Part 0

424 13 5
                                    

Aku melihat Ibu tersenyum bersama pria itu. Bersama Om Adit. Mereka saling memakai cincin setelah mengucapkan ijab Kabul. Mereka menikah. Dan di hadiri beberapa kerabat saja, dan begitu juga diriku. Yang duduk di belakang penghulu.

Aku tidak tau, apakah aku harus tersenyum bahagia ataupun menangis bersedih. Pikiranku tidak bisa memberikan respon apapun. Jadi, disini. Aku menatap Mama dan Om Adit dengan wajah yang datar. Sangat datar malah.

Hampir semua orang beranjak dari tempat duduk mereka. Menyalami Mama dan Om Adit serta mengucapkan "Selamat atas pernikahan kalian."

Mama masih dengan senyum yang sama. Sedangkan Om Adit terus menggenggam tangan Mama erat. Apakah mereka sedang berbahagia? Atau mereka hanya berpura-pura disana?

Aku berdiri, lalu mendekati Mama. Menyalaminya. Aku tidak langsung melihat Mama, takut. Tapi entah apa yang aku takutkan. Dan setelah mencium tangan Mama, beliau langsung memeluk tubuhku. Sangat erat. Aku dapat merasakan tekanan jari-jarinya.

Aku hanya diam, tidak mengucapkan sepatah katapun. Aku membalas pelukkan Mama sebagai balasan atau mungkin ucapan "Selamat berbahagia" lewat bahasa tubuh.

Mamapun melonggarkan pelukkannya. Aku dapat melihat genangan air tertahan di kelopak bawah matanya. Dan beberapa detik kemudian, air genangan itupun akhirnya turun. Membasahi wajah Mama yang cantik dengan dandanan.

Aku melihat sebuah tangan mendarat dengan perlahan di bahu kanan Mama. Tangan besar dan terlihat lembut. Yah, itu tangan Om Adit. Om Adit memeluk Mama dengan satu tangan. Memberikan ketenangan, mungkin. Karna Om Adit terus mengatakan, "Sudah jangan menangis." dengan sangat lembut seperti berbisik.

Aku melihat mereka berdua dalam diam. Aku tidak tau harus berbicara apa. Aku tidak tau harus bagaimana lebih tepatnya.

***

Aku terjaga dari tidurku yang mungkin agak panjang. Lelahkah tubuhku ini? Mungkin.

Kemarin Om Adit membawa Mama dan aku untuk berjalan-jalan di sekitar pantai di daerahku ini. Mama dan Om Adit terlihat senang, karna mereka terus tersenyum sambil berlari-lari di bibir pantai. Sedangkan aku hanya duduk agak jauh dari mereka, sambil terus memperhatikan dua sejoli itu.

Aku sempat di ajak Om Adit untuk bermain bersama, tapi aku menolaknya. Terlalu capek. Dan setelah itu Om Adit duduk di sampingku sambil mengusap rambutku lembut. Entah kenapa tangan pria itu sangat terasa hangat. Sedangkan Mama pergi membelikan cemilan untuk kami.

Aku melihat jam weker di atas nakas samping kasur ku. Jam 9 pagi. Yah, aku memang tidur sangat lama malam tadi.

Aku beranjak dari kasurku lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhku. Aku keluar sekitar 30 menit kemudian. Lalu memakai pakaianku yang berada di dalam lemari.

Aku keluar dari kamar, dan mendapati Om Adit sedang memasak di dapur. Kamarku langsung berhubungan dengan dapur, karna itu aku bisa melihat siapa saja yang berada di dapur.

Aku mendekati beliau, lebih tepatnya menuju kulkas. Aku mengambil botol air dingin dan hendak menuangkannya ke gelas, namun gerakan itu terpaksa terhenti karna sebuah tangan besar mencegahku. Aku melihat si empunya tangan. Om Adit.

"Jangan minum air dingin di pagi hari. Apalagi kamu baru bangun. Ini Om udah buatkan air madu hangat untuk kamu." Ujar Om Adit sambil menyunggingkan senyumnya.

Aku hanya menurut, meletakkan kembali botol air dingin ke dalam kulkas. Lalu mengambil air madu hangat yang Om Adit tunjukkan. Aku duduk di meja makan yang menghadap ke dapur. Meminum perlahan air madu hangat buatan Om Adit.

Selama aku hidup, aku belum pernah mencicipi ini. Rasanya manis dan juga hangat. Perutku seakan mengeluarkan rasa lega karna di berikan cairan hangat. Aku melenguh pelan, nikmat sekali air madu hangat ini.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 05, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Aku Memanggilmu AyahWhere stories live. Discover now