Prolog

8 2 0
                                    

"Bang, turun di sini!" seruku sambil bergelantung di pintu angkot. Angkot biru yang kunaiki langsung berhenti. Aku rogoh kantungku dan memberikan beberapa lembar rupiah pada si pak supir. "Makasih, bang. Yuk, nek." Aku cepat-cepat menggandeng nenek turun dari angkot biru yang siap tancap gas itu. Kendaraan-kendaraan di belakang kami sudah ribut karena angkot biru di depan mereka berhenti tiba-tiba.

Daerah sumpek itu sedang ramai dan wangi kue pinggir jalan tercium dari mana-mana. Abang-abang berseru dari tiap toko-toko mereka, Namun, bukan pasar ini yang menjadi tujuanku dan nenek datang kemari, melainkan supermarket yang berada tak jauh dari sini.

Nenek tiba-tiba memegang tanganku bersamaan dengan tekstur kertas yang langsung kusadari keberadaannya. "Jajanlah dulu. Nanti susul nenek ke supermarket," pesan nenek sembari menepuk pelan tanganku yang mengepal.

Nenek tersenyum singkat sebelum berbelok menuju supermarket. Seakan-akan senyum bahagia setengah kelaparanku adalah aba-aba untuk melanjutkan jalan kakinya. Ah, nenek memang selalu peka soal apa yang ada di lubuk hati terdalam cucu-cucunya.

Aku membuka genggaman tanganku. Dua lembar sepuluh ribuan. Aku rasa nenek sedang senang hari ini. Atau mungkin ini hanya ketidaksengajaan semata karena tidak biasanya ia semudah ini memberi dua puluh ribuan hanya untuk jajanan pinggir jalan yang katanya tidak sehat itu.

"Cilornya seribu dua tusuk."

"Empat ribu dong bang."

Aku duduk di kursi hijau sembari menunggu. Mengeluarkan smartphone dari kantong. Ah, ada 3 pesan tak terbaca dari ayah. Sekitar beberapa menit lalu.

- Aksara sudah sampai di bandara

- Mas di rumah kan?

- siapin teh buat abang.

Oh tidak. Hari ini kak Aksara pulang dari pertukaran pelajarnya. Aku kira pesawatnya di delay lagi. Aku lalu mencari nomor kak Aksara.

Akasha

Kakak jangan pulang dulu

Ga ada orang di rumah

Kak Aksa

Hai Akhaa!

Lah padahal sudah deket rumah nih TwT

lagi pada ke mana

Akasha

supermarket deket pasar

Ya udah met nikmati setengah jam di teras rumah

. . .

"Dek! Cilor lima ribu?"

"Iya, saya, bang."

Yah.. kak Aksara gak akan kenapa-kenapa kok kalo menunggu. Lagi pula biasanya kan aku yang menunggu lama-lama di bandara.

"Makasi bang," sahutku setelah menerima cilorku. Lalu menambahkan bubuk cabai dan barbeque. Aku hendak menyusul nenek tapi langkahku berhenti ketika aku melihat kembali bubuk merah barbeque yang mulai basah tercampur minyak cilor. Aku tidak yakin nenek hanya akan diam saja melihat aku memakan jajanan tidak sehat begini.

Aku akhirnya kembali ke kursi hijau. Menyantap cilor rasa barbeque cepat-cepat.

"Asap! Ada asap!"

"Woi panggil pemadam! Woi!"

"Allahuakbar! Allahuakbar!"

Ada beberapa orang heboh menunjuk-nunjuk sesuatu di langit. Itu asap yang tebal. Tidak mungkin itu hanya asap bekas orang membakar sampah. Apa ada yang kebakaran?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 28, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

RuangWhere stories live. Discover now