Jalan Pulang

72 7 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.







Disclaimer!

Cerita ini tidak bermaksud untuk menyinggung siapapun, cerita ini hanya fiksi belaka. Apabila ada salah kata dan penggambaran suatu keadaan di cerita ini, saya sebagai author memohon maaf. Kesalahan di sini itu murni karena research saya yang mungkin belum mendalam maupun salah.




Jalan Pulang

Oneshot | © 2021 noonverse


Genre: BL, Comfort

Pair: SoobJun

Cast:

Choi Soobin as Steven

• Choi Yeonjun as Juni

Recommended Soundtrack:

Tulus - Hati-Hati di Jalan




Selamat membaca♡'・ᴗ・'♡






Selamat membaca♡'・ᴗ・'♡

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




"Juni!"

"Steven!"

Juni bergegas berlari menghampiri Steven yang ternyata sudah menunggu di halaman depan masjid. Steven memperhatikan sembari mengawasi jikalau Juni terjatuh atau tersandung karena berlarian menghampirinya.

Juni pun sampai di hadapan Steven, "Udah di situ aja kamu, padahal aku malah susah keluar."

"Kamu lambat sih orangnya, bikin pegel nunggu," ejek Steven untuk menggoda Juni.

"Apaan? Salahin depan aku lah yang ngalangin jalan!" kesal Juni yang tidak terima.

"Nah, malah nyalahin orang."

"Emang salah, kok," ujar bibir bebek Juni yang sedikit mengerucut.

Gemas dan tak tahan, Steven menyerah untuk menggoda Juni, "Hahaha, iya-iya. Kamu mah, selalu bener."

Keduanya pun mulai berjalan meninggalkan masjid untuk pulang menuju rumah. Sesaat, Steven memperhatikan penampilan Juni malam ini. Rapi dengan kaos putih dan sarung berwarna hitam. Parfum pun menguar lembut dari Juni, harumnya manis dan segar. Steven tersenyum tipis.

"Parfum kamu wangi banget," pujinya.

"Eh, masih wangi emangnya?" tanya Juni, yang tak sadar bahwa tubuhnya masih menguarkan bau semerbak dari parfum yang menempel.

"Iya, banget." Dalam sekejap, mata Steven kini menatap Juni dengan pandangan yang tak dapat dijelaskan. Maniknya terus terpaku kepada wajah Juni. Entah apa, tapi Steven tak suka. Steven tak suka bau parfum Juni. Alisnya yang sedikit menukik semakin menunjukkan ketidaksukaan Steven.

"Juni tadi main dulu ya sebelum tarawih?"

Wajah yang ditanya langsung dihias raut terkejut. Seolah seperti penjahat yang baru saja ketahuan mencuri.

"I-iya," jawabnya tanpa menoleh.

"Ke mana dan ngapain aja?" mata Steven sedikit memincing.

"C-cuma mampir-mampir sebentar. Nggak ngapa-ngapain, duduk-duduk doang sambil nunggu waktu salat tadi." Juni menoleh ke Steven; ia terkejut menemui mata Steven yang sudah memincing.

"Oh, gitu," jawab Steven dingin.

"Maaf." Juni murung. Kepalanya sedikit tertunduk dan tak mau menatap Steven.

Ah, Steven tiba-tiba tersadar. Emosinya, emosinya tidak boleh muncul di depan Juni. Segera, ia merubah rautnya kembali seperti semula. Kembali menjadi Steven yang teduh dan penyabar.

"E-eh, maaf kenapa?"

"Karena bikin kamu marah," ucap Juni yang masih tidak sadar dengan perubahan raut Steven.

"Marah? Kapan aku marah?"

"Sekarang."

"Hey, aku nggak marah." Gawat, Juni tidak boleh tahu.

"Bohong!" sanggah Juni dengan bibir kerucutnya.

"Hey, bener tau. Coba lihat sini, aku kelihatan marah atau enggak?"

"Nggak mau, takut. Serem."

"Enak aja! Ganteng gini kok serem. Lihat sini dulu, Juni," bujuk Steven dengan sedikit mendekatkan kepalanya ke Juni.

"Nggak mau!!"

"Lihat dulu, hey. Nanti baru bisa bilang aku marah atau enggak."

"Marah! Steven marah ke Juni!" Juni keukeuh dengan pendapatnya. Wajahnya mendongak heboh dengan mata yang menutup kesal dan bibir bebek yang mengerucut.

"Lihat sini dulu, Manis." Steven menarik dagu Juni dengan lembut dan mengarahkannya ke dirinya.

Juni terkejut dengan matanya yang membelalak. Wajah tampan Steven yang sedekat ini membuatnya hampir berteriak. Jalanan sudah sepi, tak ada seorangpun kecuali mereka berdua. Suasana seperti apa ini rupanya? Kenapa pipinya tiba-tiba hangat?

"Gimana, hm? Nggak marah, kan?"

Juni hanya menggeleng tidak; setuju dengan Steven.

"Nah, nggak usah takut kalau gitu," Steven tersenyum, "aku nggak akan bisa marah sama kamu."

Steven marah. Ia benci dengan semua ini. Steven semakin marah karena ia tidak bisa marah.

Plak!

"Ah, a-aku harus pulang." Juni menepis tangan Steven dan langsung menjauhkan dirinya.

"Oh, bener juga. Kalau gitu ayo-"

"Nggak usah, aku pulang sendiri aja."

"Loh? Kenapa?"

Aneh? Biasanya kan Juni selalu ia antar? Kenapa tiba-tiba?

"Udah, ya! Aku duluan, hati-hati kamu!"

Tanpa memberi penjelasan apapun, Juni berlari meninggalkan Steven dengan segala pertanyaan di benaknya. Juni kenapa? Apa dia melakukan suatu kesalahan?

Steven hanya dapat terdiam mematung di sana. Melihat punggung Juni semakin menjauh dari pandangannya lalu hilang di ujung belokan. Juni hilang. Sudah pulang. Mata Steven masih terpaku pada belokan tempat Juni terakhir terlihat. Sebuah rasa tiba-tiba memenuhi hatinya. Membuncah, membuat matanya hampir berkaca-kaca.

"Ah, apaan, sih. Udah ah, mending cepet pulang."

Steven pun melanjutkan perjalanannya. Jalan pulang Steven, kali ini tidak dipenuhi canda tawa dari keduanya. Hanya dipenuhi dengan Steven dan hatinya yang seolah hancur menjadi jutaan keping.

Bagaimana bisa jadi seperti ini? Bagaimana bisa mereka berakhir seperti ini? Bagaimana bisa mereka hanya "teman" selama ini?

Bagaimana bisa parfum perempuan itu senantiasa menempel di tubuh Juni?





Jalan Pulang | Tamat.




ParallelUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang