"Kau bilang aku hamil pada ibuku? Bagaimana bisa kau segila itu?"
Sakura meraung, melampiaskan di depan wajah suaminya saat dia berlari mengejar Sasuke sampai ke kamar. Ibunya pulang dengan hati berbunga, bersiap untuk pesta dan makan malam besar antar dua keluarga.
"Kenapa kau diam?"
"Kepalaku tiba-tiba sakit," ucap pria itu mengeluh seraya berbalik, mengurut bagian belakang kepala yang berdenyut. "Itu diucapkan secara refleks karena aku kehabisan ide. Orangtua kita berdua selalu bertanya hal yang sama terus-menerus. Kau tidak muak?"
Sakura ingin tertawa dan berakhir melempar bantal di wajah suaminya. "Kau yang sinting. Bagaimana caramu membereskan masalah ini, hah? Aku belum hamil."
"Berhentilah minum pil atau apa pun itu dari dokter. Kau harus bekerja sama denganku agar cepat mengandung." Sasuke meringis, duduk di sofa sembari menghela napas panjang.
"Dan kau yang menang?"
"Menang?"
"Jika aku hamil, aku kehilangan segalanya. Karier, masa depanku di Tokyo Airlines dan hanya fokus menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Sepenuhnya di rumah. Aku bisa mati bosan!" Sakura merajuk saat dia menghentakkan kakinya menuju kamar mandi. Tidak lupa membanting pintu malang tersebut hingga Sasuke mematung.
Karena saat Sasuke ingin menghampiri pintu itu, terdengar isakan lirih dari dalam. Sakura menangis di bawah pancuran. Sebelum dirinya menerobos masuk, suara air yang turun membuatnya lekas berhenti. Ia membiarkan istrinya di dalam, membersihkan diri sebelum mereka pergi turun dan bersiap pergi.
Kehamilan menjadi momok menakutkan bagi Sakura secara pribadi. Bukan karena perempuan itu membenci anak-anak, tidak sama sekali. Sakura akrab dengan dua keponakannya. Ia memanjakan mereka hingga kepala kakaknya sakit bukan main. Sakura terlalu loyal. Hanya saja membiarkan kehidupan bebasnya disetir karena anak membuatnya takut. Dia begitu mencintai pekerjaan.
Semula Sasuke menawarkan bisnis bagus yang menyerupai hobi istrinya, membuka toko souvenir atau buah tangan. Tetapi Sakura menolak dengan dalih kegiatannya masih menyenangkan. Dia belum menemukan kebosanan. Kemudian tahu ide gilanya tentang anak, kehamilan yang mau tak mau memaksa istrinya tetap di rumah. Sakura hanya diam walau dirinya pergi ke rumah sakit untuk berkonsultasi.
Bagian mana yang harus Sasuke lewatkan?
"Aku akan bicara pada Mama tentang kebohonganmu."
Sakura muncul setelah selesai membersihkan diri. Matanya yang sembab memandang suaminya lekat, terlihat malas dan marah.
"Kau yakin?"
"Bagian mana yang membuatku tidak yakin?" tanya Sakura sinis, melirik Sasuke yang masih membatu bak patung selamat datang. "Aku tidak hamil. Tidak ada bukti yang bisa kau berikan pada mereka selain lidah licinmu."
Sasuke hanya diam, menarik dirinya pergi dengan menghabiskan waktu ke kamar mandi selagi Sakura melamun, menarik laci pada meja rias dan menghela napas.
Cincin pernikahan masih tersimpan apik di sana. Tersembunyi. Sementara suaminya membiarkan cincin itu menggantung pada dirinya, Sakura memilih opsi lain yang lebih aman. Yaitu menyimpannya di rumah.
Biasanya saat akhir pekan atau liburan, dia akan memakai cincin tersebut sehari-hari. Pertemuan keluarga, berbelanja, menghabiskan waktu di luar atau di rumah. Lalu kembali melepasnya ketika kembali bekerja. Menjadi dirinya yang lajang dan bebas.
Apa arti pernikahan sesempit ini?
Keinginan Sasuke yang berkeinginan membawa hubungan mereka ke publik, tidak lagi menjadi rahasia di antara mereka berdua ke depan teman-temannya hanya membuat Sakura setres. Dia belum mau, tidak mau melakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Champagne Problems
FanfictionTujuan hidupnya adalah karier, masa depan cemerlang sesuai impiannya. Lima tahun dirinya berdiri sebagai seorang profesional di maskapai nomor satu, siapa pun tidak bisa menggeser posisinya. Namun sayang, seseorang mencoba menarik mimpi itu darinya...