Pengarang: Fina Nailatul Muna (@finayyla)
Hawa yang berhembus di malam hari ini sangat dingin ketika menyapu leherku. Di taman pinggir kota aku berada. Dibawah gemerlapnya para bintang dan sebuah bulan yang berbentuk sabit. Panorama malam itu yang senantiasa menarik kedua sudut bibirku.
Aku kembali menggoreskan kuas pada kanvas yang aku bawa. Kebiasaan ku sedari dulu. Jika aku bosan atau butuh teman,aku akan melukis sesuatu yang membuatku merasa tenang dan tidak kesepian. Aku ditakdirkan untuk hidup sendiri,tanpa teman,tanpa ayah,tanpa ibu,apalagi keluarga yang harmoni layaknya Keluarga Cemara.
Aku rasakan kursi yang aku duduki agak bergetar. Ku tengok kan kepala. Ada seorang laki-laki tampan yang memandang lukisanku dengan mata berbinar.
"Apa ini lukisanmu?" tanyanya. Aku mengangguk sebagai jawaban. Laki-laki itu tersenyum lebar. "Kamu pandai melukis?"
Kini,aku gelengkan kepala. "Aku hanya bisa,karena melukis adalah kebiasaan ku sejak dulu," ujarku memandang lukisanku. "Tapi lukisanmu bagus sekali,jujur. Aku suka!" katanya berseru. Aku tersenyum menanggapinya. "Terimakasih."
"Kamu disini sendirian?" Lagi dan lagi aku mengangguk. "Aku sendiri,memang selalu sendiri," jawabku sambil menatap bintang-bintang itu. "Kalau begitu... boleh aku menjadi temanmu, supaya kamu tidak sendiri?"
Aku tertegun dengan penuturannya. Baru pertama kali ia ditawarkan berteman. "Jadi,siapa namamu?" tanyanya menyadarkanku. "Engh..Bulan." Laki-laki itu terlihat antusias. "Namamu bulan?" Aku mengangguk. "Nama yang bagus! Perkenalkan ya, namaku Purnama."
"Purnama?". "Iya,namaku Purnama."katanya. "Namamu juga bagus," kata ku tersenyum lebar. Laki-laki itu tertawa memperlihatkan lesung pipinya. Tawa yang indah.
Sejak saat itu,aku dan Purnama selalu bertemu diam-diam di taman ini,tanpa sepengetahuan orangtua Purnama. Aku dengan segala lukisanku, dan purnama dengan segala canda tawanya. Sampai pada suatu malam, tepatnya saat bulan di langit berbentuk bulat utuh. Purnama menunjuk ke arah bulan itu."Lihat itu!" Bulan yang kini menyita perhatian ku dan Purnama. "Kamu tahu itu apa?". "Itu bulan, Purnama,"jawabku.
Purnama tersenyum lebar. "Iya,itu Bulan Purnama. Seperti nama kita berdua," ujarnya. Aku ikut tersenyum lebar. "Oh iya! Aku baru ngeh!" seruku. Purnama tertawa mendengarnya. Namun, kemudian aku kembali murung. "Bulan,hey! Kamu kenapa?". "Tidak apa-apa," jawabku. Aku tidak ingin merasa paling menderita,apalagi didepan Purnama. Namun,tatapan teduh milik Purnama menghunus netra sayu milikku. Karena itu,mataku semakin berkaca-kaca.
Purnama memegang kedua bahuku. "Bulan,kamu kenapa?" Aku masih saja terisak,tak menjawab. "Kalau kata mama aku,cerita aja ngga papa. Walaupun aku ngga bisa kurangin beban itu,tapi setidaknya kamu lega berbagi dnegan orang lain." Purnama mengeluarkan kata-kata bijak milik mamanya. Hal itu membuat hati ku terasa menghangat. Namun,aku masih saja terisak. Kini, Purnama menepuk-nepuk punggungku menenangkan.
"Kalau mau cerita, cerita aja sama aku,ya?" Aku tak merespon. Aku sibuk menyeka air mata yang keluar. Kutatap Purnama yang menatapku. "Ngga apa-apa kalau aku cerita? Memangnya kamu ngga risih dengar cerita aku?" Purnama mengukir senyum tulus. "Bulan, kamu itu sahabat aku,aku sayang banget sama Bulan. Jadi, aku ngga akan risih sama kamu." Aku yang mendnegar itu lantas ikut menarik kedua sudut bibir.
Aku menatap bulan yang utuh dilangit itu. "Aku kangen Ayah sama Mama," kataku memulai sesi cerita. "Memangnya, ayah sama mama kamu dimana?" tanya Purnama penasaran. "Ngga tau," jawabku jujur. Aku menarik nafas dalam-dalam. "Waktu itu, aku masih berumur 6 tahun. Aku ingat betul,waktu itu aku baru saja lulus dari TK,dan hendak masuk ke sekolah dasar." Purnama setia mendengarkan. "Waktu itu aku masih belum tahu,kenapa mereka ninggalin aku sama kakak saat bangun tidur,mereka udah ngga ada dirumah. Barang-barang mereka juga ngga ada," jelasku.
"Aku tanya kakak yang masih sekolah SMP waktu itu. Kata kakak, ayah sama mama lagi pergi mungkin, sebentar lagi balik. Kakak selalu bilang seperti itu." Purnama manggut-manggut. "Terus?". "Awalnya aku percaya, tapi lama kelamaan aku ngga percaya lagi sama alasan kakak yang selalu bilang seperti itu. Kata kakak, ayah sama mama itu udah cerai, ayah masuk penjara karena sehuah kasus, sedangkan mama, ngga tau ada dimana."
Aku mencabut rumput kesal mengingat itu. "Dari situlah akhirnya aku sama kakak bener-bener putus sekolah. Aku setiap hari duduk di bawah lampu merah bareng kakak. Terus nanti ada orang yang kasih kita uang. Uang itu,yang kita berdua gunakan untuk makan." Air mataku kembali keluar. "Tapi, ngga lama setelah itu, kakak meninggal karena asma nya kambuh. Aku benar-benar ngga bisa apa-apa waktu kakak sesek nafas,aku Cuma nangis di sampingnya tanpa melakukan apapun," tangisku. "Sampai kahirnya kakak meninggal dunia, hiks."
Tanpa kata, Purnama memelukku erat. Aku merasakan Purnama yang ikut terisak juga,sama sepertiku. "Dan..., dan setelah kakak meninggal, aku hidup sendiri, bener-bener sendiri." Tangisku semakin pecah. Purnama menepuk-nepuk punggungku yang bergetar. Beberapa saat aku tak meneruskan ceritaku. Sampai akhirnya Purnama melepas pelukannya. Ia menyeka air mataku yang masih berjalan dipipi.
"Jangan nangis lagi, ya. Kasihan pipi kamu jadi basah," katanya menengangkanku. Aku hanya mengangguk kecil. "Purnama," panggilku. "Iya?". "Ceritanya masih ada," kataku merendah. "Masih panjang." Purnama memegang bahuku. "Bulan, ngga usah dilanjutkan ya?". "Kenapa?". "Nanti kamu nangis lagi,aku ngga mau kamu sedih," katanya. "Aku ngga bakal nangis lagi deh,janji!. Tapi aku cerita lagi ya?" pintaku. Purnama mengangguk pasrah.
"Jadi, setelah itu,aku suka mulung. Aku ngambilin bekas bekas gelas atau botol plastik buat dijual. Kadang kalau lagi capek,aku duduk di bawah lampu merah,nanti uangnya datang sendiri." Purnama memandangku dengan sorot khawatir. "Kenapa kamu lakuin cara itu? Kenapa kamu ngga lakuin cara lain, seperti menjual lukisan kamu, contohnya."
Aku membuang nafas. "Aku menjualnya kemana? Memang ada yang menerima jasa jual lukisan dari anak dekil seperti ku?" Purnama memandangku tidak suka. "Kamu kok ngomongnya gitu sih Bulan?". "Nyatanya seperti itu Purnama. Tidak ada yang mau mendekatiku, apalagi menyentuhku, mereka bilang aku ini hanya bakteri di ibu kota ini," kataku. "Itu ngga bener,Bulan. Mereka keterlaluan!" Purnama terlihat marah.
"Tidak ap—" Tiba-tiba suara melengking tinggi memotong bicaraku. "PURNAMA!" Aku dan Purnama sama-sama menoleh ke sumber suara. Ada seirang pria paruh baya yang mendekati aku dan Purnama. Saat mengetahui wajahnya, aku lemas. Kakiku sperti jelly. Pria itu.. aku mengenalnya,aku sangat mengenalnya!
"Papa!?" kaget Purnama. "Purnama! Berani-beraninya kamu keluar malam-malam begin—" Pria itu menatapku,aku pun sedang menatap. "Papa?" panggil Purnama yang tak didengar. Kemudian Purnama mengikuti pandangan mata papanya. Jadi, Purnama juga menatapku sekarang. "Dia Bulan pa, teman aku." Aku melirik Purnama yang dihiraukan papanya.
Kedua mataku berkaca-kaca kembali. Aku menatap kedua orang itu bergantian. Tubuhku masih bergeming. Kini,air mataku luruh kembali. "Bulan kamu ke—" Saat Purnama mendekatiku,aku melangkah mundur. Tanganku menandakan stop. "Stop Purnama," ucapku berat.
Aku menatap Purnama, yang menatapku bertanya-tanya. "Kena—". "i-itu papamu?" tanyaku tersendat-sendat. Purnama menatap papanya, ia mengangguk kecil. "Iya Bulan, ini papaku." Saat itu juga seluruh pertahannaku runtuh. Lukaku yang lama telah ia pendam terhadap kedua Ayah dan mama terbuka kembali. Aku berkata dengan gemetar. "Tapi Purnama—" Aku menjeda. "Dia Ayahku."
Mata Purnama membulat lebar. Sedangkan pria itu,langsung mengalihkan pandangannya dariku. Kulihat dia mengusap wajahnya kasar. Karena dadaku semakin sesak dibuatnya,aku berlari ke jalanan kota yang ramai. Aku tak memperdulikan apapun. Yang aku pikirkan saat ini, adalah rasa sakit kekecewaan.
Aku mendengar purnama yang beberapa kali memanggil namaku, tapi aku hiraukan. Aku terus berlari tanpa arah. Sampai satu suara itu berhasil membuatku sadar. "BULAN AWAS!" teriakan Purnama yang satu itu, menyita perhatian banyak orang. Ku tengok kedepan. Truk besar melaju kencang ke arahku. Tak ada yang bisa aku lakukan selain menjerit sekeras-kerasnya.
"AAAAAA!!" Tepat saat aku terpental, disisa-sisa kesadaranku aku mendengar Purnama meneriaki namaku begitu histeris. Setelahnya aku tak sadarkan diri. Mungkin,jika ini akhir kisahku,aku hanya berharap,tuhan menyadarkan orang tuaku,dan menjaga Purnama,sahabat terbaikku.
Titimangsa: Jum'at,08 April 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Setalen Kisah
Short StorySetalen kisah merupakan wadah bagi calon penulis besar di Indonesia yang menjadi bagian dari Lautan Aksara. Seperti judulnya, setalen kisah merupakan seikat karya yang ditugaskan sekaligus menjadi lomba internal. Di mana, karya dengan vote terbanyak...