***
Setelah sekian tahun, Solleiste kembali memijakkan kaki dalam ruangan penuh debu itu. Deritan lantai kayu dan tumpukan benda tua nan usang menunjukkan umur loteng tak terpakai keluarganya. Menarik gorden, ia mempersilakan sinar mentari menelusuri loteng, menerangi serta menghangatkan seisinya. Partikel-partikel debu kini tampak menari-nari di udara, seakan bintang kecil yang riang gembira.
"Tempat ini tak berubah sama sekali," ucap Solleiste. Matanya mengamati sekujur ruangan, berbinar, seakan masih dapat melihatnya dengan jelas. Sekilas, terlihat senyuman samar di wajahnya.
Selesai menarik gorden, langkah kaki Solleiste membawanya ke salah satu pojok loteng , mengacuhkan benda lainnya. Tak perlu tongkat. Ia masih ingat betul di mana benda itu diletakkan.
Melewati serangkaian foto keluarga yang bingkainya lapuk dimakan rayap, televisi tabung yang pecah layarnya, dan beragam benda tua lainnya. Ia berhenti di hadapan sebuah piano klasik. Beberapa buku panduan bermain piano dan lembaran musikal diletakkan di atas piano tersebut, bersama sebuah tanaman hias. Jemari Solleiste menyentuh permukaan tuts piano, tak berdebu. Menekannya, piano pun mengeluarkan suara yang ternyata tak sumbang.
"... selama ini kau benar-benar menjaganya ya, Marie?"
Senyuman samar di wajahnya layu, tergantikan senyum kecut. Matanya yang kosong nan redup kini menitikkan air mata, teringat seberapa berharganya memori yang terekam dalam piano klasik tersebut.
Ia mengusap mata lalu duduk di atas kursi yang juga tak berdebu. Kedua tangan terangkat, bersiap, sebelum turun dengan elegan, memainkan sebuah alunan lagu anak-anak.
Sebuah lagu yang membangkitkan sekeping histori dalam ingatannya.
***
"Soll tidak hanya pandai bermain biola, tapi juga bermain piano ya!"
Solleiste kecil tersenyum. "Tidak juga. Aku masih kalah jika dibandingkan dengan Kakak."
Alunan lagu anak yang dibawakan Solleiste merdu memenuhi ruangan, mengisi keseluruhan dunia kedua anak itu. Suara amukan penuh emosi dan benda pecah di kamar sebelah gagal mengusik mereka yang bersembunyi dalam dunia mereka sendiri.
"Soll, apa mimpimu?"
"Kenapa kamu bertanya hal itu, Kak?
Marie kecil terdiam, lalu tersenyum. "Aku hanya ingin tahu."
"Hmmm, kalau aku... aku ingin bermain musik!"
Marie terkekeh. "Sekarang kan kamu sedang bermain musik, Soll!"
"Kalau begitu, aku ingin selalu bermain musik! Kalau bisa terus bermain tanpa makan, minum, dan tidur, pasti menyenangkan!"
Tawa Marie lepas, membingungkan adik laki-laki satu-satunya itu.
"Apaan sih, Kak!?"
"Maaf maaf." Marie menyeka matanya yang berair, berhenti tertawa setelah melihat wajah sebal Solleiste kecil.
"Kamu memang secinta itu bermain musik, ya?"
"Tidak. Aku membencinya."
"Eh?"
"Maksudku... lihat saja! Repot sekali menghafal alunannya. Belum lagi menyesuaikan tempo, hingga memberikannya perasaan yang sampai sekarang aku tidak paham apa maksudnya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
I Dunno A Good Title To Begin With, So Here You Go
RandomSeperti judulnya, saya tidak tahu mau diberi judul apa novel ini. ;-; Hanya ide-ide dalam pikiran ketika melihat gambar, bermain game, atau malah muncul begitu saja mungkin. Thus, it's just... a series of random short stories, I guess? Well anyway...