Aku ketakutan. Takut akan esok. Takut pada masa yang datang. Takut pada masa depan. Takut, bagaimana jika aku hanya akan berakhir sia-sia. Luntang-lantung dihari tua. Takut, bahwa aku takkan pantas untuk siapapun. Takut, bahwa aku akan berakhir menjadi beban. Takut, aku akan berakhir sendirian.
Senin ke Minggu sudah tak ubahnya Minggu ke Senin. Hari bergulir tanpa terasa. Waktu melesat terlalu cepat, terlalu jauh meninggalkanku. Tak peduli lagi pada aku yang menangis merongrong dibelakangnya. Waktu terus berjalan, dan diam-diam menikamku. Tak mengerti bahwa sayap ku patah. Tak peduli, kakiku timpang sebelah. Aku terpuruk. Aku terluka.
'Dia sudah tak mau menungguku siap lagi.' aku berbisik lirih.
'Atau dia memang tak pernah mau menungguku.' aku bermonolog.
Lalu, aku lengah. Kegelapan itu jatuh menimpaku. Gelap, semua gelap. Kapan aku bisa keluar dari timbunan rasa bersalah dan ketakutan ini? Kapan aku bisa melihat cahaya lagi? Malamku sudah terlalu panjang. Aku ingin siangku dengan langit biru. Tak ada hujan, tak ada badai, dan tak kelabu.
'Aku tak pernah marah padamu hidup.' aku bergumam sedih. 'Tapi, kenapa kamu mendatangkan mati sebelum nyawa tanggal dari raga?' aku mengepalkan tangan diakhir kalimat.
Geram, teramat geram rasanya, hidup memilih mengkhianatiku ketika aku menyerahkan seluruh percayaku padanya.
Aku sudah berjudi dengan nasibku sendiri. Dan aku kalah. Masa iya, kali ini hidup juga ingin berpaling dari gadis malang ini.
'Aku tak mau mati.'
Jika di dunia saja sudah seperti ini, bagaimana dengan neraka?
'Surga? '
Ia sudah tak sudi memandangku lagi. Sudah lama berpaling dariku lebih dulu dari yang lain.
'Aku ketakutan.' aku menengadahkan kepala, menatap langit kelam. Tapi, benarkah Tuhan ada di atas sana? Jangan-jangan dia ada didekatku.
'Aku ketakutan.' aku melempar tatapku ke sebelah kanan. Berharap Tuhan ada disana. Tapi, mungkinkah ia mau mendengarku kali ini? Kapan terakhir kali aku menyerahkan diri padaNya?
'Aku lupa.' aku tergugu. Masih pantaskah aku marah padaNya? Tidak-tidak. Katanya aku berhak meminta apapun padaNya. Tanpa terkecuali. Di semesta ini, ialah satu-satunya tempat berlindung.
'Aku ketakutan.' mataku liar menatap sembarang arah. Mana Tuhan? Apakah suaraku sudah sampai padaNya? Apakah ia marah padaku.
'Tolong beri aku waktu lebih lama dari pada selamanya itu, Tuhan.'
Angin laut mendesau pasrah didekat telingaku, rambutku terbang tak beraturan.
'Angin, apa jawaban Tuhan?' aku mendesau tak kalah pasrah dari angin laut. Tak ada jawaban, tak ada suara. Selain debur ombak yang datang menghantam tepian pantai.
Aku linglung dan cemas sendiri. Kutepuk dadaku, yang tak henti berdebar rusuh dengan tangan gemetar. Telingaku pengang.
'Tenanglah, tenanglah wahai diri.' kutepis kuat-kuat airmata dipipi tirusku, sampai perih atau malah sudah terukir luka disana. Tapi, siapa yang peduli.
Aku duduk meringkuk. Mendekap diri sendiri sebisa dan semampuku. Aku tahu, selain ketakutan, aku juga kedinginan. Tapi, tak apa. Aku akan disini, sampai jawaban itu kudapati. Aku akan bersikukuh kali ini. Aku takkan menyerah.
Aku menatap nanar ke depan, nun jauh disana, cahaya terang lampu menerangi kota, tapi cahaya itu tak pernah bisa menyentuh sudut paling kelam dihatiku. Juga kehidupan disini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Alaska
Teen FictionSayap-sayap patah, lautan tanpa dasar, belantara tanpa jalan pulang. Tersesat, aku tersesat. ___________________ Let me know if you like this story with your vote and comment.