Bab 30

1.6K 302 37
                                    

Dara keluar dari cafe dengan wajah panik, karena dia mendapat telepon dari sang ibu jika anaknya tidak bisa dia  jemput. Toko bunganya sedang ramai, dan dia memohon maaf untuk tidak bisa menjemput sang cucu. Karena ibunya berpikir jika Dara lah yang menjemput Dhafa mengingat waktu sekarang yang sudah begitu sore, karena tidak mungkin jika anaknya masih berada di sekolah.

"Dara! Kamu mau pergi ke mana?" Seru Rio teman Dara di cafe.

"Sekolah." Balas Dara sambil menyetop taksi di depannya.

Rio segera menghentikan aksinya membuat Dara memandang Rio marah.

"Apa sih mau kamu? Jangan bercanda  yah Rio, aku mau cari anakku!"

Rio yang mendengar perkataan Dara jelas kaget, tidak percaya jika Dara telah memiliki seorang anak.

"Oke, oke. Aku akan bantu kamu cari anak kamu, oke?"

Rio segera menarik tangan Dara untuk mengikutinya. Dara menurut, karena Rio memiliki motor. Dan itu cukup membantunya, dia kemudian memberitahu alamat sekolah Dhafa.

Di dalam perjalanan isi kepala Dara penuh dengan pikiran negatif, bagaimana jika anaknya diculik? Dia tidak membayangannya apalagi jika dicelakai. Seburuk-buruknya dia dulu menelantarkan Dhafa, tapi dia tidak pernah sekalipun berpikiran untuk mencelakai Dhafa. Mau bagaimana pun dia ibunya, dia yang melahirkan Dhafa. Maka wajar saja rasanya jika dia panik, dan tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak di ingikan pada anaknya itu.

Dara dan Rio telah sampai di sekolah sang anak, segera saja Dara langsung menanyai keberadaan anaknya pada guru-guru yang berada di sana. Namun nihil, tidak ada yang mengetahui keberadaan Dhafa dan jelas saja itu membuat Dara semakin panik. Dara yang kalut melupakan Rio yang sedari tadi berada disampingnya, dia mulai mencari kesekitaran sekolah berharap sang anak ditemukan. Dan Rio jelas mengikutinya kemana wanita itu melangkah, takut-takut jika Dara pingsan akibat kelelahan.

"Ra, udah yuk. Kita cari pake mobil, kalau kita jalan nanti kamu kecapean. Biar cepet juga ketemunya," usul Rio yang membuat Dara menghentikan aksi jalannya.

"Makasih yah, Rio kamu udah mau bantuin aku cari Dhafa."

Rio mengangguk sambil tersenyum menenangkan. Mereka berdua lantas berjalan menuju mobil yang terparkir di depan sekolah Dhafa.

Sudah berjam-jam mereka mencari Dhafa namun belum ditemukan juga, Dara sudah tidak tahu lagi harus mencari kemana. Pikirannya begitu kalut, dia benar-benar ketakutan. Sampai kemudian ponnselnya berdering pertanda telepon masuk, Dara yang melihat jika sang mama yang meneleponnya segera menjawabnya. Dia menjelaskan semuanya, membuat sang mama yang berada di sana menangis dan menyalahkan dirinya sendiri.

"Rio, kita harus lapor polisi." Dara berujar tiba-tiba.

"Kita tunggu besok, Ra. Kalau 24 jam Dhafa belum ketemu kita baru bisa lapor."

"Tapi, Ri---"

"Aku tahu, Ra. Kamu pasti cemas, tapi ketentuannya memang seperti itu. Aku janji bakalan bantu kamu cari anak kamu, kamu tenang yah. Sekarang lebih baik kita makan dulu, kamu belum makan dari tadi siang kan?"

"Aku nggak lapar," balasnya yang memandang keluar jendela.

"Wajar kok, aku ngerti. Tapi kan kita mesti cari Dhafa, nggak lucu dong kalau kamu cari Dhafa tapi malah sakit, iya kan?"

Ucapan Rio yang benar adanya membuat Dara menurut. Dia juga tidak mau badannya tumbang saat Dhafa belum ditemukan, jadi kali ini saja dia menyetujui perkataan Rio.

Sesuai dengan yang Rio ucapkan, mereka berdua mampir ke sebuah restoran cepat saji. Dara hanya diam membiarkan Rio yang memesan makanan untuk mereka berdua. Dirinya benar-benar tidak fokus untuk melakukan apa-apa, yang dipikirannya hanya Dhafa dan Dhafa.

"Makan dulu, Ra."

Rio menaruh nampan di hadapan Dara yang berisi satu buah burger, kentang goreng dan cola. Dara belum juga menyentuh makannya, namun matanya berembun memikirkan kembali anaknya.

"Dhafa udah makan belum yah, kalau Dhafa belum makan gimana yah Rio." Lirihnya dengan air mata yang perlahan mulai menuruni wajah tirusnya.

