03🌊; Sama-sama tidak direstui semesta

143K 10.7K 2.8K
                                    

Kalau cuaca mendung dan sedang di guyur hujan seperti sekarang, biasanya Windu akan sibuk di dapur bersama Simbah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalau cuaca mendung dan sedang di guyur hujan seperti sekarang, biasanya Windu akan sibuk di dapur bersama Simbah. Menemani laki-laki paruh baya itu merebus jagung, menyiapkan mendoan hangat, dan lain sebagainya. Tapi sekarang, akibat ulah nya sendiri yang mengajak Dipa taruhan tentang hujan akan turun atau tidak, Windu ternyata lagi dan lagi harus kalah.

Dengan malas-malasan Windu memijiti bahu dan bagian tubuh mana pun yang Dipa perintahkan tanpa boleh mengeluh dan menyumpahi, sebab jika itu terjadi, hukuman nya bisa ditambah berkali-kali lipat. Tapi Windu tetap lah Windu, si bungsu yang suka sekali mencari berbagai cara agar lepas dari hukuman. Contohnya seperti sekarang, ketika Simbah meneriaki nama nya karena dari sini Windu memberikan ekspresi memelas pada Simbah yang sedang berjalan menuju ke arah dapur.

Simbah yang tidak tahu apa-apa hanya bisa mengikuti permainan yang Windu berikan, alhasil hanya dengan begitu saja Windu lolos dari hukuman yang seharusnya ia jalankan beberapa menit lagi.

“Tuh, Mas, aku di panggil Simbah.”

Dipa mencibir mendengar itu, berbeda dengan Esa yang justru sedang mati-matian menahan tawa bersama Apta melihat bagaimana tadi ekspresi memelas yang Windu berikan pada Simbah.

“Lebih baik bantu mas aja sini, Di.” Apta mengayunkan tangan nya, memberi perintah pada Dipa agar mendekat dan membantunya yang sedikit kelelahan setelah sekian lama menghitung dan mencatat apa saja kekurangan di warung yang harus ia beli besok pagi bersama Nadi.

Dipa memicingkan matanya, “Bantu apa?”

“Pijitin.”

Dipa menghembuskan napas panjang, walaupun bergerak dengan malas-malasan, tapi akhirnya ia tidak bisa menolak perintah Apta.

“Memang Mas lagi ngapain, sih?” mata Dipa di sipitkan dua-duanya, menilik apa saja yang sedang Apta tulis di lembaran kertas kosong yang seperti nya itu adalah buku Bahasa Indonesia milik Windu.

“Ngawur! Itu buku sekolah Windu, Mas!”

“Pinjam dulu, nanti Mas ganti yang baru.”

Mendengar kegaduhan itu, Windu yang semula sedang disibukan dengan mencuci singkong untuk di rebus Mas Nadi, perlahan matanya memicing, tanda kalau ia mengetahui ada sesuatu yang tidak beres.

Sembari melangkah ke arah ruang tamu, Windu berkacak pinggang di ambang pintu dapur. Melihat bagaimana tidak tahu malu nya Apta mencoret-coret buku Bahasa Indonesia miliknya, membuat laki-laki itu hanya bisa menghembuskan napas pasrah kalau saja ia tidak ingat jika pelaku yang mencoret-coret buku Bahasa Indonesia nya itu adalah Mas nya sendiri.

Jelas mendapati Windu berdiri dan terlihat begitu nelangsa membuat Apta tertawa renyah dari arah ruang tamu. Alih-alih meminta maaf, Apta justru malah merangkul bahu Esa yang duduk tepat disampingnya.

“Nanti buku nya diganti yang baru sama Esa.” katanya, yang langsung mendapatkan pukulan di pahanya oleh Esa.

“Enak saja!” Esa mendelik, “Aku nggak ikutan, Mas berani berbuat berarti harus berani bertanggung jawab juga dong.”

Laut pasang, 1994 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang