Siapa Sasa

9 1 2
                                    

Terik siang dari sang mentari tidak menghalangi jalan para mahasiswa untuk mengistirahatkan diri di kantin kampus. Beberapa ada yang bercengkrama, ada pula yang mengerjakan tugas, ada pula yang sedang meredakan emosinya, seperti salah satu gadis yang sedang duduk di sayap kanan kantin.

"Kenapa? Revisi lagi, ya?" tanya Kara, sembari meminum jus jambunya.

Orang yang ditanyai hanya diam. Lalu tiba-tiba berdiri dan mengangkat tangan ke atas dan mengacak rambutnya yang sudah kacau balau. Gadis ini tidak peduli lagi dengan penampilan, bahkan jika ia menjadi perhatian seluruh mahasiswa yang ada di tempat ini. lembar kertas penuh coretan itu saat ini menjadi fokusnya, lebih tepatnya fokus dari segala amarahnya yang memuncak. "ARGH!" teriaknya tertahan.

"Anjir, Sasa! Jangan gila dulu! Ini tempat umum!" pekik Kara. Dengan cepat, gadis itu segera membenarkan posisi temannya yang menyerupai tokoh marvel saat menerima palu.

Sasa—gadis yang baru saja berteriak—adalah teman masa kecil Kara. Keduanya berteman sejak mereka lahir hingga menginjak umur dewasa. Segala apapun tentang Sasa, Kara sudah hapal di luar kepala. Seperti saat ini, Kara tahu, jika Sasa sedang mengalami tekanan yang bukan main.

Kara juga tahu, dimasa-masa akhir seperti ini memang sulit, bisa dikatakan mereka sedang berada dimana puncak dari kesuraman sebagai seorang mahasiswa. Memang kuliah itu lebih santai dari sekolah menengah, tapi juga harus lebih mandiri. Terutama untuk membuat tugas akhir yang tak pernah mereka lakukan sebelumnya. Membutukan riset yang mendalam, bahkan jika serius bisa tidak tidur dua hari dua malam hanya untuk baca jurnal dan mencari referensi. Belum lagi jika mereka mendapatkan seorang dosen pembimbing yang cukup killer, sangat patuh dengan protokol, tapi bukan protokol kesehatan hanya petunjuk cara pembuatan tugas akhir yang benar.

Sasa yang menyadari dengan kode yang diberi Kara pun segera kembali duduk. "Bayangin, Kar! Aku harus revisi lagi! Revisi, revisi, revisi, DO (drop out) aku jadi mahasiswi!" keluh Sasa dengan nada frustrasi.

Kara menatap temannya dengan pandangan iba. "Sabar, sabar. Namanya juga pak Isac. Kalau nggak bikin isac tangis, ya nggak bakalan sesuai sama namanya, nanti." Kara mencoba untuk menenangkan Sasa, bahkan ia yang biasanya tidak bisa melucu pun mencoba untuk sedikit melucu.

"YA TAPI—"

"Jangan teriak," potong Kara, cepat.

"Ya tapi," ucap Sasa dengan suara pelan. "Nggak gini juga bikin nangisnya, Kar. Coba hitung, berapa kali aku revisi? Ada mungkin kayanya seribu kali." Sasa yang selalu berlebihan dan menggebu-gebu.

Kara mengembuskan napasnya, "Jangan lebay, Sa. Kamu baru revisi dua puluh kali," balasnya, santai.

Sasa menyipitkan matanya. Menatap Kara dengan pandangan sinis tak terima. "Menurutmu, angka dua puluh itu sedikit?!" pekik Sasa. Ia sangat kesal saat menyadari Kara yang seharusnya lebih mengerti dirinya malah tidak memahami segala kesusahan yang ia alami saat ini.

"Kalau cuman dua puluh, itu masih standart, Sa," jawab Kara dengan wajah lempeng.

Standart dari Hongkong!

"Nggak tau deh. Lelah aku. Apa aku nggak usah lanjut kuliah aja ya, Kar? Mending ngapain ya kalau aku nggak belajar?" tanya Sasa, random. Untuk kerandoman Sasa yang seperti ini Kara tidak terkejut lagi. Sasa memang super duper tidak jelas, tapi ajaib. Tidak ada yang tahan dengan segala keluh kesah yang terkadang nggak guna menurut orang lain, tapi Kara bisa dengan sabar menghadapinya.

Kara ikut berpikir. "Kalau kataku, mendingan kamu jualan aja," usul Kara. Ia sudah paham dengan arah perkataan Sasa yang seperti itu. Sasa bukan anak yang lemah, dia hanya stress oleh keadaan. Perkataan yang dia lontarkan, hanya untuk penghibur akhir yang bisa dia lakukan sekarang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 10, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NirwanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang