[1] Bertemu

118 24 2
                                    

Jika ada intan yang cacat, apakah masih ada yang sudi meminangnya, menjadikan sebagai batu mulia yang berharga? Gadis memesona yang tunanetra. Di sore hari yang sudah tak terik, berjalan santai dengan menggunakan white cane¹. Biasanya, dia selalu ditemani ke mana pun pergi. Entah apa yang saat ini dia pikirkan sehingga berani pergi sendirian. Siapa pun yang melihatnya, tidak akan percaya kalau dia gadis yang buta. Gadis itu berjalan di tepi taman kota yang tidak jauh dari rumah tinggalnya.

Di lain hala, tiga orang tengah berkejaran di trotoar yang lumayan sepi. Seorang pemuda berlari mengejar dua penjambret yang sebenarnya hampir tersusul. Akan tetapi, keberadaan sang gadis buta yang menghalangi arah mereka berlari, berhasil menjadi penghambat. Ketika sedang asyik berjalan, ada sesuatu yang terasa menghantam tongkat yang dipegangnya hingga terlepas dari tangan. Pemuda yang menjadi subjek pengejaran tak sengaja menendang sesuatu yang dibawa gadis itu.

Awalnya, sang pemuda hendak tak peduli, itu juga dikarenakan ketidaksengajaan. Namun, beberapa detik kemudian dia memutuskan berhenti. Setelah menghentikan larinya, pemuda itu memutar arah. Dia berjalan mendekati gadis yang tampak sedang meraba-raba angin.

"Maaf, tadi tidak sengaja. Saya sedang buru-buru. Anda tidak apa-apa, 'kan?" Suara sang pemuda terdengar.

Gadis itu merutuk, "Jelas-jelas aku kehilangan tongkat begini."

Mendengar penuturan sang gadis yang terdengar informal, sang pemuda pun mengubah kata ganti yang digunakan. "Aku sudah minta maaf tadi. Lagi pula gara-gara ini aku kehilangan jejak pencuri tadi." Pemuda itu memandangi gadis yang tampak seperti ombak dan permukaan telaga tenang di waktu bersamaan.

"Bisa tolong tunjukkan mana tongkatku?" Sang gadis mengulurkan tangannya.

"Tongkatmu?" Sang pemuda baru ingat ternyata yang dia sepak tadi adalah tongkat. Tongkat? Sang pemuda mengamati wajah sang gadis yang datar. Terlihat normal, tetapi jelas sekali menunjukkan tak ada tanda tatapan apa pun. Dia baru menyadari bahwa gadis di hadapannya itu buta.

"Mana?" Sang gadis mengulang permintaannya.

Sang pemuda lekas mengambil tongkat aluminium yang terlempar jauh akibat tendangannya tadi. Dia bahkan mencoba melupakan tasnya yang dicuri orang.

"Ini." Sang pemuda memberikan benda itu pada sang gadis.

"Terima kasih." Gadis itu melangkah menjauh dari hadapan sang pemuda. Mencoba untuk tidak begitu peduli.

"Mau ke mana?" Sang pemuda khawatir.

"Pulang." Sang gadis menjawab tak acuh.

"Bagaimana kalau aku mengantarmu?" Sang pemuda menawarkan diri.

"Tidak usah."

Sang gadis mempercepat langkah. Namun, sang pemuda tiba-tiba menarik lengan lawan bicara hingga langkahnya terhenti. Gadis itu terkejut dan spontan melepaskan diri dari pegangan tangan orang tak dikenalnya.

"Anda jangan sembarangan menyentuh orang asing, ya. Mau dilaporkan ke polisi atas tindakan pelecehan?!"

Sang pemuda terheran. "Kenapa niat baikku jadi salah begini? Aku menawarkan bantuan karena merasa bersalah."

Sebenarnya, ada rasa kasihan di lubuk hati sang pemuda. Kalau saja gadis itu memiliki penglihatan normal, dia tidak akan begitu khawatir.

"Aku sudah bilang tidak usah, 'kan? Atau jangan-jangan Anda kasihan denganku?" Gadis dengan pakaian sayak panjang itu mencoba maklum, dia memang kerap mengundang simpati orang lain. Sayangnya, dia sudah terbiasa hidup seperti itu. Dia pun melanjutkan langkahnya pergi, sedangkan sang pemuda hanya bisa memandangi dengan cemas.

"Semoga dia sampai rumah dengan selamat."

💎💎💎

Gadis buta yang telah sampai di tujuan, berhenti di halaman rumah karena suara seorang wanita dengan usia tiga windu lebih tua.

"Zinnia! Kamu dari mana saja? Mama mencarimu ke mana-mana tadi." Wanita yang berstatus sebagai mama dari gadis bernama Zinnia tersebut mendekat dan menarik lembut tangan anak gadisnya.

"Maaf, Ma. Zinnia ingin jalan-jalan sebentar. Kalau izin, nanti tak boleh. Ya, Zinnia pergi tak bilang-bilang akhirnya." Gadis itu merasa bersalah.

Sang mama menghela napas. "Kalau memang kamu sangat ingin jalan-jalan, mama temani. Mama antar." Wanita itu bernama Melati, mengelus lembut lengan putrinya yang tertutup kain.

"Zinnia selalu merepotkan selama ini. Zinnia ingin mandiri, Ma."

"Jangan dibahas lagi. Ayo masuk. Kamu belum mandi 'kan. Belum makan juga."

Melati hendak menuntun Zinnia berjalan, tetapi putrinya itu masih geming.

"Kenapa?" Melati bingung.

"Aku lelah merepotkan Mama."

Melati menggeleng. "Kamu tidak merepotkan siapa pun. Jangan pernah berpikir seperti itu. Kenapa pikiranmu jadi aneh?"

Keheningan yang kerap mengisi ruang percakapan mereka kentara. Percakapan pun berhenti, keduanya lekas menuju rumah.

💎💎💎

Seorang pemuda merenung di sofa dalam ruangan yang senyap. Dia adalah sosok yang sebelumnya bertemu dan cekcok ringan dengan Zinnia. Bukan menyesalkan tas dan barang yang hilang, apalagi gadis yang dijumpainya sore tadi, yang dia renungkan adalah langkah yang harus dia tempuh selama berada di bumi. Bumi yang terlalu luas. Bumi yang diisi makhluk-makhluk tak pernah puas. Gedung-gedung tinggi dibangun, hutan-hutan hijau diratakan. Berkilo-kilo meter persegi hutan tropis hilang. Buana mengalami pengurangan kualitas dan kuantitas sumber daya. Suhu meningkat, keragaman satwa dan tumbuhan menurun.

Lihatlah di atmosfer, berapa banyak kandungan karbondioksida? Cuaca ekstrem dan bencana alam kian meningkat berkali-kali lipat. Air laut berubah asam, Kutub Utara dan Antartika kehilangan sebagian esnya, mencair, bersama gletser di beberapa permukaan benua. Pemuda itu termangu membaca fenomena.

"Harus dari mana aku mencari batu-batu yang hilang itu. Petunjuk pun aku belum ada."

Berlian adalah nama samaran yang dia sandang untuk menjalankan tugasnya.

💎💎💎

Bersambung🤗

Catatan kaki:
¹Tongkat yang digunakan oleh penyandang disabilitas indra penglihatan sebagai alat bantu mobilitas 

LUMINESENSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang