LAMENT

57 0 1
                                    

Sebelum jauh matamu beranjak ke kalimat-kalimat berikutnya, ada baiknya kita sepakat bahwa menulis adalah salah satu bentuk berbicara. Setiap kata yang tersusun dari rangkaian huruf-huruf merupakan representasi pikiran atau perasaan dari seseorang yang sulit menggunakan mulutnya untuk bersuara.
-----------------------------------------------------------------Ini perihal manusia yang memilih aksara sebagai sistem pertahanan diri. Sebab mengeluarkan suara perlu banyak modal, membutuhkan energi, mengatur intonasi, dan mengontrol emosi. Setiap nada yang keluar dari mulutmu tak selamanya merdu didengar, beberapa menilainya sumbang, terlebih untuk mereka yang sejak awal memang tidak menyukaimu. Setidaknya dengan menulis, aku tak terlalu memikirkan respon dan reaksi, sebab terwakili atau tidak, tulisan itu sudah menyerupa jejak ; aku tak mungkin tersesat di dalamnya.

Introvert ! Kurang Gaul ! Anti Sosial ! Tukang Halu ! Melankolis ! Apatis ! Pasif !

Apalagi ? Biar kujahit dan kusemat satu per satu di pakaian bak lencana panglima, agar kalian cukup membacanya untuk memberiku sebuah cap. Enak bukan ? Sudah kukatakan, mulut kalian akan hemat suara, dan telingaku bisa terhindar lara. Menurutku hidup adalah sebuah pilihan yang bahkan ketika tak memilihpun termasuk sebuah pilihan. Aku tak memilih rahim untuk hidup, Rabb meniupkan ruh kepada rahim yang dipilihNya. Dan mereka, yang kusebut dengan orang tua, membuat sebuah pilihan untuk merawat dan membesarkanku sebagai anak. Proses mengetahui benar dan salah, merupakan awal dari seorang anak menentukan pilihan dengan embel-embel nilai baik dan buruk. Hari itu, dan sampai tulisan ini dimuat, sungguh aku tak pernah memilih untuk, lahir.

Jika kau pernah merasa delapan arah mata angin hanya sebagai penghias kompas, kau akan tahu rasanya tak kemana-mana, dan merasa semua yang berasal dari dirimu adalah salah. Entah darimana ini dimulai, aku yang sekarang adalah seseorang yang sebenarnya tak mau kupilih. Tapi bukankah begitu kehidupan ? Tak memlilihpun adalah sebuah pilihan. Aku tumbuh menjadi seseorang yang jauh dari rasa percaya diri, seseorang yang selalu merasa berada di garis paling belakang saat yang lain sudah menyentuh finish, seseorang yang selalu merasa tidak enak bahkan terhadap apa yang sudah menjadi hakku sendiri. Sekali lagi, entah darimana ini dimulai, tak memilihpun adalah sebuah pilihan.

Kepalaku acap kali menostalgia umur delapan, masa dimana harga senar layangan yang putus lebih mahal daripada harga diri. Meski tak tahu jatuh dimana, sekuat tenaga kukejar agar bisa kusambung lagi. Kala itu, geluduk dan petir tak membuatku takut menikmati hujan. Meski kemudian sakit, sudah kupastikan sembuhku di hujan berikutnya. Waktu berlalu begitu cepat, secepat ketidakpercayadirian muncul untuk absen batang hidung di tongkrongan. Aku sudah setara hantu ; tak mau terlihat dan tak ingin diketahui. Siapalah aku ini, sebatas manusia yang ngekost gratis di bumi dan menjalani peran sebagaimana yang sudah ditulis Gusti.

Pikiran selalu berenang di setiap renung, tentang seringnya gagal dalam misi meraih pencapaian, perihal ketidakmampuan menerima diri, dan kepusingan-pusingan lain yang membawaku ke sebuah pertanyaan "mengapa aku masih hidup ?". Aku selalu menantikan akan seperti apa tulisan ini di masa depan, apakah aku akan berterimakasih kepada diriku di hari ini ? Atau menertawakan ini semua sebagai bentuk ketidakmampuan seorang pecundang untuk berjibaku melawan arus kehidupan ?

Entah darimana ini dimulai, tak memilih pun adalah sebuah pilihan.

LAMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang