Kenyataan Yang Terlupakan

2 0 0
                                    

“Cia, i love you!” Teriaknya ditengah kelas yang hening itu membuatku tersentak. Ruang kelas yang tadinya hening mendadak riuh dengan sorakan murid yang lain.

Wajahku mulai terasa hangat, “ih, apaan sih lu Ka. Bercandamu jelek.”  Ucapku setelah menenangkan degup jantung yang mulai tak karuan dengan wajah yang sepertinya memerah.

Namanya Raka, dia sahabatku. Kami mulai berteman sejak awal tahun pertama kami masuk ke sekola dan sekarang adalah tahun terakhir kami di sini.

“Cia, gue mau ke kantin lu mau nitip nggak?” tanya Raka disela waktu istirahat.

“Hmm... gue titip hati gue aja gimana? Jaga baik-baik ya.” Ucapku dengan nada serius yang dibuat-buat.

“Eeehh! bisa aja sih lu astaga,” Balas Raka sambil mengacak-acak rambutku. “ya udah, nanti gue beliin cokelat aja buat lu. Bye Cia.” kemudian berlalu.

Setelah hampir tiga tahun aku tidak menyangkal jika kami memang cukup dekat. Kami juga sering terlibat dalam kelompok tugas yang sama dan itu semakin membuatku terbiasa dengan kehadirannya.

Ponselku berbunyi tanda satu panggilan baru saja masuk dan benar saja, itu dari pacarku.

“Kamu nggak usah ikut-ikut acara seperti itu ngapain sih? Nggak guna banget.” Ucap orang di sebrang sana.

“Tapikan aku juga mau ikut camp sama temen-temen sebelum lulus.”

“Ya, nanti kan juga masih bisa. Kenapa sih nggak pernah nurut kalo dibilangin.”

“Nanti? Nanti itu kapan hah! Kenapa nggak sekarang aja selagi masih bisa. Pokoknya aku bakal tetep pergi. Bye!”  Aku mengakhiri panggilan, itu meski orang di sebrang sana masih saja menelepon tanpa henti.

Satu pesan baru saja masuk ke ponselku. Dari Raka.

“Cia, lu udah siap kan? Gue tunggu di depan ya.” Tulisnya. Membuatku lupa pada perdebatan yang baru saja terjadi.

Jalanan yang mulai lengang, juga matahari yang bergerak turun dalam perjalanan menuju tempat perkemahan. Entah kenapa aku memeluk Raka lebih erat dari biasanya.

Di tempat kemah aku sama sekali tidak bisa jauh dari Raka, rasanya aku begitu takut jika dia tiba-tiba saja menghilang dari pandanganku. Selama kegiatan di lapangan aku selalu memegangi lengan bajunya.

“Cia, sorry ya, gue cuman bisa ikut kegiatan sampe sini. Tapi gue bakal tetep ngasih kabar  ko and kalo ada apa-apa lu kabarin gue ya.” Ucap Raka saat kami sedang istirahat.

“Yaudah nggak apa-apa, hati-hati ya.” Ucapku berusaha menyamarkan rasa kecewa yang begitu besar.

Sisa acara hari  ini berjalan lancar dan akan dilanjutkan menjelang tengah malam nanti sampai dini hari dengan menyalakan api unggun. Menjelang dini hari kelasku yang menjadi panitia sangat sibuk mempersiapkan segala hal yang diperlukan.

Api unggun mulai dinyalakan. Kami semua berkumpul untuk sekadar menghangatkan tubuh di antara dinginnya hawa pagi ini. Sesekali para panitia memberikan sedikit hiburan untuk menghalau rasa bosan dan kantuk yang tak tertahan.

“Hey Cia, sendirian aja lu” Suara itu berhasil membuyarkan lamunanku.

“Apaan sih lu, rame-rame gini lu bilang sendirian”

“Nih gue bawain cokelat panas.” Ucap Raka sambil menyodorkan sebuah gelas berisi cairan berwarna coklat yang masih mengeluarkan asap tipis diatasnya.

“Makasih, gimana kerjaan lu?”

“Selesai sih bentar lagi, gue cuman mau ngecek keadaan lu doang. Siapa tau lu nangis gara-gara gue tinggal.” Ledek Raka dengan suara tawanya yang khas.

Haides Ruth Short Story #002Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang