4. Garret yang Tak Biasa

3 1 0
                                    

Garret memantulkan bola basket berkali-kali. Padahal hari itu sinar matahari begitu menyengat. Cowok itu hanya fokus pada ring yang berjarak sekitar sepuluh meter dari tempatnya berdiri. Berancang-ancang memasukkan bola ke dalam ring itu. Tepat! Satu lemparan bola basket dia masukkan ke dalam ring. Bangga, sangat bangga. Itu adalah keahliannya dalam bidang itu. Namun, dia tetap tak menghina orang lain yang tak memiliki keahlian seperti dirinya.

Benar, Garret selalu menggunakan waktu istirahatnya di lapangan. Padahal hall basket bisa dia gunakan untuk latihan. Namun, cowok itu memilih lapangan yang tepat untuk berolahraga, menjernihkan otaknya dari mata pelajaran yang tak ada ujungnya. Di lapangan, orang bisa langsung melihat dia. Bukan dengan tujuan pamer, tapi setidaknya Garret tak kesepian saat di lapangan. Apalagi para penggemarnya selalu berkumpul di satu titik untuk memberikan semangat untuk dia.

Dari sudut lain, mata Grace menatapnya nanar. Dengan wajah datarnya, dia melihat Garret aneh.

"Bener-bener gila! Serius nggak ada apa-apa?" tanya Grace pada Ren. Cowok yang sedang sibuk dengan ponselnya lantas menoleh cepat.

"Apa?" tanya Ren kembali memastikan. Pertanyaan Grace yang tak biasa membuat cowok itu harus meninggalkan layar ponsel berukuran 5inchi itu.

Kepala Grace mengisyaratkan mengarah pada Garret yang masih sibuk. Keberadaannya di lantai dua masih terasa sangat jelas melihat posisi Garret. Dia sangat yakin Garret kepanasan. Tapi masih tetap berdiri di tengah lapangan itu.

"Ah," jawab Ren mengerti. Orang yang dimaksud Grace adalah Garret. "Bukankah sudah biasa dia seperti itu?" tanya Ren. "Lagi pula, itu hobi dia, dia sendiri yang memilih gemar main basket. Jadi, mau hujan, mau panas, kalo suka mah, dilakuin aja." Ren mengoceh. Namun, seketika bola mata Ren membulat ketika dia melihat sosok Hiko yang tengah berjalan ke arah Garret. Awalnya Grace tak merasakannya. Namun, saat Ren panik, dia maju satu langkah. Membuat Grace penasaran.

"Kenapa?" tanya Grace bingung. Dia mengikuti lirik mata Ren yang saat itu menatap ke arah lapangan dengan tajam.

Grace menemukan sosok laki-laki yang tengah berjalan ke arah Garret. Hal yang menurut Grace adalah biasa.

"Apa?" Grace semakin penasaran dengan kekhawatiran Ren. "Ada masalah?" tanya Grace tanpa menoleh. Matanya masih fokus pada Garret.

"Enggak ..." Jawaban Ren membuat Grace tak percaya. Pasalnya suara Ren nyaris gagap. Seperti ada yang dia tutupi saat itu.

Grace lega. Dia hanya mengembuskan napas. Namun, hatinya berkecamuk. Terlebih saat perintah Ren membuat dia penasaran.

"Lebih baik lo masuk ke kelas deh. Gue ada urusan." Ren memerintahkan Grace.

"Urusan? Urusan apa? Dan tanpa gue?" tanya Grace tak percaya. Dia menuntut jawaban dari cowok di depannya. Namun, Ren tersenyum simpul. Dia berusaha tenang.

"Urusan cowok." Ren menjawabnya dengan singkat. Dia mengacak rambut lurus milik Grace. Membuat gadis itu mengerucutkan bibirnya.

"Ren!" Grace memprotes. Ren hanya tersenyum. Lalu melangkah pergi.
Matanya menatap Ren yang sudah meninggalkannya.

Grace memutuskan untuk ke kelas. Tanpa rasa curiga dia berjalan. Jam istirahat yang biasa dia gunakan di taman sekolah atau kantin, kali ini harus dia habiskan seorang diri di kelas tanpa Ren. Ternyata banyak anak sekelas dengannya yang berada di dalam kelas.

Salah seorang melambaikan tangan.

"Grace!" Dia memanggil dan melambaikan tangan. Grace tersenyum dan mendekat. Rani yang tengah berbincang dengan teman-temannya menyambut kedatangan Grace. Sebenarnya hubungan mereka baik. Hanya saja Grace sering menghabiskan waktu dengan Ren.

Grace duduk di meja kosong. Empat teman sekelasnya tampak sedang membahas sesuatu.

"Bahas apaan sih?" tanya Grace penasaran.

"Ada anak baru, dan dia ganteng banget!" Felly mengatakannya dengan antusias. Grace mengerutkan kening. Dia tersenyum tipis.

"Akhirnya ada yang mengakui cowok lain ganteng, daripada Garret," batin Grace.

"Kelas mana?" tanya Grace.

"Katanya di kelas ini. Cuma kok, belum masuk ya?" tanya Arin penasaran.

"Kelas ini?" Grace memastikan. Rani, Arin, Felly, dan Jeje mengangguk secara bersamaan.

"Bakalan jadi pesaing Garret," timpal Jeje yang sedang asik dengan coklat Silverqueen di tangannya.

"Betul." Rani setuju.

Grace hanya tersenyum.

"Ah, Ren ke mana?" tanya Felly celingukan. "Biasanya buntutin mulu," lanjutnya terkekeh.

"Ada urusan katanya," jawab Grace.

Di lapangan mulai ramai. Pasalnya Garret yang tengah asik bermain basket sendiri, kini berduel dengan Hiko. Cowok yang masih belum dikenal di sekolah, membuat semua siswa yang melihatnya penasaran dengan kehadirannya di lapangan basket.

Garret nampak terkejut dengan datangnya Hiko. Namun, dia berpura-pura baik-baik saja. Sesekali meneguk saliva saat dia merasa tertekan.

"Mau apa?" tanya Garret ketus. Hiko tersenyum. Dia melihat ke arah Garret yang gugup.

"Kenapa? Santai aja. Orang berpikir, hubungan kita nggak baik," kata Hiko santai.

"Pergi!" usir Garret penuh tekanan. Hiko hanya tersenyum. Matanya menangkap sosok Ren yang sudah berdiri di tepi lapangan. Dia terlihat khawatir.

"Wah, bahkan lo bisa meyakinkan dia kalau bukan lo pembunuhnya. Hebat!" kata Hiko. Dia mengucapkan kata itu tanpa berpikir.

"Apa?" Garret terkejut. Dia langsung menoleh pada sumber yang baru saja dilihat oleh Hiko. Sosok Ren tengah khawatir di tepi lapangan sana.

"Pergi. Jangan buat kekacauan di hari pertama lo sekolah." Garret memperingatkan. Hiko hanya mengangguk, sembari tersenyum ke arah Garret.

"Sepertinya Lo terlalu gugup ketemu gue. Apa gue harus pindah sekolah lagi?" tanya Hiko santai. "Bro, gue cuma mau memperbaiki hubungan kita. Bukankah dulu ..." Belum sempat meneruskan ucapannya. Bel berbunyi.

Siswa yang sudah semangat di tepi lapangan kecewa karena mereka hanya melihat percakapan Garret dan Hiko tanpa mendengar atau melihat mereka bermain. Ren merasa lega saat itu.

Hiko lagi-lagi tersenyum. Hal itu membuat Garret sangat muak melihatnya. Garret mengambil bola yang sudah Hiko rebut tadi saat permainan tunggalnya.

Tanpa sepatah katapun Garret meninggalkan Hiko. Lagi-lagi cowok itu tercengang.

"Wah, hidup lo benar-benar baik-baik saja," kata Hiko.

Jam pelajaran dimulai kembali. Grace menoleh ke bangku di mana Ren duduk. Dia melihat Ren masih terlihat gelisah. Saat sang guru masuk dengan seorang murid baru. Semua siswi perempuan di kelas itu langsung gaduh. Mereka menyetujui ketampanan Hiko.

"Silakan perkenalkan diri," kata guru biologi, Pak Arman. Grace langsung menghadap ke depan. Dia menatap anak baru itu nanar.

"Hai, perkenalkan saya Hiko. Saya pindahan dari luar negeri, mohon kerja samanya. Mohon bantuannya dalam belajar, dan mengenal lingkungan sekolah," kata Hiko dengan jelas.

"Benar, dia adalah Hiko yang dulu." Grace terkejut. Dia mengerti sekarang. Apa yang Ren khawatirkan. Dia secepat kilat menoleh ke arah Ren.

Seketika Grace lemas.

Twinner Sibling  #ODOC #ThewwgTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang