Butuh Pekerjaan

2.8K 323 14
                                    

Peluh membasahi sekujur tubuhnya. Rambutnya yang lepek menandakan jika apa yang baru saja terjadi terasa nyata. Raut wajahnya memias seperti mayat hidup. Bola matanya menatap liar memindai seisi ruangan yang membuatnya lega.

"Hah, syukurlah cuma mimpi," ucapnya menyeka keringat di wajahnya. "Kenapa kalau sedang banyak pikiran ataupun kelelahan pasti mimpi itu selalu datang," gerutunya sebal sambil bangkit menuju kamar mandi mencuci muka.

Briana tersentak mendengar gedoran pintu. Ia sangat tahu siapa yang mengetuk tanpa adab di luar. Pemilik kontrakan yang sudah tiga kali datang mencak-mencak menagih biaya kontrakannya yang sudah menunggak selama tiga bulan.

"Sekarang juga pergi dari sini!" hardik wanita paruh baya dengan dandanan cetar ketika pintu masuk terbuka.

"Bu, tolong kasih saya waktu lagi. Saya janji akan--"

"Sudah tidak ada kesempatan lagi! Sudah cukup tiga bulan ini kamu menempatinya tanpa membayar. Sekarang juga kamu angkat kaki!"

"Bu, tolong izinkan saya satu minggu lagi. Pasti saya bisa melunasi semuanya."

"Alah, pembual! Saya sudah tidak percaya omongan pengangguran macam kamu. Saya tidak mau tahu. Lima belas menit saya kasih kamu waktu untuk berberes. Segera enyah dari sini karena nanti sore sudah ada yang mau menempatinya lagi, bahkan sudah membayar di muka untuk setahun ke depan!" Pemilik kontrakan melotot sambil berkacak pinggang. "Kalau kamu bersikeras tetap di sini, dia yang akan menyeretmu keluar!"

Kontan saja Briana bergidik melihat sosok sangar yang sejak tadi mendampingi wanita paruh baya itu. Preman jalanan yang disewa jasanya untuk mengancam dirinya seandainya tetap menentang.

Dengan raut langkah gontai Briana memasuki ruangan. Membenahi barang-barang miliknya ke dalam tas ransel. Tak banyak barang yang dimilikinya dan juga tak ada yang berharga. Setelah yakin tak ada lagi yang tertinggal, Briana keluar dan langsung disambut dengan senyum mengejek pemilik kontrakan.

"Terima kasih, Bu sudah--"

"Sana cepat pergi," usirnya sembari mengibaskan kedua tangan seolah Briana adalah sosok yang menjijikan. "Jauh-jauh dari sini supaya penghuni yang lain tidak tertular nasib sial sepertimu!"

Briana mengulas senyum getir. Lekas menyeret langkah kakinya keluar dari hunian yang menjadi tempatnya berteduh. Di persimpangan jalan Briana kebingungan harus ke arah mana dan akan ke mana. Akhirnya ia memutuskan untuk berteduh sejenak di halte bus seraya berpikir keras menentukan tujuannya.

Membuka tas ransel, lalu mengintip dompet usang yang hanya berisi beberapa uang pecahan kecil. Tentu saja tak akan cukup untuk membayar biaya sewa sekalipun hunian sepetak.

"Ya, Tuhan, aku harus ke mana? Apa aku akan mati mengenaskan di pinggir jalan?" keluhnya sembari menyeka sudut matanya yang mulai berair. Ia tak mau tanggul yang menampung kesedihan tumpah meruah.

Briana menutup lagi tasnya dengan wajah lesu. Meraih botol minum yang tadi sempat diisi sebelum keluar kontrakan. Sambil meneguk pikirannya mengawang pada saat dulu bertekad akan hidup mandiri dan menjadi anak yang sukses. Nyatanya, impian tidak semudah membalik telapak tangan.

Saat ingin memasukkan kembali botol ke saku bagian pinggir tas, tak sengaja ada yang menyenggol sikunya hingga botol dipegangannya terlepas. Begitu akan mengambilnya, matanya tertuju pada kartu nama di lantai. Di sana tertulis jelas mengenai perihal pekerjaan.

"Pengasuh," gumamnya mengerutkan kening. "Sama halnya dengan baby sitter atau nanny, mungkin," lanjutnya menyipitkan mata.

Tanpa pikir panjang, Briana bergegas menyetop angkutan umum yang lewat. Lokasi yang tertulis di kartu nama sangat familier karena itu kawasan perumahan elit. Briana tak lagi peduli pada pengalaman kerja yang belum pernah dilakukannya.

Yang terlintas di pikirannya adalah harus cepat mendapat pekerjaan itu agar hidupnya tidak terlunta-lunta.

Setelah berjalan cukup jauh dari jalan raya karena kawasan perumahan tidak menerima angkutan umum, Briana sampai di pos sekuriti perumahan. Di sana ia diminta menunggu karena salah satu sekuriti sedang menghubungi alamat yang dituju perihal kedatangannya. Setelah itu dengan senang hati sang sekuriti mengantar Briana ke kediaman mewah nan megah.

Saat ini Briana sedang menunggu di ruang tamu--yang menyuguhkan desain dan ornamen mahal yang memanjakan mata. Interior ruangan yang membuatnya terkagum-kagum menatapnya karena ini pertama kalinya ia berada dalam bangunan super mewah. Sangat berbeda dengan milik mantan bos di restoran tempatnya bekerja dulu.

Mendengar pantulan sepatu heels pada lantai membuat Briana gegas berdiri menyambut kedatangan seseorang itu.

"Selamat siang, Bu. Perkenalkan nama saya Briana Laude. Saya berminat-- "

"Kamu yakin mau bekerja di sini?"

Briana tersentak karena bukan basa-basi perkenalan lebih dulu seperti pada umumnya saat datang melamar pekerjaan. Tatapan Briana masih tampak bingung menatap wanita paruh baya yang berdiri tegak memandangnya dengan kelopak mata menyipit.

"Saya tanya sekali lagi, apa kamu yakin mau bekerja di sini?"

"Saya ..." Kegugupan di wajah Briana sangat kentara.

"Maaf, saya tidak suka basi-basi karena banyak yang tidak serius tujuannya datang ke sini. Makanya saya tidak butuh pengalaman kerja dalam hal ini karena yang saya butuhkan kejujuran dan ketulusan selama mengabdi," kata wanita berpakaian formal dengan balutan blazer warna abu-abu.

"Iya, Bu. Saya sungguh-sungguh ingin bekerja di sini," jawab Briana penuh keyakinan.

"Baiklah, kita langsung ke intinya saja. Pekerjaan yang akan kamu lakukan selayaknya pengasuh anak pada umumnya. Mulai dari menyiapkan makan, mengajak bermain, mengobrol, sampai membacakan dongeng tidur."

Kepala Briana mengangguk menyetujui. Ia yakin tugas yang disebutkan tadi bukan perkara rumit mengingat selama tinggal bersama adik-adik panti hal tersebut adalah rutinitasnya.

"Saya mau lihat seberapa yakin kamu menerima pekerjaan ini. Karena pada saat kamu teken kontrak, kamu tidak diperkenankan keluar seenaknya. Kamu harus mengabdi di hunian megah ini ... selamanya," tandas wanita itu menatap tajam.

Briana menelan liur yang terasa kasar. Ini adalah pilihan yang sulit. Jika menolak ia akan terlunta di jalanan. Belum lagi maraknya kejahatan di kolong jembatan. Tak ada gunanya menolak. Briana telah pasrah pada takdirnya.

"Saya bersedia."

Wanita berambut sanggul itu tersenyum simpul. "Nona Briana."

"Ya, Bu."

"Ikut saya sebentar."

Briana mengikuti wanita paruh baya itu menuju suatu ruangan yang didominasi warna abu-abu. Sangat jauh dari bayangannya jika ini kamar anak-anak. Sampai mereka tiba di sebuah tempat tidur berukuran king size, perlahan wanita elegan itu menyibak selimut yang menutupi tubuh seseorang. Tidak. Bukan seseorang, tapi sebuah benda yang banyak digandrungi anak-anak terutama anak perempuan.

"Tugasmu hanya merawat dia."

Mulut Briana yang sempat menganga terkatup rapat. Pandangannya beralih dari wanita itu ke arah tempat tidur yang diisi oleh sosok berpakaian tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu-- penampilannya sangat menyerupai balita laki-laki.

"Bo-boneka ini?" tanya Briana ragu-ragu.

Melihat bibir wanita itu membentuk senyum diiringi anggukan, seketika bulu kuduk Briana meremang, bahkan bulu halus di tengkuknya ikut merinding.

Jadi, pekerjaan yang dimaksud adalah mengasuh boneka dan harus diperlakukan layaknya seorang balita?

Sayangnya, Briana tak bisa mundur dari tawaran pekerjaan aneh ini.

.
.
.

°°Aliceweetsz | Senin, 11 April 2022

Mysterious LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang