1

37 1 0
                                    

Bendera hitam yang berkibar-kibar di depan rumah. Orang-orang yang datang silih berganti mengucapkan kalimat belasungkawa menjadi bukti nyata bahwa ini tak hanya sekedar mimpi buruk. Dadaku sesak, dengan air mata yang menganak sungai. Bibirku bergetar menahan isakan. Aku tidak tahu harus apa.

Tadinya kukira kesedihan yang mengungkungku selama ini sudah cukup membuatku mati rasa, tapi semua perjuanganku dihari lalu menjadi tak berarti apa-apa. Aku masih harus melewati hari ini dengan perasaan sedih yang meletup-letup. Kehilangan meski berkali-kali melewatinya, tetap saja mendatangkan sakit. Tetap membuatku menangis. Tetap membuatku terluka.

Aku akan selamanya terperangkap dalam gelembung sedih. Aku tahu.

'Ikhlaskan, Nak.' kalimat itu sudah tak asing lagi kudengar. Tepukan pelan di pundak dan usapan hangat di puncak kepala dari para pelayat, tak mampu membuatku merasa tenang.

Apalagi ketika mendengar teriakan Maureen dan ratapan pilu Tante Sarah yang mengiri kepergian Bapak hari ini.

'Setelah ini, bagaimana aku akan berjalan tegak dan melanjutkan hidup?'

Tanya itu tak henti-hentinya berputar semenjak kabar kepulangan Bapak kudapati, menyesaki isi kepala. Meluluhlantakkan jiwa. Memporak-porandakan seluruh rencana.

Beritahu mereka angin. Aku hanya ingin melanjutkan hidup, menciptakan harapan baru meski aku tak tahu harus memulai dari mana. Tapi, ini entah kenapa kesedihan terus menumpuk, dicermin yang kugunakan, dibaju yang kukenakan, dilembaran kertas berisi list mimpi, dihalaman kosong buku tulis, didapur, di depan TV. Dimana pun. Kesedihan itu tetap bertambah bahkan didalam secangkir kopi yang kubuat sepenuh hati.

Benarkah aku harus tiada dulu baru semuanya berhenti? Tidak bisakah ini sembuh tanpa aku harus mempercepat kematian sendiri?

"Anin .." suara itu terdengar mengalun merdu ditengah kebisingan. Aku menoleh, dan sebuah pelukan hangat pertama kudapati selepas kepulangan Bapak. Menyusul tepukan pelan, yang mampu membuat isakan yang kutahan ditenggorokan berontak keluar. Menciptakan sebuah elegi. Sakitnya begitu tak terperi.

" Anye ... Kenapa harus Bapak?" Tanya itu nyaris serupa gumaman. Timbul tenggelam diantara isakanku.

"Karena Tuhan maunya Bapak, Nin. Kita tak bisa apa-apa." Benar. Anyelir benar. Kita tak bisa apa-apa. Kuputar kalimat itu berulang-ulang hingga membuatku kian tergugu. Kian menumpahkan segala rasa yang memenuhi rongga dada dipundaknya.

"Tuhan tidak sayang padaku." Aku berbisik sedih.

"Kalau Tuhan tidak sayang, kamu tidak disini sekarang bersamaku." Anye merenggangkan pelukan itu, memberiku senyuman-ia gagal menyembunyikan getir seraya menghapus airmataku.

"Aku rasa, aku harus menyerah. Aku tidak sanggup lagi, Nye. Aku mau pulang nyusul Bapak sama Ibuk." Aku berujar patah-patah.

"Sesekali menyerah tidak masalah, Nin. Kamu manusia. Tapi, tolong jangan pernah berpikir untuk pulang. Kecuali Tuhan sudah ingin." Anye meremas pelan pundakku, menguatkan. Aku menunduk, rambutku terburai menutupi wajah.

"Jangan menghilangkan fungsiku, Anin." Imbuhnya lirih. Aku tak lagi berusaha membalas dan membiarkan Anye tenggelam bersama isi kepalanya, entah tentang apa. Entah tentang siapa.

'Setelah hari ini, tak ada lagi yang tersisa untukku, Anyelir. Tidak satupun.'

***

Aku berjongkok disisi pusara Bapak. Diam. Hanya menatap kosong apapun yang kupandang. Aku juga menyaksikan bagaimana Maureen menjerit meneriaki jasad Bapak, juga raungan Tante Sarah sampai kemudian ia jatuh pingsan. Dan sekali lagi aku menerima ucapan belasungkawa serta beberapa kalimat penghibur, entah itu dari teman, entah itu dari kerabat yang ikut mengantarkan Bapak ke pusara.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 31, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rumah AlaskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang