Prolog

111 12 2
                                    

Ia mengarahkan senjata apinya padaku, menatap jijik pada diriku yang berlumur darah. Warna merah tua ini terus mengalir ke tempat yang lebih rendah, menyisakan bau amis yang sangat parah.

Seberapa keras pun kau menerka, kau tetap tidak akan bisa melihat wajahku. Cairan ini begitu pekat, bekasnya tak akan sepenuhnya hilang kecuali kau mencucinya berulang kali sampai tanganmu sakit.

Lampu temaram taman kota tetap bersinar tanpa terpengaruh apapun di sekitarnya. Tak ada satupun hal yang berubah sejak pertama kali aku menapakkan kakiku disini.

Sekumpulan kucing hitam dan anjing putih masih berkeliaran mencari makan, kedai soba keluarga Miyashita masih di buka, dan kasir minimarket masih menggerutukan sikap beberapa pelanggan yang aneh.

"Kenapa ya..."

Suaraku gemetar menahan tangis, mataku tak sanggup menatap orang ini. Aku selalu berusaha menahan perasaanku agar tetap netral, namun emosi dan rasa kesalku akhirnya mengambil alih.

"Kenapa..."

Dari sela-sela pandanganku, aku bisa melihat ujung bibirnya terangkat. Senyum itu membuatku ingin menggertak. Kepalaku menegang serasa ingin meledak.

Serasa melihat ke arah kaca, transparan akan hal berbeda di baliknya, namun samar-samar masih memantulkan bayangan yang sama persis.

Pandanganku memburam tatkala air mata mulai membuncah keluar dan jatuh ke tanah. Membawa isakkan pilu yang terdengar lemah. Nyanyian seorang anak terdengar bergema disertai sinar bulan yang menyinari indahnya malam.

"Bodoh."

Semua perasaanku hilang ketika ia membuka suara. Kekhasan cara bicaranya membuat hatiku tenang. Aku tak bisa membenci orang ini seberapa keraspun aku mencoba.

Mata kami bertatapan, bohong jika aku tak merasakan keindahan sang pemilik netra.

Semakin kujauhi, semakin sering kupikirkan. Kebetulan terus terjadi tanpa menunjukkan belas kasihan. Putusan takdir kian menjadi tanpa bisa terelakkan.

"Akan ku buatkan kau tempat di house of memory."

"Kejadian buruk pun patut di kenang."

Ia mendekat.

Mendekatkan ujung senjata apinya ke kepalaku.

Nafasku bergetar hebat.

Aku menunduk kebawah untuk sesaat lalu segera menatapnya lagi, mencoba menghadapi kenyataan yang kini ku masuki dampak dari segala pilihanku selama ini.

"Terimakasih untuk kenangannya."

Jawabku sembari tersenyum.

Ia mulai menempatkan ujung jarinya di pelatuk. Bersiap mengakhiri suatu awal, atau memulai suatu akhir. Yang manapun, aku takut akan hal itu.

Beberapa saat berlalu tanpa ada satupun kata-kata atau gerakan dari kami. Masih bertatap satu sama lain, masih hening tanpa sedikitpun gangguan.

Tap!

Ia terkejut ketika aku tiba-tiba memegang tangannya yang tengah memegang senjata api. Air mataku kali ini berhenti lebih cepat dari biasanya, aku bisa melihat pemandangan di sekitar kami dengan jelas.

Jangan salah membaca tandanya. Kata-kata sejenis itu terngiang di kepalaku berkali-kali. Semua kenangan yang tiba-tiba terpanggil membuat tanganku dan tangannya bergetar.

"Kau tidak salah."

Nyataku pelan. Aku mulai memejamkan mata. Mengingat semua kenangan yang kupunya untuk terakhir kalinya.

Reverse Gray OP - Sleeping Instinct

☯︎
12-05-2022
22.13 WIB

Reverse Gray - BNHA × OCsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang