15 :: Life is Manipulation

576 138 1
                                    

Kamar itu, yang semula tertata rapi dengan berbagai pernak-pernik di dalamnya kini hancur lebur bak kapal pecah.

Cermin indah itu, sudah menjadi kepingan kecil dengan bercak darah yang berserakan. Bau amis tercium di ruangan itu, saking banyaknya darah yang berceceran.

Raungan dan tangis bercampur jadi satu, nampaknya salah satu makhluk bumi kini tengah melampiaskan rasa sakitnya.

"PERGI SEMUA PERGI!"

Sekuat tenaga Luna memeluk Vicky yang berusaha melepaskan tangan gadis yang melingkar erat itu.

Eugene disamping kanan gadis itu melakukan hal yang sama, dengan tangis yang tak dapat lagi dibendung.

"LEPAS!"

Vicky terisak lemah, "Aku capek, mending aku mati aja,"

Setelah pulang dari rumah sakit, Vicky terus melamun sampai akhirnya banyak berita muncul tentang rumor dating dirinya dengan Steve. Tentu itu membuat Vicky menjadi bahan untuk ujaran kebencian fans gila itu.

Rebecca menampar pipi Vicky dengan keras, berharap gadis itu sadar akan apa yang dia lakukan dan dia ucapkan.

Tangan itu kian bergetar setelah melayangkan tamparan, "Aku tanya Vicky, apa yang kamu dapat saat kamu berhasil mati nanti?! JAWAB AKU!"teriak Rebecca.

Vicky menggeleng lemah, "Aku gak mau kayak gini, aku capek, aku pengen berhenti,"isaknya terdengar menyayat hati.

Keempat gadis itu sama-sama menangis, sama-sama depresi. Namun apa lagi yang dapat mereka lakukan selain menguatkan satu sama lain? Bunuh diri hanya akan memperburuk suasana.

Livy masih ditahan di luar oleh Gracy, Gracy tidak tega jika adik kecilnya harus melihat bagaimana keadaan kakak-kakak mereka.

"Stop okay? Ayo pergi ke rumah sakit,"ajak Eugene berusaha menahan tangisnya.

"Kak! Kakak ngerti gak sih?!"

Bentakan Vicky mampu membuat tangis Eugene pecah lagi, Luna mati-matian menahan rasa sesak yang menyeruak di dada.

Rebecca memalingkan wajah, enggan menatap Vicky dengan mata sembab nya.

"Aku tau semua ini berat bagi kamu Vicky, but death is a coward's choice, and you are strong girl," lirih Luna.

"Semua orang benci aku, Luna. Buat apa aku terus disini? Menyiksa diri sendiri? Kalau aku mati mereka bakal berhenti kan?

Tamparan kedua mengenai pipi Vicky, bukan Rebecca. Itu Eugene, gadis sabar yang tak pernah sekalipun marah pada Vicky.

"That's enough! You think it's all over if you die? Ok, let's die together,"

"KAK! STOP!"teriak Luna.

Vicky meraung keras, memberontak melepaskan pelukan Luna sampai gadis itu tersungkur ke lantai.

Muak, Eugene sangat muak pada dirinya sendiri. Dia merasa tidak berguna sebagai pemimpin, bahkan disaat anggota nya putus asa dia tak bisa menenangkan suasana.

Sekuat tenaga Rebecca menyeret Vicky ke dalam kamar mandi dan mengguyur tubuh gadis itu dengan air dingin.

Bukan kejam, tapi Rebecca hanya ingin Vicky kembali kepada kesadarannya.

Gadis itu berjongkok menarik telapak tangan Vicky dan menempelkannya pada pipi merah gadis itu.

Darah kental mengotori wajah Vicky yang terlihat kacau, bibir gadis itu bergetar. Isakan masih belum berhenti sejak tadi.

"Lo capek Vick?"tanya Rebecca sembari meremas kedua pundak gadis dihadapannya.

Punggung yang selalu tegak itu kini bersandar lemas pada dinding kamar mandi, kepalanya mengangguk kecil.

Rebecca mengusap air matanya dan kembali menangkup pipi sang sahabat.

"Vicky, mengakhiri hidup bukan solusi dari sebuah masalah. Seberat apapun kamu menjalani hidup jangan pernah terpikir untuk menyakiti dirimu sendiri hanya untuk mendapat ketenangan,"

Rebecca menarik nafas, "Coba pikirkan orang tuamu, kakakmu, teman-temanmu Vicky. Apa menurut kamu mereka akan baik-baik aja saat kamu pergi?"

Vicky menangis lagi, gadis itu menggeleng.

"Kita disatukan untuk saling menguatkan Vicky. Udah berapa kali aku bilang kalo aku bakal selalu melindungi kamu, menjaga kamu. Itu bukan cuma ucapan semata, aku bener-bener ingin menjaga kamu,"

Kata-kata Rebecca mampu membuat Vicky bungkam, gadis itu terisak sambil menundukkan kepalanya.

"Dengar ini. Kak Eugene bela-belain sakit cuma buat ngelindungi kamu, kita sayang sama kamu. Jangan pernah bilang kalo kamu gak diinginkan siapapun,"

"Kita peduli sama kamu Vicky,"

Bibir pucat itu terbuka, "Aku nyusah-in kali-an,"

Rebecca menggeleng, merapikan surai sahabatnya yang berantakan itu dengan penuh kasih sayang.

"Pernah kamu mendengar kita ngeluh karena kamu? Atau kami marah karena capek menjaga kamu? Nggak kan?"

"Wouldn't it be better if I wasn't around? You won't have any more trouble,"

"No. if you leave, it's a sign we really suck. It will only destroy us, Vicky,"








Vicky menatap kosong iris rebecca yang terlihat penuh kekhawatiran itu.

Kini bibirnya tak lagi bergetar, seakan jiwa dalam diri Vicky mati begitu saja.

"But i can't take it anymore, Rebecca. That strong girl is gone from my life long time ago. Now only the weak, coward, and useless girl remains,"

Lirihan itu membuat tangis Rebecca pecah. didekapnya raga lemah itu, menumpahkan tangisnya di bahu gadis yang selama ini sudah terlalu banyak menanggung beban.

Dan di detik itu juga, Vicky tak sadarkan diri di pelukan Rebecca. "VICKY!"

Eugene juga Luna yang masih berusaha menenangkan diri harus kembali panik karena teriakan Rebecca di dalam kamar mandi.

Senyum dan tawa mereka yang selama ini kita lihat hanya topeng dari rusaknya mental mereka selama ini.

Kehidupan mereka memang se-manipulatif itu.

____

cuma mau mengingatkan.
seburuk apapun, sejelek apapun orang lain di mata kita jangan sekali-kali berpikir buat berkata yang tak baik. apalagi sampai membenci berlebihan cuma karena dia menyebalkan di mata kita. mikirnya gini aja, gimana kalo yang kita yang dikatain buruk gitu? sakit gak?

[✓] Public Figure | J. WonyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang