Chapter 25 : A War of Silence

4.7K 402 13
                                        

Pagi itu menyambut dengan cahaya matahari yang menyusup perlahan lewat tirai tipis jendela apartment Joan. Aroma kopi dan roti panggang menyatu dalam kehangatan ruang makan kecil mereka. Ethan masih di sana, duduk di seberang Joan, mengenakan kaus sederhana milik pria yang baru saja menemukan kembali rasa damai setelah semalam penuh gejolak emosi dan keintiman yang tak terlupakan.

Joan menyuguhkan secangkir kopi hangat untuknya, lalu ikut duduk di kursi seberang. Tak ada kata yang terlontar beberapa saat lamanya—hanya keheningan yang ditemani suara nafas mereka dan dentingan halus sendok mengenai cangkir. Hingga akhirnya, Joan mengambil ponselnya dan memutar ulang video rekaman CCTV semalam. Suara Vincent yang serak, mabuk, dan tanpa filter kembali mengisi ruang itu.

Ethan mencondongkan tubuh, mendengarkan rekaman dengan rahang yang mengencang. Semakin lama ia mendengar, semakin terlihat api kemarahan membara dalam sorot matanya. Ia mengepalkan tangannya tanpa sadar saat Vincent menyebut nama Gabriel dan Margaret, mengakui semua kejahatannya dengan begitu dingin.

"Apa-apaan pria itu..." gumam Ethan, nadanya dalam dan penuh amarah. "Dia benar-benar... menjijikkan. Ini lebih dari sekadar sabotase reputasi. Ini penghancuran hidup orang lain."

Joan mengangguk pelan, wajahnya tenang namun penuh luka yang tersembunyi. "Gabriel mungkin terlihat sombong di luar sana. Tapi aku tahu dia punya prinsip, Ethan. Dia mungkin pernah kasar padaku, pernah tak percaya... tapi aku tahu, dia tak pantas dijadikan target seperti ini. Margaret juga... dia hanya korban."

Ethan memandang Joan dengan tatapan tajam, penuh pertimbangan. "Jadi... apa yang kamu rencanakan sekarang?"

Joan menarik napas panjang, lalu menyandarkan punggungnya di kursi. "Aku bisa saja mengirimkan video ini langsung ke media besar. Satu klik saja, dan skandal ini akan menghancurkan Vincent dalam semalam. Tapi aku juga tahu, dunia bisa sangat kejam... dan ini bisa menyeret Gabriel dan Margaret lagi. Skandal baru... akan menodai nama mereka dua kali lipat."

Ia kemudian menatap Ethan dengan dalam. "Jadi, aku ingin tanya padamu, Ethan. Haruskah kita kirim ini langsung ke tangan Gabriel dan Margaret? Biar mereka sendiri yang memutuskan ingin bagaimana... atau, kita sebarkan saja ke dunia, biar kebenaran terbuka dengan sendirinya?"

Ethan terdiam, menatap ponsel yang kini sunyi setelah rekaman berhenti. Satu tangan mengusap rahangnya yang mulai tumbuh kasar, pikirannya berputar cepat. Pilihan ini berat—dan mereka berdua tahu, apapun konsekuensinya, hidup semua orang yang terlibat tidak akan pernah sama lagi.

Udara di apartment itu kini terasa jauh lebih berat dari sebelumnya. Meskipun matahari pagi menyinari seluruh ruang, memberi kesan hangat dan tenang, ada sesuatu yang jauh lebih gelap menyelimuti dada Ethan—amarah yang perlahan tumbuh menjadi kebencian mendalam.

Ia duduk mematung di kursinya, pandangannya tajam menatap layar ponsel yang sudah mati. Suara Vincent tadi masih terngiang jelas di kepalanya, seperti racun yang menyusup ke dalam tulang sumsum. Kata-kata pengakuan itu, tawa kecil yang penuh keangkuhan, dan pengkhianatan yang tersimpan di balik wajah yang selama ini Ethan anggap sebagai 'kawan dalam bisnis'.

Giginya mengertak tanpa sadar, dan tinjunya mengepal di atas meja hingga buku-bukunya memutih. Dalam pikirannya, terbayang kembali wajah Joan—di saat paling hancurnya, saat skandal menjatuhkannya, saat semua media menjadikannya bahan tertawaan. Dan ternyata... semua itu bukan kecelakaan. Itu adalah rencana. Rencana dari seseorang yang pernah Ethan percayai.

"Brengsek..." bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri. "Aku benar-benar buta selama ini."

Joan, yang duduk di sebelahnya, mengamati perubahan raut wajah Ethan. Ia tahu, kebencian seperti itu bukan muncul begitu saja. Itu kebencian yang lahir dari luka—dari pengkhianatan.

BRUTAL SCANDALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang