Jadi bintang lapangan itu impian gue. Maksudnya, jadi atlet basket berprestasi buat sekolah gue.
Kenapa?
Karena basket adalah alasan gue untuk tetap hidup.
Karena basket juga, gue bertahan di sekolah elit ini.
Bola basket melambung di kolong langit yang tampak kebiruan. Bola yang dilempar kuat-kuat oleh sepasang tangan seorang gadis di tengah lapangan. Bersama timnya, ia masih menanti kehendak bola dan arah angin yang menentukan kemenangannya sore ini. Entah itu masuk ring, atau memantul di luar.
Bola berputar di bibir ring membuat pola detak jantung tim basket putri SMA Azrya makin melancip. Beberapa detik kemudian, bola basket menggetarkan ring basket. Sontak, semua penonton beratribut Azrya langsung bersorak menyambut kemenangan tim basket putri kebanggaan mereka.
Gue seneng, perjuangan gue dan tim basket putri berpengaruh banyak. Gue seneng liat banyak orang ikut seneng sama kemenangan kita. Gue juga seneng, karena gue ternyata begitu berguna.
***
"Sil, selamat, ya! Gue ikut seneng!"
Gadis berambut panjang itu memeluk gue. Selalu dia yang mengucapkan selamat pada gue apapun yang gue raih. Sahabat gue yang baru gue kenal beberapa bulan yang lalu. Murid pindahan dari Cadia.
"Thanks, Flo!" tanpa ragu, gue memeluk Floryn. Tubuh dia memang mungil. Makannya, dia hampir tenggelam saat dipeluk gue.
"Nggak sia-sia, kan, Pak Hylos rekrut coach baru buat kalian?" kata Floryn ketika kami meninggalkan loker untuk pulang ke rumah masing-masing.
"Iya, sih. Meskipun coach-nya lebih galak dan disiplin dari sebelumnya, cuma cara dia ngedidik kita nggak main-main. At least, Azrya Highschool balik juara setelah satu dekade puasa gelar di basket putri."
"Berarti bukan cuma coach-nya yang hebat. Lo juga berpengaruh!" sahut Floryn dengan matanya yang berbinar.
Dari ratusan siswa Azrya, cuma binar mata Floryn yang tampak begitu tulus. Dia ikut bangga atas pencapaian gue. Hal yang belum pernah gue dapatkan dari orang lain selain dia. Dan dialah orang pertama yang memberikan ketulusan itu untuk pertama kalinya setelah beberapa tahun.
Gue cuma menyebutkan itu karena gue belum siap berselancar ke waktu yang lalu di mana gue kehilangan segalanya.
Arus siswa yang keluar gerbang mulai sepi. Sepertinya mereka langsung pulang setelah menyaksikan pertandingan tadi. Hanya ada beberapa orang yang masih betah di dalam. Entah itu hanya membuat perkumpulan kecil atau melanjutkan aktivitas eskul mereka.
"Sil, gue anter balik, ya!" tawar Floryn ketika mobil sedan yang dibawa sopirnya berhenti tepat di depan gerbang.
"Lo duluan aja. Gue masih nunggu Beatrix," jawab gue.
"Apa dia mau ngajakin balik bareng?" tanya Floryn. Gue tahu, dia khawatir sama keadaan gue.
"Nggak tau juga. Cuma, nanti bokap-nyokapnya nanyain. Kenapa bisa gue balik duluan."
"Ya udah. Kalo ada apa-apa, kabarin gue aja, ya!" kata Floryn. Ia melambai sebelum masuk ke mobilnya.
Gue balik masuk untuk menunggu Beatrix. Beberapa kali gue coba hubungin dia, tapi belum juga ada jawaban. Gue putusin buat nyamperin dia ke kelasnya aja.
***
Kelas sepuluh memang diletakkan di gedung belakang. Di koridor gedung satu lantai yang berdampingan langsung dengan lapangan futsal dan voli. Di lorong itu sudah banyak kelas yang terkunci. Kecuali satu kelas yang masih tampak ramai dengan celotehan dan candaan beberapa siswi di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hidden Pearl
Teen FictionLo tau apa yang lebih berharga dari apapun? Diri lo sendiri! Dalam keadaan apapun, dalam perkara apapun, Selama lo menghargai dan mencintai diri sendiri, lo tetap berharga. Jangan biarkan kehebatan lo tertutup suatu portal yang cuma bisa membatasi d...