Pria yang berbeda dua tahun dari Dara itu menghentikan aksi mengunyahnya. Dia menaruh burgernya di atas piring, kemudian mengelus punggung Dara. Rio membiarkan Dara menangis, sudah sewajarnya wanita di sampingnya itu menangis. Karena sedari siang ketika mereka mulai mencari, tak sedikitpun Dara meneteskan air matanya. Wanita di sampingnya itu begitu kuat, namun sekarang pertahanan Dara runtuh. Jelas saja, anak satu-satunya menghilang sedari tadi.

"Sssttt udah yah, Ra. Kamu harus berpikir positif, Dhafa pasti baik-baik aja. Dia pasti udah makan juga, dia pasti tinggal sama orang baik."

Dara mencoba mengikuti perkataan Rio untuk berpikir positif, dia mulai memakan makanannya. Rio yang melihat itu tersenyum, dan melepaskan usapannya pada punggung Dara.

Setelah mereka menyelesaikan makanannya, Rio menuruti permintaan Dara untuk kembali mencari Dhafa. Meskipun waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam, Rio tetap menuruti kemauan Dara. Hingga pukul dua dini hari, Rio memutuskan untuk mengantar Dara pulang.

"Istirahat yah, Ra. Kamu tidur, besok aku bantu lagi cari Dhafa."

"Makasih, Rio. Maaf aku udah nyusahin kamu seharian ini,"

Rio mengelus puncak kepala Dara dengan sayang. "Sama-sama, aku nggak merasa direpotin kok."

"Sekali lagi makasih yah,"

Rio mengangguk, Dara lalu berbalik membuka pagar rumahnya lalu masuk ke dalam. Melihat Dara yang sudah masuk ke dalam rumahnya, Rio kembali  menuju mobilnya.

Di lain tempat, Rama tidak bisa tertidur padahal sang anak sudah pulas tidur disampingnya. Dia berpikir macam-macam mengenai Dara. Apa wanita itu tidak mencari anaknya? Apa Dara benar-benar mencintai Dhafa. Tapi mengapa Dara tidak mencari anaknya? Tidak mungkin jika Dara tidak mencemaskannya bukan? Jika memang seperti itu, dia akan mengambil alih Dhafa. Mereka tidak menikah, mereka juga tidak memiliki hak asuh secara hukum. Jadi jika dia mengambil Dhafa tidak akan menjadi masalah, iya tidak akan menjadi masalah secara huku. Tapi akan menjadi masalah bila dia berurusan dengan Dara. Memikirkan itu semua membuat Rama kembali sakit kepala.

Pria tampan itu memandang sang anak dengan tatapan sedih. "Maafin, Papa yah Dhafa. Papa belum bisa kasih kamu keluarga yang utuh. Maafin Papa juga karena udah paksa kamu lahir ke dunia ini. Dan bikin kamu menderita, tapi Papa nggak pernah menyesal milikin kamu. Papa sayang banget sama Dhafa, Papa janji akan selalu bahagiain kamu. Papa akan lakuin apapun untuk kebahagian kamu, kalau kamu ingin Papa bareng-bareng sama mama. Papa akan berusaha terus untuk bikin mama kamu menerima Papa lagi, kamu mau kan Dhafa bantu, Papa? Bantu bikin keluarga kita utuh." Lirih Rama di akhir ucapannya. Bahkan dia tidak menyadari jika wajahnya telah basah oleh air mata. Dia benar-benar menyesal, sungguh.

Rama merapatkan tubuhnya, memeluk sang anak dengan erat. Matanya perlahan terpejam, mengikuti sang anak yang sudah tertidur sedari tadi.

🍃
🍃
🍃

Rama memandang ponselnya yang masih sepi, sepi karena tidak ada pesan atau telepon dari Dara. Dia benar-benar tak habis pikir, mengapa Dara tidak meneleponnya juga.

"Pa, kenapa mama belum datang juga?" Tanya Dhafa wajahnya terlihat murung. Pasalnya anaknya itu ingin pergi sekolah bersama dirinya dan juga Dara.

"Tunggu sebentar lagi, yah. Papa coba hubungi mama."

Mendengar jawaban Rama membuat wajah Dhafa berubah ceria, dia kembali memakan serealnya. Diam-diam Rama tersenyum melihatnya.

Rama mengambil ponselnya di atas meja makan, dia lantas menghubungi wanita yang disakitinya itu. Begitu ponsel Dara terhubung dan dia belum juga mengucapkan 'hallo' Dara langsung berseru panik.

"Ram, Ram, Rama. Dha-Dhafa hilang, Ram!" Serunya panik dan jelas ketakutan.

🍃
🍃
🍃
🍃

Tbc

Adakah yang menuggu cerita ini? Duh maafken aku yang gantungin cerita ini lama. Karena cukup susah buat nulis cerita ini 🤧 btw semoga nggak lupa sama alurnya yah, dan makasih udah nungguin cerita ini 🥰 ...

The BeginingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang