"Ini baju gantimu dan Radina. Ponselmu ada di situ juga." Soraya, kakak iparnya, menyerahkan sebuah paperbag cokelat ukuran besar padanya. "Keluargamu diantar kerumahmu sama Andini."
Reya mengangguk dan tersenyum. "Thanks, kak."
Perempuan usia pertengahan tiga puluh itu menggeleng. "Jangan panggil aku 'kak'. Aku dan Radina cuma beda setahun. Dia nggak pernah manggil aku 'kak'. Panggil Soraya. Oke?"
Reya mengangguk lagi. "Sesuai permintaanmu, Soraya." Jawabnya sambil nyengir lebar. "How's Jessy?"
"Oh she's allright. Agak capek, tapi luar biasa bahagia, and you know why." Soraya mengedipkan mata. "Semua mimpinya sudah tercapai malam ini."
Reya tersenyum lebar. "Aku senang Jessy bahagia."
Soraya tersenyum, lalu memeluknya erat-erat. "Welcome to Haries', darling. Selamat datang. Selamat bergabung."
"Thank you." Reya balas memeluk kakak ipar barunya.
"Aku pergi dulu. Radina datang sebentar lagi."
"Ok."
Sepeninggal Soraya Danindra, Reya membuka pintu kamar hotel yang disewa untuk kamar pengantin. Aroma mawar langsung menyambut indera penciumannya. Kamar luas itu didesain dengan gaya istana Inggris kuno. Rasa sejuk dan dingin sudah menyambutnya sejak membuka pintu. Sepanjang lorong pendek yang harus dia lewati untuk mencapai ruang utama, Reya mendapati lukisan-lukisan perempuan dan pria inggris. Di ruang utama terdapat springbed kingsize yang dihiasi bunga-bunga berbentuk hati. Reya tersenyum kecil. Kamar tidur itu dilengkapi meja makan yang antik dan pernak-pernik dari Inggris abad 17. Reya tahu hotel ini. Dia juga tahu berapa uang yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan satu malam kamar VIP ini. But this is Radina, katanya dalam hati. Lucunya, Reya baru tahu siapa Radina sesungguhnya dua minggu menjelang pernikahan.
Reya menghempaskan dirinya di sebuah sofa panjang yang menghadap ke jendela besar. Reya berbaring sambil menutup matanya. Angin malam menampar-nampar wajahnya dan mengibarkaan gaun putih sederhananya. Hari ini terasa seperti mimpi. Perempuan mana yang tidak memimpikan hari ini? Berdiri di atas panggung dengan gaun pengantin putih, dengan make up dan rias rambut yang sederhana, mendengarkan dan mengucapkan janji suci dengan pasangan, semuanya masih terasa halusinasi. Reya mencubit dirinya sendiri, meyakinkan dirinya bahwa dia tidak sedang tidur di kamarnya saat bangun nanti.
Dalam pejam matanya, Reya tersenyum lega. Setelah hari ini, hidupnya akan tenang. Saudara-saudaranya, terutama budhe-budhenya, tidak akan menyanyikan lagu 'kapan nikah' lagi. Tidak ada yang mendesaknya dengan mengingatkannya bahwa usianya tidak muda lagi. Dan Herdito, pria itu akan tahu bahwa dirinya hanya masa lalu yang mudah dilupakan. Bahwa dia bukan pria satu-satunya yang menginginkannya menjadi pasangan hidup. Herdito harus tahu itu. Reya tersenyum lagi. Kini Reya merasa hidupnya sudah sempurna.
Reya sudah nyaris lelap saat terdengar alunan nada dering dari ponselnya. Reya mengerjapkan mata sebentar, sebelum meraih paperbag pemberian Soraya, dan mencari ponselnya di sana. Matanya terbelalak ketika menemukan caller id di layar ponselnya. Kantuknya segera menghilang.
Herdito is calling...
Reya hanya menatap ponsel yang sedang mendengking-dengking itu, hingga akhirnya panggilan berubah menjadi missed call. Namun lagi-lagi Reya terkejut melihat notification yang terpampang di layar ponselnya. Ada 17 panggilan tak terjawab yang semuanya berasal dari Herdito. Selain itu juga ada beberapa pesan yang berasal dari Herdito. Belum sempat Reya membuka pesan pertama, ponselnya kembali melengkingkan nama Herdito. Reya menimbang sejenak, lalu menghela napas panjang, dan menjawab panggilan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER WEDDING - TERBIT
ChickLit[SEBAGIAN BESAR ISI CERITA INI TELAH DIHAPUS. Mohon maaf bagi yang belum sempat baca. Silakan membaca cerita-ceritaku yang lain saja ya. Thanks] Pernikahan itu berjalan hikmat. Warna putih yang mendominasi acara menyiratkan sebuah acara sakral yang...