama mama.”
“Aku nggak punya pacar ma, jangan ngeledek gitu,” Gana terkekeh. Elang seketika menoleh dan mencubit lengan halus itu sedikit keras. Sorot kecewa terlihat di netra coklatnya.___________________
Back to the present . . .
Satu tahun telah berlalu semenjak saat itu. Kini, Via bukan lagi bocah pemalu yang akan menciut setiap kali ia dihina dan dicibir karena hanya seorang gadis miskin yang diterima disekolah itu saja sudah terbilang beruntung karena mengandalkan beasiswa. Kenapa? Tentu saja karena . . .
“Sayang . . . ” seorang pemuda dengan tinggi di atas rata-rata dan surai kelam yang cukup panjang merangkulnya dan membawanya pergi begitu ia keluar dari kelas. Mereka berciuman mesra dengan punggung Via yang bersandar pada loker.
“Shush it, you’re ruining my lipgloss,” kekeh Via seraya mendorong dada pemuda itu menjauh darinya. Ia tersenyum dengan sangat manis saat kekasihnya itu lantas menghujani dahi dan pipinya dengan kecupan kecil.
“Kamu kemana nanti pulang sekolah?” tanya sang kekasih setelah ia puas memakan wajah mungil Via.
“Latihan. It’s Friday, remember?” Via mengancingkan kemeja kekasihnya yang dibuka hingga sebatas dada. “Be good, this view is only mine to see,” dan ia mengedipkan sebelah matanya. “Anyway you can have me later, kalo emang mau nungguin latihan.”
“Nggak deh, lama. Males juga banyak cewek-cewek lain, nanti mereka pada tebar pesona ke aku. Nggak inget terakhir kali aku nemenin kamu, kamunya pulang-pulang berantem sama mereka?”
Via pun meringis. Pemuda jangkung yang telah resmi menjadi kekasihnya 6 bulan lalu itu memang salah satu yang paling diminati di sekolahnya. Ia memiliki banyak penggemar karena parasnya yang tanpa cacat dan posturnya yang bak model runway. Jangan lupakan, freckles kecoklatan di wajahnya yang menambah karisma.
“Kamu mau ke rumah nggak nanti? Nginep aja, toh besok Sabtu,” tawar Via, tidak kehabisan akal. Bukan apa-apa, ia sadar kekasihnya itu sudah dalam mood yang buruk karena latihannya nanti, dan ia juga tidak mungkin membolos.
“Ada Gana. Aku masih nggak enak ketemu dia.”
“Right.. I forgot that she’s my sister sometimes. she’s a perfect student with a model-like figure, meanwhile I’m just the ugly duckling..” Via mencebikkan bibir bawahnya.
“Kata siapa kamu jelek? Buktinya aku lebih milih kamu ‘kan daripada dia? Dia tuh cupu, nggak bisa bikin aku enak,” Elang, sang kekasih meletakkan jarinya di depan bibir Via. “Besides.. I like the smaller ones, so I can carry you around like a baby koala”
“I get it, Big Boy, you want some. Oke, kita ke motel aja nanti malem, how does that sound?”
“Perfect, just like you,” Elang mengusak rambut Via, membuat si empunya tersenyum lebar. Via pun menautkan jemari mungilnya dengan Elang, menggandeng tangan kekasihnya itu sembari berjalan ke kantin untuk makan siang.
To be continue . . .
KAMU SEDANG MEMBACA
RELATIONSHIT
Teen Fiction"Jangan akting dibalik penampilan cupu lo, gue tau lo sama binatang nya kaya gue!"