*
*Suara derap langkah kaki menggema di koridor yang sepi. Ini sudah jam pulang sekolah, tidak ada siapapun di tempat elit itu terkecuali seorang pemuda yang baru saja keluar dari sebuah gudang. Ia menyalakan pemantik api berwarna silver dengan ukiran nama indah yang terbuat dari serbuk berlian pada bagian sisinya, membakar ujung rokok dan menyesap benda nikotin itu dengan khidmat.
"Ringgo tunggu!" teriakan melengking seorang wanita membuat langkah pemuda itu terhenti.
Seragam yang tidak terkancing rapi, rambut kusut juga air mata yang membasahi pipi bulatnya, membuat sang pemuda pemilik nama Ringgo itu berdecih merasa jijik.
"Kamu gak bisa putusin aku gitu aja!" ujar gadis itu dengan isak tangisnya.
"Lu siapa ngatur-ngatur gua?" balas pemuda itu sembari menyesap rokok miliknya.
"Kamu udah ngambil kesucian aku, dan sekarang aku hamil Ringgo! Aku mau kamu tanggung jawab!" sang gadis dengan berani meraih tangan kekar Ringgo, memohon agar pemuda itu tidak memutuskan hubungan mereka.
"Ck, Lo denger ya, Gladis! lo sendiri kan yang ngasih tubuh lo itu ke gua. Jadi, kalopun lo hamil itu salah Lo sendiri, dasar jalang!" untaian kalimat itu dengan lancar ia tujukan pada sang mantan kekasih.
PLAK!!
tangan lentik gadis itu mendarat dengan mulus pada wajah tampan Ringgo, membuat sang empunya mengepalkan tangannya kuat menahan amarah yang membuncah.
"Jaga omongan Lo ya, sialan!" bentaknya.
Ringgo membuang puntung rokok yang masih menyala itu dengan sembarang, lalu menatap gadis yang ada di depannya dengan mata merah menyalang!
Brugh!
Ia mendorong tubuh mungil itu sampai membentur loker dengan keras, lalu mengunci kedua tangannya sampai membuat si empunya merintih kesakitan.
"BERANI LO NAMPAR GUA, HAH?!" Dengan jarak yang terlampau dekat, Ringgo membentak Gladis tepat di depan wajahnya yang ketakutan.
Tak hanya itu, Ringgo pun menjambak rambut panjang sang mantan dengan kuat sampai-sampai kulit kepalanya terasa akan lepas. Itu sangat perih.
"A-aw! S-sakit Ringgo, lepasin!" pintanya meringis.
Brugh!
Bak kesetanan pemuda itu tanpa belas kasih membenturkan kepala Gladis pada tembok hingga mengeluarkan darah. Ia menyeringai melihat mainannya memohon dengan air mata dan juga darah membasahi wajahnya.
"Lo pikir gua bego, hah?! Lo pikir gua gak tau kalo selama ini lo sering ngelayanin laki-laki hidung belang di luaran sana!" Gladis membelalakkan matanya, dia terkejut mendengar penuturan Ringgo, bagaimana bisa pemuda itu tahu rahasianya. "Sekarang lo hamil dan seenak jidat minta gua buat bertanggung jawab, padahal jelas-jelas gua gak pernah pake lo sampe sejauh itu!" lanjutnya.
Ia melepaskan kepalan tangannya pada rambut sang gadis lalu melepaskan ikat pinggangnya. Gladis yang tahu apa yang akan Ringgo lakukan langsung meringsut dan memeluk tungkai pemuda itu memohon pengampunan.
"R-Ringgo, maaf ... Maafin aku. Aku mohon, jangan lagi, aku cuma takut anak aku nanti gak bisa makan, a-aku takut kebutuhannya gak tercukupi, hiks," ucapnya penuh ketakutan. Padahal bukan ini rencana awalnya, ia hanya ingin menjebak Ringgo dan memintanya bertanggung jawab pada anak yang ada dalam perutnya, walaupun memang ini bukan anak pemuda itu, ia hanya takut tidak bisa menafkahi dirinya sendiri serta anaknya nanti.
Buagh!!
Ringgo menendang wanita itu agar menyingkir dari kakinya, lalu ia menatap Gladis yang tengah meringis kesakitan juga air mata yang sedari tadi tak kunjung berhenti.
Ia mengeluarkan sesuatu dalam dompetnya lalu melemparkan benda itu pada Gladis, "Pake buat anak lo, dan jangan pernah muncul lagi di depan gua!" setelahnya ia pergi meninggalkan wanita yang pernah ia cintai sendirian. Ia cintai sebagai mainan tentu saja.
Sebuah kartu debit, Ringgo memberinya benda itu dengan cuma-cuma. Senyuman tiba-tiba saja terbit pada wajahnya, ia dengan cepat mengambil benda itu dan bergegas pergi dari sana.
Pukul 01.00 dini hari Ringgo baru saja menginjakkan kakinya di rumah. Seperti biasa mansion yang luar biasa megah itu selalu sepi setiap harinya karena tidak ada seorang pun di sana kecuali dia. Ia berjalan menuju dapur, membuka lemari es dan mengambil sekaleng cola lalu meminumnya sekali teguk. Para pembantu di rumahnya sudah pulang 2 jam yang lalu, ia memang sengaja menyuruh para pekerja untuk pulang kecuali security untuk menjaga rumah.
Kedua orangtuanya sibuk bekerja mereka hampir tidak pernah punya waktu untuk menemaninya di rumah, sekalinya pulangpun hanya 3 jam lalu setelahnya kembali bekerja. Dengan langkah yang gontai, Ringgo menaiki anak tangga menuju kamarnya di lantai atas. Dia lelah, dan juga kesepian.
Pemuda itu melempar tas nya dengan sembarang lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri, setelah berurusan dengan Gladis ia langsung pergi menghampiri teman-temannya di tempat tongkrongan seperti biasa dan akan pulang setelah larut malam.
Setelah selesai mandi dan berpakaian ia langsung menutup tubuhnya dengan selimut. Pikirannya kembali pada kejadian tadi sore, ia bukan sengaja memberi Gladis kartu debitnya karena kasihan, dia tidak akan sebaik itu. Hanya saja, saat mendengar kalau dia takut kebutuhan anaknya tidak tercukupi hatinya langsung merasa pedih. Dia tahu bagaimana rasanya kekurangan, ini bukan perihal uang, hidupnya bahkan sangat bergelimang harta. Ia hanya takut anak itu tidak terpenuhi rasa kasih sayang dari orang tuanya. Karena terlalu sibuk mencari uang dan mengejar harta dunia, kedua orangtuanya sampai mengabaikan keberadaannya saat ini. Itu yang dia khawatirkan.
Waktu terus berjalan dan ini sudah hampir pagi tapi Ringgo belum juga tidur, padahal dia sudah sangat lelah tapi rasanya sulit sekali untuk terpejam. Ia beranjak dari kasur lalu berjalan menuju balkon, hembusan angin malam langsung menyentuh permukaan kulitnya, sangat dingin dan menusuk kedalam tulang tapi dia suka. Dia suka rasa yang seperti ini, sepi, tenang, dan juga menyedihkan.
Memegang pembatas balkon dan menundukkan kepalanya, "Kalo gua loncat dari sini nanti mati gak ya?" gumamnya diselingi kekehan.
Ia menghirup udara dalam-dalam lalu menghembusknnya dengan kasar. Rasanya sedikit lega setelah melakukan itu. Ringgo kembali ke dalam kamar mengambil pemantik harga ratusan juta itu juga sebungkus rokok yang menjadi candunya.
Mendudukkan bokong pada sebuah kursi di teras balkon, ia menikmati waktu menyedihkan nya dengan sebatang rokok yang sudah berkali-kali mencumbu bibirnya. Dadanya sudah sangat sesak, dia tahu ini efek dari rokok yang sering ia hisap tapi itu tak membuatnya berhenti, semakin sesak maka semakin banyak asap yang akan ia hisap. Katakan saja jika Ringgo saat ini memang gila, pemuda itu selalu mencari cara untuk menyiksa diri dan membiarkan dirinya mati dengan perlahan."Ma, Pa, Ringgo kangen," lirihnya dengan bening liquid yang tanpa disadari terjatuh dari kelopak matanya.
TBC
Hallo, terimakasih sudah berkunjung 👐
Jangan lupa klik bintang 🌟 di bawah, ya. Kalo ada kritik dan saran silahkan isi dikomentar 🥰See u next part 👋
KAMU SEDANG MEMBACA
RINGGO : The Young Master Is A Bad Boy
Teen Fiction~Revisi setelah tamat || Follow sebelum baca~ [ON GOING] Berkelahi, membolos, membully, itu sudah menjadi aktivitas Ringgo sehari-hari. Menjadi anak tunggal dari konglomerat membuatnya merasa jenuh dengan hidupnya yang bergelimang harta, ia butuh pe...