1

247 50 34
                                    

09.12

Di suatu pagi yang cerah, aku kabur dari rumah. Kabur. Konyol juga sebenarnya. Usiaku sudah dua puluh lima, sudah bisa cukur kumis, sudah mapan dan mandiri (harusnya). Mau aku pergi ke mana pun ya ... urusanku. Frasa "kabur dari rumah" tidak berlaku untuk lelaki bujang dewasa macam aku. (Sekali lagi: harusnya.)

Tapi mengesampingkan perkara umur, aku masih tak berbeda dengan diriku masa SMP. Masih makan dari duit orang tua, masih pengangguran, masih jadi beban keluarga. Oleh sebab itu, secara teknis, aku masih bisa "kabur dari rumah".

Kumulai hari dengan bangun di pukul sembilan, kesiangan sebab begadang. (Begadang tanpa alasan, aslinya. Insomnia. Penyakit yang umum diderita penulis kronis.) Kubuka tirai jendelaku. Di depan rumah, sejumlah kendaraan terpakir: empat motor, satu mobil.

Kengerian merayapi tulang punggungku.

Pelan-pelan, aku beranjak ke pintu dan menempelkan telingaku di sela kosen. Ada suara. Ada banyak suara. Orang mengobrol, orang tertawa, orang berseru. Tak mau percaya, aku coba naik ke atas meja dan mengintip lewat ventilasi kaca. (Aku punya koleksi bungkus rokok di sana, jadi wajahku tersembunyi aman.)

Itu dia mereka. Sanak keluargaku dari kota. Selusin jumlahnya. Datang berbondong-bondong laksana penjajah. Berpakaian bagus, tampan dan cantik, bersih dan wangi. Mereka membawa berbagai oleh-oleh: pakaian untuk ibuku, makanan untuk ayahku, mainan untuk adikku. Di sana ada Bang Adit, memboyong serta istri dan anaknya yang baru lahir. Di sana ada Rian, baru dapat beasiswa dan hendak lanjut ke pascasarjana. Di sana ada Ariyah, guru PNS sekarang alih-alih honorer.

Bencana.

Aku turun dan duduk di mejaku, merenung. Aku tak bisa keluar dengan tampang kumal begini. Utamanya di hadapan Fara, sepupuku. (Tuhan, dia makin manis.) Lagi pula, andai aku keluar, mau apa aku? Andai aku ditanya soal kuliah, mau jawab apa aku? (Aku kena DO. Haha?) Andai aku ditanya soal menikah, mau jawab apa aku? (Boro-boro beliin pacar makan, kartu HP aja angus gegara gak sanggup ngisi pulsa?) Andai aku ditanya soal kerjaan, mau jawab apa aku? (Seniman! Aku seniman! Bukan pengangguran! Sumpah!)

Setengah jam berlalu, dan aku mulai lapar. Aroma wangi menguar dari ruang keluarga, buat perutku merintih sengsara. Aku juga ingin kencing. Sangat. Kucoba mencari sesuatu yang bisa dijadikan penampungan sementara—gelas, botol, mangkok, kantong plastik, apapun. Tak ada. Sekarang, cuma satu yang bisa dilakukan: berharap agar orang-orang sukses itu kelewat sibuk dan segera pergi.

Maksudku ... dunia sedang tak baik-baik saja belakangan ini. Banyak kejahatan terjadi. Penculikan, perampokan, pengangguran. Di jalanan dekat sini saja sering ada kasus begal. Mereka manusia kejam, kalian tahu? Tak segan gorok korbannya walau tak melawan. Wanita atau pria, tua atau muda, miskin atau kaya, semuanya setara. Bahkan berkendara ramai-ramai pun tidak menjamin keselamatan—

"Habil mana, Bi?" Suara Fara. "Lagi keluar?"

"Kamar," sahut ibuku singkat, seolah ingin buru-buru mengakhiri topik terkutuk itu.

"Kamar? Masih tidur? Jam segini?"

"Gak tau."

Terdengar derap langkah, lalu ketukan pintu, kemudian panggilan ramah, "Habil? Keluar dong! Udah lama, nih, gak liat kamu."

Aku panik sepanik-paniknya. Nyaris kencingku tumpah dari kantung kemih. Fara kembali mengetuk, kembali memanggil, dan kembali membuatku kian ketakutan. Kabur. Jika ada masalah yang kelewat pedih untuk dihadapi, maka solusi terbaik adalah kabur. (Percaya padaku. Dengan cara itulah aku sampai jadi begini.)

Jadi, kaburlah diriku. Menyelinap lewat jendela. Lari kocar-kacir macam maling kutang. Aku tak peduli dengan tampangku yang kumal parah (wajah berminyak, rambut porak-poranda, mata berbelek). Aku tak peduli dengan sandalku yang beda sebelah-sebelah (kanan milik ibuku, kiri milik adikku). Aku tak peduli dengan pakaianku yang lebih cocok dijadikan lap ingus (kaos olahraga SMP berusia satu dekade). Aku terus berlari sampai kakiku pegal, sampai lututku sakit, sampai jantungku meledak.

Pemulung PuntungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang