Pavement Coffeehouse, Boston – 16 April 2017, 11:15 pm
Tetesan air langit jatuh ke permukaan kota Boston di tengah malam. Ini kali ketiga Boston diguyur hujan minggu pertama di bulan April ini. Sepasang tangan ramping menyatu di atas kepala berusaha menghalangi hujaman air langit yang turun tanpa jeda. Kakinya mengambil langkah gontai menyusuri trotoar yang lengang berharap menemukan satu tempat saja untukya berteduh. Dari kejauhan dia melihat cahaya masih berpendar selain dari lampu jalan. Segaris senyuman terukir di bibir mungilnya.
Dengan blouse dan sepatu basahnya dia masuk ke dalam sebuah coffee house yang untungnya masih buka. Tidak sempat mengamati interiornya, dia hanya sibuk mengusap wajahnya dan mengusak rambutnya, berharap bisa menyingkirkan air yang masih bertengger di tubuhnya.
Ikat rambut itu dia lepaskan membiarkan surai sebahunya tergerai. Mata bulatnya kemudian melihat ke segala penjuru, berharap menemukan orang yang mungkin bisa membantunya.
Netranya tidak menemukan seorangpun selain lelaki berwajah asia dengan topi putih dan headset yang menyumpal kedua telinga. Namun dia tidak mengidahkan lelaki tersebut dan berdiri di depan konter. Beberapa kali dia menekan bel, namun tidak ada satu pegawaipun yang menghampirinya, hanya ada suara baritone yang menjawabya “Kami sudah tutup.”
“Permisi, tapi apa aku bisa meminjam teleponmu?” berusaha melongok ke pintu di balik konter tempat suara itu berasal.
“Maaf, telepon kami rusak.” Muncullah seorang lelaki dewasa berambut ikal oranye dengan name tag dan jangan lupakan kain pel di tangannya. “Aku bahkan tidak melayani layanan antar hari ini, kau tahu betapa tidak menguntungkannya itu…”
Dia menyela, “Kalau begitu, bisa aku pinjam ponselmu, sir?”
Tidak menjawab, lelaki itu hanya menunjuk satu-satunya pelanggan yang tersisa disana, lelaki bertopi putih. “Sir, kami sudah tutup, silahkan meninggalkan tempat ini.” Lalu pegawai itu kembali masuk ke ruangan dibalik konter.
“Sir, tolong bantu aku…” ucapnya lirih berharap lelaki tadi menolongnya.
Selang beberapa menit pegawai tadi keluar dengan pakaian kasual dan sudah menanggalkan name tagnya. Dia mengikat rambut ikal oranye nya ke belakang dan menatap datar. “Jam kerjaku sudah habis. Bisakah kalian meninggalkan tempat ini sekarang?”
Dengan terpaksa matanya tertuju pada lelaki lain di dalam café ini. Kakinya yang sudah keriput dibalik sepatu kets basahnya melangkah menghampiri lelaki bertopi putih dan membungkuk mensejajarkan wajah mereka. “Maaf, sir, boleh aku meminjam ponselmu?” dengan ragu dia bertanya.
Tidak menjawab, lelaki bertopi putih itu mendongak dan menatapnya.
“Aku tidak membawa uang dan ponsel, temanku pergi membawanya, kami terpisah karena hujan.” Dengan wajah polosnya dia menatap lelaki itu dalam. “Kumohon…”
Lelaki itu diam. Bukan karena apa, hanya saja sangat tidak mungkin untuknya meminjamkan ponsel pada sembarang orang. Mata bulan sabitnya menelisik, menyusuri sosok perempuan di depannya. Ini Boston, tapi sangat jelas wajah itu adalah wajah perempuan asia. Kulit kuning langsat dan lipatan mata, lesung pipi yang menonjol dan tinggi badan yang tidak terlalu tinggi. Jelas dia orang asia, namun dia yakin mereka bukan dari negara yang sama.
Suara deheman membuyarkan lamunannya. Terlihat mata pegawai lelaki itu menatap tak suka dan tangannya membuat gesture dengan menunjuk jam di pergelangan tangannya.
“Boleh aku pinjam ponsel?” tanyanya sekali lagi.
Kembali fokus, lelaki bertopi putih itu menatap perempuan di depannya dan melirik ke sembarang arah beberapa kali. “Aku tidak bisa…” tuturnya dalam bahasa inggris yang kaku.
“Tolong…” kembali memelas.
Lelaki itu tiba-tiba tersenyum dan merogoh saku jeansnya dan mengeluarkan beberapa keping koin. “Maaf, aku hanya punya ini.” Tuturnya dalam bahasa Korea.
Menatap bingung.
Lelaki ini meraih tangan basah perempuan di depannya dan menaruh koin-koin itu ke genggaman perempuan yang masih menatapnya bingung. “Begitu kau keluar, berjalanlah ke kanan, aku melihat ada telepon umum disana.” Bahasa korea itu kembali terdengar dan lelaki itu menunjuk pada pitu keluar.
Senyuman terukir di bibirnya. Tubuhnya membungkuk membuat sebuah gesture kesopanan. “Terimakasih.” Ucapnya dalam bahasa Korea. “Aku pasti akan mengembalikannya padamu.”
Lelaki bertopi putih hanya menunjukkan seulas senyum. Masih yakin mereka bukan dari negara yang sama, tapi penuturan koreanya terbilang bagus.
Setelah mendapatkan beberapa koin, dengan tubuh basahnya dia kembali ke tengah hujan mengikuti arahan. Dia berlari ke arah kanan setelah keluar dari pintu café dan benar, sebuah kotak telepon umum ada disana.
Dan detik itu juga pintu café berdenting dan terlihat sosok lelaki asia lainnya dengan payung berukuran besar di tangannya. “Oh Sehun, ayo pulang.”
“Ah, hyung…” Lelaki bertopi putih itu mengangguk dan meninggalkan beberapa keping koin yang masih tersisa di atas meja lalu menatap pegawai lelaki yang setia menyilangkan tangan di depan dada. “Jemputanku sudah datang, terimakasih sudah menunggu.”